Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Melayani Tuhan, menulis, melukis, perupa. Tak ada tempat seluas dan selebar hati kita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ekspedisi Ventira, Negeri yang Hilang (25 / masuk bagian empat)

30 Mei 2020   05:56 Diperbarui: 31 Mei 2020   17:28 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Mendengar itu Raiva menjadi tenang. Tak ada yang perlu diragukan kini, pikir Raiva. Tanpa sadar wajahnya sumingrah hingga memancarkan energy positif. Lagi ia menatap wajah Daniel. Didapatinya wajah pria bule yang nyaris mirip legenda rockn'roll Elvis Prasley itu nampak mulai memancarkan optimisme.

"So, kita sudah sepakat dan sehati semuanya, Daniel.  Ayo leader, tegakkan kepalamu. Misi harus lanjut dan kami perlu perintahmu," ujarnya membangunkan semangat Daniel. Daniel menyambut dengan senyum hangat. 

 "Jadi kalau semua sudah sepakat, kita tinggal menunggu petunjuk pak Subhan. Apakah kita bergerak sekarang atau nanti. Atau mungkin kita tetap disini hingga waktunya tiba? Atau... mungkin ada baiknya pak Subhan berpamitan dulu kepada istri dan anak-anak, lalu kembali ke sini? Terdengar suara Rainy lagi.

 Semua mata segera mengarah ke pak Subhan. Bibirnya yang tebal serta dikelilingi janggut dan rewoknya nampak bergerak. "Sebaiknya kita semua beristirahat dulu sore ini dirumahku yang sederhana kalau tidak keberatan. Hanya saja tolong dimaafkan keberadaannya. Maklum, rumah di desa rata-rata seperti rumah saya. Berdinding papan."

 "Lho, apa kita nanti tidak terlambat dan membuang waktu,pak?" kejar Eva.

 "Engh.. Anu. Untuk pergi ke jembatan kita harus menyesuaikan dengan waktu yang tepat yaitu jam dua belas malam. Itu salah satu syaratnya."  Jelas pak Subhan.

 "Mengapa harus jam dua belas malam pak?" Tanya Danish.

 "Permisi saya keluar sebentar," tiba-tiba Didin memotong pembicaraan, membuat pak Subhan yang baru mau menjawab pertanyaan Eva jadi urung.

 "Kemana mang? Jangan jauh-jauh lho. Kita sudah akan bergerak lagi." Cegah Eva.

 "Sebentar saja. Cuma beli rokok di kios sebelah," kata Didin sambil berdiri dan berjalan keluar. "Rupanya ia tak tahan kalau tak merokok sehabis makan. 

 " Jam dua belas adalah pintu waktu untuk masuki ke Negeri Ventira. dan kita harus ada di jembatan jam 11. Itu berarti kita berangkat jam 10 malam dari rumah saya. Jalan kaki," tambah pak Subhan dengan wajah agak menunduk.

 Baiklah. Khalau begitu eee, segera bereskan ini makanan lalu ke rumah Pak Subhan." Daniel berbicara.

 "Ya, dan kita punya Sembilan setengah jam sebelum itu. Itu waktu yang cukup untuk istirahat, kan?" timpal Raiva tanpa sadar kepada Daniel dengan wajah yang sangat ceria dan bersemangat. 

Rainy yang memperhatikan lalu tersipu kecil walau tak sengaja ada sekelebat perasaan aneh melintas di hatinya. 

 "Malam nanti setelah makan saya akan menjelaskan beberapa petunjuk dan cara yang kita semua harus tahu. Itu adalah pedoman yang harus ditaati oleh setiap kita," tambah Pak Subhan lagi.

 Setelah terdiam sesaat, Eva bersuara lagi.

 "Semua sudah? Tak ada pembahasan lagi? Kalau iya, mari kita bersiap sementara saya menyelesaikan pembayaran makan. Jangan lupa bawaan masing-masing di cek."  Katanya.

 "Jangan lupa juga. Si Mamang lagi nyari rokok tuh!" celetuk Baim, kocak.

 "Susah memang kalau tak merokok ya, bang." Canda Burhan.

 Tim kecil ini lalu sibuk mempersiapkan semua barang bawaan masing-masing sambil saling melempar dialog-dialog kecil, sekedar memecah kekakuan. 

Sementara itu instrumen yang sejak tadi setia menemani tim ini makan siang dan berdiskusi, masih mengalun dengan irama-irama lembut. Kini dengan alunan lagu When You Tell Me That You Love Me  yang mengibarkan nama Diana Ross sejak dirilis tahun 1991 lalu. 

