"Iya, saya mengajak kalian itu hanya biar tidak bosan di rumah saja," tambah Mas Agus.
   "Kami ingin mempunyai pengalaman bertani," sahut Chintya.
   "Ya, sudah. Kalian sekarang tidur. Sudah malam. Kalau tidak tidur sekarang, besok bisa terlambat bangun. Bapak tidak menunggu kalian, lho. Hehe..."
    "Kamu tidur dulu, ya. Aku ngobrol dulu dengan Mas Agus," kata Chintya lirih. Aku tidak menjawab. Chintya tampak begitu cepat akrab dengan Mas Agus. Aku segera tidur.
   "Dian, ayo bangun! Kamu tidur paling awal, tapi belum bangun juga. Ayo cepat, nanti kita ditinggal!" kata Chintya.  Aku memang memiliki kebiasaan buruk. Sulit bangun pagi.
   "Aku masih ingin tidur," jawabku.
   "Kalau ditinggal, jangan salahkan aku, yah," Chintya mengancam.
   Aku kembali terlelap sampai pukul 07.30 wib. Banar saja, mereka meninggalkanku sendirian. Kembali kudapati lengangnya rumah ini. Hanya dua ekor ayam terlihat di depan rumah. Kuambil sapu lidi di sudut teras untuk membersihkan lantai. Setelah itu, aku menuju kamar mandi yang terpisah dari rumah induk.  Kamar mandi dengan dinding anyaman bambu tanpa atap.
    "Dian, tadi aku belajar menanam padi, lho. Sayang sekali kamu tidak ikut. Besok jangan kesiangan lagi, ya!" seru Chintya saat kembali.
   Pagi berikutnya kami ke ladang. Pada sepetak kecil tanah ladang yang dimilikinya, Pak Margono bertani. Kali ini, tanah itu ditanami padi. Aku baru tahu bahwa padi bisa ditanam di lahan kering. Tanah ladang dilubangi dengan garpu kayu. Pada lubang bekas gigi garpu itu biji padi disemai, lalu tanah diratakan lagi sehingga biji-biji padi tertutup.
   "Orang sini menamai cara tanam padi ini gogo. Dan tanam padi ini hanya bisa dilakukan pada musim hujan," jelas Bapak.