Mohon tunggu...
Fabian Satya Rabani
Fabian Satya Rabani Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar, model, dan atlet

Hobi bermain musik, membaca, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Ikut Sedih, Chintya

30 November 2023   21:25 Diperbarui: 30 November 2023   22:30 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cottonbro studio/ pexels

            Tibalah saatnya kami pergi ke Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta untuk mengikuti kegiatan live in.  Kegiatan tahunan yang rutin diadakan sekolahku. Semua peserta turun dari bus pengantar di kantor kecamatan, berkumpul menunggu dijemput orang tua angkat.

       "Sugeng enjing...", tiba-tiba kudengar suara yang memutus lamunanku. Kami membalikkan badan. Terlihat sesosok pria tua dengan motor bebek tua bersama seorang pemuda 18 tahunan. Pemuda  itu memakai kaos partai yang warnanya pudar dan topi coklat tua. Ia tersenyum ramah.

      "Oh, iya, sugeng enjing, Pak!" sambutku dengan rasa takut yang berusaha kusembunyikan. Sebelum berangkat, kami diwajibkan menghafal kata-kata daerah untuk berkomunikasi di sana. Sugeng enjing, sugeng siang, sugeng ndalu, matur nuwun, nyuwun pangapunten, inggih, mboten, ... dan sederet kosa kata lain kami hafalkan selama persiapan live in ini.

      "Kalian murid dari Bandung itu, ya?" tanyanya.

      "Iya, Pak. Apakah ini Bapak Margono?" jawabku.

     "Ya, betul sekali. Saya orangnya. Kenalkan, ini Agus anak saya. Nama kalian siapa?"

      "Aku Chintya," jawab temanku.

      "Nama saya Dian, Pak," jawabku.

     "Wah, namanya bagus-bagus, ya. Ayo ikut kami. Kalau lama-lama berdiri di sini, nanti kulit kalian jadi hitam." Pak Margono mengajak kami menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan tidak ada yang kami perbincangkan. Jarak kantor kecamatan dengan rumah Pak Margono cukup jauh. Jalan menanjak.

      Kami sampai rumah.  Suasana rumah yang cuku sederhana ini lengang, seperti tidak berpenghuni. Persasaanku jadi campur aduk.

     "Kamar kalian di sana. Maaf ya, rumah ini  memang selalu berantakan,'' Mas Agus berkata.

     "Oh iya, Mas Agus. Terima kasih,'' jawabku.

     Kami segera menaruh tas di kamar. Pukul 12.30, Mas Agus mengajak kami makan siang. Senyum hangat muncul di wajahnya, membuat kami merasa nyaman. Kami beralih ke meja makan.

      "Maaf, ya. Bapak hanya dapat menyediakan makanan seadanya saja.''

      "Tidak apa, Pak.  Ini  sudah cukup. Kami yang seharusnya minta maaf karena merepotkan Bapak,'' jawab Chintya.

       Senyum kecil nampak pada wajah Pak Margono. Senyum yang menegaskan kerutan di kening dan lipatan pada kulit pipinya. Usianya memang baru 55 tahun. Namun, wajah sudah terlihat jauh lebih matang. Bahkan aku mengira bapak ini usianya sudah enam puluhan. 

      "Bapak tidak merasa direpotkan. Karena kehadiran kalian, saya seperti mempunyai dua putri yang cantik-cantik. Sudahlah, ayo makan. Tidak enak kalau dingin."  

      Kami pun duduk di dingklik  itu. Mulai mengambil nasi dan lauk yang tersaji di atas meja kayu persegi panjang. Nasi putih setengah bakul bambu, tempe bacem, sayur daun singkong, dan karak. Masakan yang terlihat begitu sederhana. Namun kami rasa, ini luar biasa. Kami makan dengan lahap penuh suka cita. Bukan karena apa yang kami makan, tapi lebih karena kerelaan mereka menerima kami. Yah, aku teringat kata guru agama di sekolah, bahwa kebahagiaan itu bisa dirasakan oleh siapa saja, syaratnya menerima dan mensyukuri apa pun yang Tuhan berikan.

      Matahari menurun hampir meyentuh lekuk di antara dua perbukitan sebelah barat. Udara kering sepanjang siang telah teduh. Kami bersantai di teras rumah. Duduk-duduk di atas dipan tua dari anyaman bambu wulung. Banyak hal kami perbincangkan sambil menunggu malam.

      "Bapak saya ini pekerja serabutan. Jika tidak ada pekerjaan lain, kami pergi ke ladang. Ladang kami cukup jauh dari sini. Sekitar satu kilo. Besok, jika kalian mau ikut, boleh," kata Mas Agus.

     "Mau, mau, Mas. Kami akan membantu Bapak," jawab Chintya spontan.