Suara melengking seorang diva dunia tergantikan oleh tarikan saxafon yang super indah membawa perasaan terhanyut kedalamnya.  Tak ayal, setelah sebelumnya Raiva dan Rainy diharu biru lewat Careles Whispernya George Michel, kini perasaan Raiva diobrak-abrik perasaan berbunga oleh kedekatannya dengan Dabiel barusan.  Hati yang lama sebeku cluster di kutup, perlahan mencair oleh sebuah rasa baru yang belum mampu diberinya nama.

BAGIAN EMPAT

 Di kios sebelah, tepatnya kios ke 3 dari tempat mereka makan, Didin yang sedang membeli rokok malah nampak duduk disalah satu meja makan dengan posisi tubuh yang agak menyembunyikan wajahnya. Dari balik pundak, matanya sesekali mencuri pandang kepada 3 orang pria yang ada di warung makan sebelah. Jendela terbuka selebar 1 meter yang hanya dipasangi kawat ram membuat ia leluasa mengawasi mereka yang nampak saling berbisik dengan serius.

 "Mang! Ditungguin tuh. Lama bener beli rokoknya." Tiba-tiba Baim sudah berdiri di depannya. Sontak Didin terperangah lalu dengan reflex memberi isyarat kepada Baim agar jangan memancing perhatian, sementara tangannya dengan cekatan menarik lengan Baim agar membungkuk lalu ia membisikkan sesuatu ke telinga Baim.

 "Itu pak Hapri dan dua anak buahnya ada di warung sebelah," ujar Didin.

 "Mana mang?" Baim mencoba mengikuti arah kerlingan mata Didin.

 "Itu. Dimeja yang dekat dinding. Sepertinya mereka sudah dari tadi ada disini. Dilihat dari piring makan di meja mereka, rupanya mereka sudah habis makan." Kata Didin lagi.

 "Ia aku sudah melihat. Gimana nih? Gue laporin ke ibu Ibu Rainy gak?"

 "Jangan atuh, bang. Mereka kan tak menggangggu kita? Sok biar aja."

 "Ya udah kalo gitu. ayo, kita harus cepat karena tim udah mau bergerak ke rumah pak Subhan. Ayo buruan," kata Baim tetap dengan setengah berbisik.

 "Hayo bang. Kalau bisa jangan sampai terlihat pak Hapri. Soalnya saya curiga mereka segaja menguntit kita. Ada apa ya?"

 "Akh, mang. Jangan buruk sangka dulu. Kagak baek begitu mang. Lagian untuk apa juga mereka pada ngikutin kita. Kebetulan aja kali mereka emang kesini ada keperluan laen."

 "Aduuuh, Baim. Kamu teh polos pisan atuh bang. Coba otaknya di jalankan. Mana ada mereka tiba-tiba sudah ada disini. Tadi waktu kita chek out, kan mereka bertiga malah lagi bersih penginapan dari kamar-kamar sampai ke halaman. Sok atuh ditimbang dan dipikir lagi masak-masak bang." Bantah Didin.

 "Iye juga ya Mang," Baim menganggukkan kepala beberapa kali.

Lalu mereka segera beringsut dari kios. Diluar anggota tim sudah siap di depan warung makan. Didin dan Baim lalu menyusup diantara para pembeli yang ada didepan warung makan. Secara bersamaan Didin masih bisa melihat pak Hapri memberi isyarat dengan tangan agar Andy dan Pur menunduk, sedang mata pak Hapri sering awas melihat ke arah pintu. Sepertinya mereka tahu rombongan  tamu mereka tadi ada di warung makan sebelah dan mereka tak ingin ketahuan.

 Setelah Didin dan Baim bergabung kembali, dengan segera tim bergerak menyusuri tepian jalan yang agak menurun. Pak Subhan paling depan sedang Danish, Raiva dan Rainy berada paling belakang nampak asik mengobrol sambil jalan. 

 Di belakang mereka, pak Hapri, Andy dan Pur berdiri dan mengawasi dari jauh, melihat punggung dan kepala semua anggota tim tersembunyi dibalik backpack yang menjulang.

 "Kemana mereka kira-kira ya? Apakah mereka langsung menuju jembatan?" kata pak Hapri nyaris bergumam.

 "Sepertinya begitu bos. Sebaiknya biar mereka agak jauh baru kita menyusul," Andy coba memberi usul

 "Tida' kita harus menunggu Irwan dan Febri. Yang pokok kita pastikan mereka sekarang sudah menuju ke jembatan. Aduh.. kenapa Irwan dan Febri lama sekali. Sial. Bisa gagal kita kalau terus menunggu mereka." suara pak Hapri agak ketus. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun