Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Melayani Tuhan, menulis, melukis, perupa. Tak ada tempat seluas dan selebar hati kita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ekpedisi Ventira (4)

11 April 2020   13:42 Diperbarui: 13 April 2020   02:42 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karya/ilustrasi; Franklin Towoliu

Sambil mengucek-ucek matanya seperti layaknya orang bangun tidur.  Semalam  memang Daniel dan Raiva menugaskan Didin untuk mencari tambahan anggota tim, namun hingga jam dua subuh,  tidak membuahkan hasil apapun.  Tak ada seorangpun mau bergabung dalam tim meski di iming-imingi uang yang tak sedikit.

"Mang, jam berapa sekarang?" sergap Raiva begitu Didin berada pas didepan hidungnya.

"Jam sebelas lebih neng."

" Mestinya setengah jam lalu kita sudah harus  chek out kan?"

"He-eh neng... hasil meeting kemarin kan memang seperti itu?"

"Lantas kenapa kita masih ada di sini?  Mana  bos mu? Buruan  dipanggil. Jangan-jangan dia ketiduran lagi di kamarnya.  Aduh kalau begini kejadiannya, misi kita bisa nggak kelar-kelar deh."  Suara Raiva terdengar ketus, disertai rona kemerahan menempel di kedua pipinya. 

Kali ini dia benar-benar kesal-lebih kesal dari kesalnya tadi pagi, sewaktu dibangunkan mendadak oleh Daniel.  Apa dia sengaja mau membuat aku marah? Batin Raiva sambil tiba-tiba kakinya bergerak cepat menendang bunga Asoka yang  sejak tadi diam tak bergerak di sampingnya. 

Untung saja Asoka itu tidak sedang berbunga, tendangan itu hanya menyebabkan berhamburannya beberapa helai daun karena terlepas dari tangkainya. Rainy  yang memperhatikan tingkah Raiva yang lagi galau itupun berpura-pura seakan tak memperhatikan kemarahan kecil itu. Ia mengerti mood Raiva sedang tak bagus. Tentu saja sejak tadi ia tetap mengawasi gerak-gerik Raiva, walau kelihatan ia terlalu serius bermain dengan anjing  peliharaan  pak Hapri. Namun seperti yang dijelaskan tadi, itulah perbedaan mencolok antara mereka berdua. Yang satu selalu tenang yang satunya lagi bertindak sangat reaktif.  Memang mereka seumuran -bahkan kalau dihitung bulan kelahirannya, ternyata Rainy lebih muda 8 bulan dari bulan lahirnya Raiva-  namun Rainy jauh lebih bisa mengendalikan amarahnya. Self kontrolnya sangat bisa diandalkan, walau dari segi kecerdasan intelektual mereka berdua sama-sama punya otak briliant.

       Maksudnya, Raiva tumbuh di keluarga berekonomi mapan yang mampu memanjakan serta membentuk kepribadian Raiva menjadi sosok manja dan ia selalu mendapatkan apa pun keinginannya. Hasrat dan impiannya terhadap sesuatu selalu begitu cepat tersedia dengan instan.

      Bahkan dalam pertumbuhan remaja hingga selesai kuliah, Ia boleh berbermimpi melakukan ini atau itu dan semua akan tersaji seperti makanan di sebuah restoran. Ia tak pernah memiliki pengalaman dan proses. Ia tak memiliki motif untuk memperjuangkan keinginannya. Bukankah di rumah seorang pejabat negara sekelas duta besar yang di sandang ayahnya, segala sesuatu sudah tersedia? Bahkan keluarganya, mereka semua dilayani dengan baik oleh para staf.  Pada banyak kesempatan ayahnya kerap menasehatinya serta mengarahkan hidupnya kepada kemandirian dan kemampuan bertahan hidup. Juga kepada kedua adiknya Raino dan Raigan. Bahkan itu sejak Raiva kecil. Nasehat-nasehat bijak tentang bagaimana menjadi manusia seutuhnya atau manusia kuat yang memiliki nilai serta etos hidup yang baik. Sayangnya itu semua hanya sebatas teori. Buktinya mereka terlalu disayangi dengan cara yang kurang smart dari segi pembentukan mental. Raiva dan kedua adiknya sejak orok hingga dewasa terus di keloni oleh kedua orang tua mereka dan tumbuh sebagai generasi manja.

       Keadaan itu membuat Raiva Frustasi. Bahkan untuk sekedar berliburpun ia harus ditemani ayah dan ibunya atau bahkan meminta ditemani staf kantor. Apalagi mau bepergian jauh atau lama, kedua ortu terlalu mengkhawatirkan keselamatannya. 

      Itu pula yang menjadi alasan utamanya menerima tawaran kontrak kerja Daniel untuk ekspedisi Ventira.  Ia ingin menunjukkan pada ayah dan ibunya bahwa ia siap berubah menjadi wanita yang dewasa dan mandiri. Itu setelah diawali dengan perbantahan sengit yang akhirnya dimenangkan Raiva.

      "Aku sekarang tiga puluh tujuh tahun dady... Apa aku harus disuapi kemana-mana oleh seorang babysitter?"

      Kalimat keras yang keluar dari mulut Raiva membuat ayah dan ibunya terpaku tanpa dapat bicara apa-apa. 37 tahun usia Raiva dan ia tak pernah semarah itu juga tak pernah sekeras itu membantah perkataan mereka.

       Setelah berapa waktu terdiam ayahnyapun bicara. "Inilah saatnya..." suaranya terdengar bergetar dan membisik. "Inilah saat nya dady harus melepas mu..." 

       "Maafkan dady and mommy yang selalu meragukan mu... selain takut berpisah, kami takut Rara (panggilan sayang sang ayah pada Raiva) tak mampu menjalani kehidupan di luar sana yang begitu buas dan menakutkan."

      "Rara bisa dad.... percayalah." Ujar Raiva tegas namun lembut sembari mendekati ayahnya lalu menggenggam tangannya.

      Membandingkan kehidupan Raiva dan Rainy memang akan terasa sekali perbedaannya. Itu seperti mengajak kita menyeberangi sebuah jembatan kecil bernama status, jabatan dan materi, untuk menghubungkan kedua sahabat karib ini. Namun bagi Rainy itu tak masalah dan ia sendiri tak merasa minder. Hal yang ia kagumi dari seorang Raiva ialah; bahwa tak pernah memilih orang dan tak pernah memandang status seseorang. Bahkan ia sangat membenci pemuda-pemuda manja anak para pejabat atau pengusaha yang pernah diperkenalkan padanya. Ia juga tak suka menyibukkan orang lain. Ia ingin mengerjakan sendiri karena di dalam rumah ia hidup bahkan dari orang lain. Dari para pembantu dan staf ayahnya.

      Sikap ini persis mirip sifat Rainy. Ia pernah menolak ketika ayah Rainy menawarinya sebuah jabatan di kantor kedubes RI yang di komandani ayah Raiva.

      "Maaf om... saya harus bantu ayah dan ibu. Maklum ngga ada saudara laki. Makasih ya om," tolak Rainy halus pada waktu itu.

     Rainy hidup di sebuah keluarga sejahtera dan sederhana. Ayahnya seorang pejuang kreatifitas. Seorang seniman pelukis, perupa dan kadang-kadang suka bermain musik. 

Ibunya juga seorang seniman namun lebih kepada music dan pelatih vocal. Tumbuh di keluarga itu ia terbekali dengan wejangan serta ajaran falsafah hidup yang baik menurut agama dan kepercayaan orang tuanya, juga menurut nilai-nilai moral yang sejak dulu menjadi kekayaan sendiri bagi  bangsa-bangsa yang ada di belahan Timur dan ditanamkan secara temurun dari generasi ke generasi. 

Sejak SD Rainy  sudah di ajar bekerja untuk membentuk kepribadiannya.  Ia sangat cekatan dan terampil. Suatu kebiasaan dan sfat yang menurun dari ibunya yang tak pernah diam dan terus bergerak. 

Keadaan kehidupan keluarganya yang beberapa kali pernah dan harus menghadapi kesulitan hidup berhasil mengubahnya menjadi seorang gadis dewasa yang tenang dan mampu memahami sebuah persoalan atau masalah. Semua itu membentuk ia menjadi seorang wanita yang berkarakter dan berwawasan hidup yang kuat.

 "Neng. Gimana atuh neng." Tiba-tiba Didin sudah ada lagi di hadapan Raiva.

 "Gimana apanya mang?" sergap Raiva.

 "Mister Daniel sepertinya tak ingin keluar dari kamarnya, neng."

 "Mang Didin sudah mencoba memanggilnya?"

 "Sudah Neng."

 "Sudah teriak?"

 "Sudah atuh neng."

 "Teriak keras?" 

"Aduuh, gimana ya neng. Takut ganggu tamu lain. Tapi teriakan mamang kuat tadi neng. Bahkan Pak Hapri sampai melongok dari dapur neng. Kalau teriak lebih keras lagi khawatir nanti yang lain pada marah."

"Apa Daniel ketiduran atau gimana mang? Apa ada suara atau jawaban dari kamarnya?"

Kali ini Rainy menimpali sambil bergerak mendekati Raiva dan mang Didin setelah terlebih dahulu mengusir Bleki, anjing pak Hapri  yang tadi di ajaknya main.  Dengan santainya ia menyunggingkan senyum agar mang Didin tidak merasa tegang dan kikuk. "Santai aja mang." Lanjutnya

Tadi waktu pertama kali mamang manggil, memang  ada suara seperti  sebuah percakapan. Dan setelah mamang menempelkan telinga ke pintu kamar, suara  itu memang terdengar persis suara Mister Daniel dan kedengarannya sedang berbicara dengan seseorang sambil berbisik-bisik. Hanya sesekali bisikan itu terdengar tegas dan seperti membentak-bentak seseorang. Anehnya tak ada suara orang lain terdengar dari sana," jelas Didin panjang lebar.

Ravia mengeryitkan dahinya dengan kuat pertanda ia juga merasa aneh dengan apa yang barusan diutarakan oleh Didin.  Perasaan serupa juga dirasakan oleh Rainy. 

Bedanya  ekspresi wajahnya Rainy terlihat datar, hanya bola matanya terlihat sedikit mendelik ke atas.  Sekilas, bibirnya yang penuh terlihat bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu kepada Didin.  Tapi, belum sempat ia bicara sesuatu tiba- tiba mereka di usik suara Baim yang mendadak sudah ada 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun