Karena sandaran Mu’tazilah terhadap akal dalam memahami Aqidah dan jauhnya mereka dari masalah juz’iyah, maka mereka terbagi menjadi beberapa kelompok dengan tetap berpedoman terhadap lima pokok Aqidah mereka, dan setiap kelompok dari beberapa kelompok ini datang dengan membawa bid’ah baru yang masing-masing memiliki keistimewaan dari kelompok yang lainnya.
Pada masa Abbasiyah, Mu’tazilah tampak pada masa Al Ma’mun, bergabunglah metode Basyr Al Marisyi dan Tsumamah bin Asyras dan Ahmad bin Abi Du’ad, dia adalah ketua bid’ah I’tizal pada masanya, juga merupakan ketu fitnah Alquran adalah mahluq, dan sebagai seorang qodhi pada masa Al Mu’tashim.
Ketika terjadi fitnah alqur’an mahluq, Imam Ahmad bin Hambal yang menolak perintah Al Makmun untuk mengakui bahwa alqur’an adalah mahluq mendapatkan ujian pada masa Al Mu’tashim, berupa dipenjara dan disiksa dengan cambuk setelah wafatnya almakmun, ia menetap dipenjara selama dua tahun setengah, kemudian dikembalikan ke rumahnya dan menetap disana sepanjang kehilafahan Mu’tashim dan anaknya Al Watsiq.
Ketika Al Mutawakkil memegang tampuk kekhilafahan pada tahun 232 H, ia memenangkan Ahlu Sunnah dan memuliakan Imam Ahmad, dan melarang masa kekuasaan Mu’tazilah atas hukum dan percobaan pemaksaan aqidah mereka selama empat puluh tahun.
Pada masa daulah bani Buwaih tahun 334 H di Negara persi (Negara Syi'ah), hubungan antara Syi'ah dan Mu'tazilah menjadi sangat kuat, urusan-urusan Mu'tazilah diangkat dibawah naungan Negara ini, Qodhi Abdul Jabbar ketua Mu'tazilah diangkat menjadi Qodhi oleh oleh Shohib bin I'bad, menteri pertahanan negara Buwaih.
Setelah itu hampir saja I'tizal berhenti, kecuali yang dibangun oleh sebagian firoq seperti Syi'ah dan yang lainnya.