      "Oh, kalian tidak usah membantu saya. Kalian lihat-lihat pemandangan di sekitar saja."

     "Iya, saya mengajak kalian itu hanya biar tidak bosan di rumah saja," tambah Mas Agus.

      "Kami ingin mempunyai pengalaman bertani," sahut Chintya.

      "Ya, sudah. Kalian sekarang tidur. Sudah malam. Kalau tidak tidur sekarang, besok bisa terlambat bangun. Bapak tidak menunggu kalian, lho. Hehe..."

       "Kamu tidur dulu, ya. Aku ngobrol dulu dengan Mas Agus," kata Chintya lirih. Aku tidak menjawab. Chintya tampak begitu cepat akrab dengan Mas Agus. Aku segera tidur.

     "Dian, ayo bangun! Kamu tidur paling awal, tapi belum bangun juga. Ayo cepat, nanti kita ditinggal!" kata Chintya.  Aku memang memiliki kebiasaan buruk. Sulit bangun pagi.

      "Aku masih ingin tidur," jawabku.

      "Kalau ditinggal, jangan salahkan aku, yah," Chintya mengancam.

      Aku kembali terlelap sampai pukul 07.30 wib. Banar saja, mereka meninggalkanku sendirian. Kembali kudapati lengangnya rumah ini. Hanya dua ekor ayam terlihat di depan rumah. Kuambil sapu lidi di sudut teras untuk membersihkan lantai. Setelah itu, aku menuju kamar mandi yang terpisah dari rumah induk.  Kamar mandi dengan dinding anyaman bambu tanpa atap.

       "Dian, tadi aku belajar menanam padi, lho. Sayang sekali kamu tidak ikut. Besok jangan kesiangan lagi, ya!" seru Chintya saat kembali.

      Pagi berikutnya kami ke ladang. Pada sepetak kecil tanah ladang yang dimilikinya, Pak Margono bertani. Kali ini, tanah itu ditanami padi. Aku baru tahu bahwa padi bisa ditanam di lahan kering. Tanah ladang dilubangi dengan garpu kayu. Pada lubang bekas gigi garpu itu biji padi disemai, lalu tanah diratakan lagi sehingga biji-biji padi tertutup.

      "Orang sini menamai cara tanam padi ini gogo. Dan tanam padi ini hanya bisa dilakukan pada musim hujan," jelas Bapak.

      Tidak lama di ladang. Kami pulang berjalan kaki lagi. Dalam perjalanan, beberapa kali kami bertemu orang-orang di Desa Ngijoharjo ini. Mereka begitu ramah. "Dari mana, Nduk?" "Ayo mampir ke rumah saya, Mbak!" dan kata-kata sapaan lain senantiasa kudengar. 

      Kemudian, aku membantu Pak Margono memasak. Ingin mencoba menggunakan tungku. Salama ini aku belum pernah memasak dengan tungku. Ada dua tungku di dapur ini. Tak jauh dari tungku ada tumpukan kayu kering di lantai dapur. Menyalakan apinya dimulai dari memasukkan kayu. Pada bagian bawah diberi daun kelapa kering. Lalu, daun kelapa dinyalakan.

      "Habis makan siang ini, apakah kalian mau jalan-jalan?" kata Mas Agus. Tentunya aku dan Chintya sangat setuju. Kami mengusulkan mengunjungi rumah yang ditempati Ella dan Sasa. Mereka masih sedesa dengan kami.  Kami semua sepakat.

      Kami melewati jalan tanah, naik dan turun tebing. Kanan kiri jalan tumbuh pohon jati yang daunnya mulai bersemi. Banyak ulat bergelantungan dengan sulurnya. Sebagian daun jati tinggal rangka dimakan ulat. Tadinya aku takut dan jijik melihat ulat-ulat daun jati ini. Namun, Mas Agus meyakinkan kami bahwa ulat-ulat ini tidak berbahaya. Bahkan, ulat-ulat dan kepompongnya sangat gurih jika digoreng. Penduduk di sini memanfaatkan ulat ini untuk lauk.

      Kulihat  Chintya dan Mas Agus cukup romantis. Chintya sering memegang pundak Mas Agus jika di depannya ada ulat jati. Atau kadang tangan mereka berpegangan saat  jalan nanjak. Chintya begitu antausias menanggapi perkataan Mas Agus. Chintya terlihat begitu menikmati perjalanan ini.

      Pemandangan begitu indah. Udara bersih dan segar. Jauh dari kebisingan kendaraan. Suara burung kutilang dan derkuku menyejukkan jiwa. Ada suara unik di pohon. Kata Mas Agus, itu suara gareng pung. Setelah lebih dari 40 menit berjalan, kami menemui jalan beraspal.  Di depan terlihat dua rumah yang besar, tinggi, dan bagus. Temboknya bercat kuning. Atas atap terpasang parabola. Di garasi terparkir minibus  dan pick up hitam.

      Sesampai di teras, kami disambut ramah oleh pemilik rumah. Lantai rumah ini semua sudah keramik. Tata ruang dan fasilitas rumah terlihat lebih bagus dari rumahku di Bandung. Di atas meja ruang tamu tersedia beberapa kue. Tak lama kemudian kami dibuatkan teh manis.

      Banyak hal kami obrolkan. Bu Darno menceritakan bahwa mereka punya dua anak dan semua bekerja di Jakarta. Setelah pensiun, Pak Darno beternak sapi. Ada dua karyawan yang membantunya.

     Pak Darno menawari kami berempat jalan-jalan. Kami akan diantar menggunakan mobilnya.

     "Biarlah Mas Sutimin yang bawa mobilnya," kata Bu Darno. Mas Sutimin adalah salah satu karyawan mereka. Kami berempat mengangguk tanda sejutu.

      Hari sudah sore. Kami kembali pulang ke rumah Pak Margono.

     "Besok Mas Agus ikut, kan?" tanya Chintya.

     "Iya. Saya akan menemani kalian," jawabnya.

     Subuh tiba, kami sudah bangun dan bersiap. Mobil yang mengantar kami menunggu di jalan  yang paling dekat dengan rumah ini. Kami bersepakat pukul 05.00. Pertama ke Pantai Indrayanti. Lalu mampir juga ke beberapa pantai lain. Di daerah ini banyak tempat wisata. Ada wisata pantai, hutan, goa, air terjun, kuliner, dan wisata budaya. Pantai di sini cantik-cantik. Pemandangan alamnya sungguh elok. Kami berselancar dari tempat yang satu ke tampat yang lain seharian.

      "Bagaimana perjalanan kalian hari ini?" tanya Pak Margono.

     "Luar biasa, Pak. Sangat menyenangkan. Di sini banyak tempat yang indah," jawab Chintya.

      Aku lihat Chintya sangat bergembira dan bersemangat sepanjang hari ini. Begitu juga kedekatannya dengan Mas Agus. Terlihat di Pantai Baron tadi, mereka selalu berdua. Bahkan berfoto-foto dan tampak mesra. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja.

      Aku ingin segera tidur malam ini. Tenagaku terkuras. Lagi pula, besok adalah hari terakhir dan kami harus bangun pagi-pagi.

      Pagi ini aku akan kembali ke Jakarta. Pak Margono dan Mas Agus sudah siap mengantar kami. Kembali aku dan Chintya duduk di atas dipan bambu di teras depan.

      "Mas, ada yang ingin kusampaikan!" tiba-tiba Chintya memanggil Mas Agus.

      "Ada apa Chintya, kamu terlihat tegang dan begitu serius?" jawabnya.

      "Aku sangat berterima kasih pada Mas Agus. Mas sangat baik padaku selama ini.  Aku punya kakak laki-laki seumuran Mas Agus. Ia saudaraku satu-satunya. Dia sangat menyayangiku. Ia kakak, teman, sekaligus pengganti ayahku yang sejak kami kecil, ayah pergi entah ke mana.  Kakak melakukan apa pun agar aku tersenyum gembira. Tiba-tiba Chintya memeluk Mas Agus disertai isak tangis.  "Tapi lima tahun lalu ia meninggal karena tumor ganas. Kami sangat merindukannya, Mas. Kakak...kembalilah, Kak...", lanjutnya.  

       "Aku ikut sedih, Chintya. Semoga kakakmu damai di surga. Kami senang pada kalian berdua. Kalian sangat baik, sopan, dan tidak manja. Kalian mau tinggal bersama kami di rumah yang seperti ini. Kami sangat berterima kasih bisa bertemu kalian. Kedatangan kalian bisa mengobati rasa rinduku pada ibu. Oh, ya. Ibuku juga sudah meninggal sebulan yang lalu. Ibu sudah cukup lama sakit. Kami sudah berusaha membawa ke beberapa pengobatan alternatif. Namun tak juga berhasil. Sebulan yang lalu, ibuku mendapat 'pulung gantung'," kata Mas Agus.

      "Pulung gantung. Apa itu, Mas?" aku bertanya memberanikan diri. Terlihat kedua mata Mas Agus basah. Dan dengan nada rendah menjawab pertanyaanku itu.

      "Ibu gantung diri di dapur saat kami ke ladang. Mungkin ibu sudah putus asa dan tak kuat lagi menahan sakit yang bertahun-tahun. Tapi sudahlah, kami sudah mengikhlaskannya. Ini sudah takdir. "

      Deg. Dadaku sesak. Aku dan Chintya berpelukan dan tidak bisa menahan air mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun