Mohon tunggu...
'eyyasy Kariem
'eyyasy Kariem Mohon Tunggu... -

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mu'tazilah

7 Februari 2011   01:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:50 3744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

p.sdfootnote { margin-left: 0.2in; text-indent: -0.2in; margin-bottom: 0in; font-size: 10pt; }p { margin-bottom: 0.08in; }a.sdfootnoteanc { font-size: 57%; }



  1. Pengertian



  • Secara bahasa:

Berasal dari kata عزل - يعزل - عزلا yang berarti memisahkan diri1, juga berarti عزل الشيء عن غيره yang berarti memisahkan diri dari yang lain2.



  • Sedangkan menurut istilah adalah:

المعتزلة: فرقة من المتكلمين يخالفون أهل السنة في بعض المعتقدات, على رأسهم واصل بن عطاء الذي اعتزل بأصحابه حلقة الحسن البصري, الواحد معتزل3

Mu'tazilah: Sebuah firqoh / kelompok dari para mutakallimin yang menyelisihi Ahlus Sunnah di sebagian Aqidah, Mu'tazilah ini diketuai oleh Wasil bin Atho' yang memisahkan diri beserta para sahabatnya dari halaqoh Hasan Al Basri

المعتزلة: قوم من القدرية يلقبون المعتزلة زعموا أنهم اعتزلوا فئتي الضلالة عندهم يعنون أهل السنة والجماعة والخوارج الذين يستعرضون الناس قتلا4

Mu’tazilah: Kaum dari Qodariyah yang dijuluki dengan Mu’tazilah dengan dugaan / karena mereka memisahkan diri dari dua kelompok yang mereka anggap sesat yaitu Ahlu Sunnah wal Jamaah dan Khowarij yang mengobarkan peperangan diantara manusia.

Firqoh Mu'tazilah hanya bersandar pada akal saja dalam memahami Aqidah Islamiyah karena pengaruh berbagai filsafat yang menyebabkannya menyimpang dari Aqidah ahlu Sunnah wal Jamaah, firqoh ini juga dinamai dengan Qodariyah, Adaliyah, Ahlu Adli wa At Tauhid, Al Muqtasidah, dan Al Waidiyah5, dengan begitu, jelaslah bahwa Mu’tazilah itu bukanlah termasuk dari Ahlu Sunnah wal Jamaah.

Firqoh Mu'tazilah merupakan Firqoh Islam yang tumbuh pada akhir-akhir masa Umawiyah dan bersinar (berkembang pesat) pada masa Abbasiyah.



  1. Perintisan Mu'tazilah dan Tokoh-Tokohnya





      1. Para ulama’ berbeda pendapat tentang sejarah sebab munculnya I’tizal:

a. I’tizal adalah hasil perdebatan dalam masalah Aqidah, seperti hukum bagi pelaku dosa besar, takdir: Apakah perbuatan seorang hamba sudah ditakdirkan oleh Allah atau tidak, para sahabat yang meneliti hal ini menyatakan bahwa sebab dinamai Mu’tazilah adalah:



  • Mereka memisahkan diri dari kaum muslimin dengan perkataan mereka “Tempat diantara dua tempat”


  • Mereka dikenal sebagai Mu’tazilah setelah Washil bin Atho’ memisahkan diri dari halaqoh Hasan Al Basry dan membentuk halaqoh khusus karena perkataannya tentang tempat diantara dua tempat sehingga Hasan berkata: ”Washil telah memisahkan diri dari kita”(اعتزلنا واصل)


  • Mereka menyatakan: Wajib berdiam diri tentang para pelaku dosa besar dan memutusnya.

b. Tumbuhnya I’tizal disebabkan pengaruh politik, karena Mu’tazilah adalah pengikut Ali yang memisahkan diri dari Hasan karena menyerahkan haknya

kepada Muawiyah, atau disebabkan karena mereka berhenti dari golomgn Ali dan Muawiyah maka mereka memisahkan diri sari keduanya.6



  1. Qodhi Abdul Jabbar Al Hamdany (Sejarawan tentang Mu’tazilah) menduga bahwa I’tizal / Mu’tazilah bukanlah madzhab atau firqoh atau kelompok atau sebuah perkara yang baru, akan tetapi sudah ada sejak zaman Rasulullah dan para sahabatnya, yaitu memisahkan diri dari keburukan sebagai mana firman Allah : وعتزلوكم وما تدعون


  2. Kemudian muncullah Mu’tazilah seperti firqoh Pemikiran yang diketuai oleh Washil bin Atho’ Al Ghozal (80-131 H) yang merupakan murid dari Hasan Al Bashri, kemudian memisahkan diri dari halaqoh Hasan Al Bashri setelah Washil mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada di tempat antara dua tempat (tidak mukmin dan tidak kafir)dan ia kekal di neraka selamanya jika ia tidak bertaubat sebelum ia wafat, ia hidup pada masa Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik, dan firqoh Mu’tazilah yang dinisbatkan kepadanya disebut dengan Al Wasiliyah.


  3. Karena sandaran Mu’tazilah terhadap akal dalam memahami Aqidah dan jauhnya mereka dari masalah juz’iyah, maka mereka terbagi menjadi beberapa kelompok dengan tetap berpedoman terhadap lima pokok Aqidah mereka, dan setiap kelompok dari beberapa kelompok ini datang dengan membawa bid’ah baru yang masing-masing memiliki keistimewaan dari kelompok yang lainnya.


  4. Pada masa Abbasiyah, Mu’tazilah tampak pada masa Al Ma’mun, bergabunglah metode Basyr Al Marisyi dan Tsumamah bin Asyras dan Ahmad bin Abi Du’ad, dia adalah ketua bid’ah I’tizal pada masanya, juga merupakan ketu fitnah Alquran adalah mahluq, dan sebagai seorang qodhi pada masa Al Mu’tashim.


  5. Ketika terjadi fitnah alqur’an mahluq, Imam Ahmad bin Hambal yang menolak perintah Al Makmun untuk mengakui bahwa alqur’an adalah mahluq mendapatkan ujian pada masa Al Mu’tashim, berupa dipenjara dan disiksa dengan cambuk setelah wafatnya almakmun, ia menetap dipenjara selama dua tahun setengah, kemudian dikembalikan ke rumahnya dan menetap disana sepanjang kehilafahan Mu’tashim dan anaknya Al Watsiq.


  6. Ketika Al Mutawakkil memegang tampuk kekhilafahan pada tahun 232 H, ia memenangkan Ahlu Sunnah dan memuliakan Imam Ahmad, dan melarang masa kekuasaan Mu’tazilah atas hukum dan percobaan pemaksaan aqidah mereka selama empat puluh tahun.


  7. Pada masa daulah bani Buwaih tahun 334 H di Negara persi (Negara Syi'ah), hubungan antara Syi'ah dan Mu'tazilah menjadi sangat kuat, urusan-urusan Mu'tazilah diangkat dibawah naungan Negara ini, Qodhi Abdul Jabbar ketua Mu'tazilah diangkat menjadi Qodhi oleh oleh Shohib bin I'bad, menteri pertahanan negara Buwaih.


  8. Setelah itu hampir saja I'tizal berhenti, kecuali yang dibangun oleh sebagian firoq seperti Syi'ah dan yang lainnya.


  9. Pemikiran Mu'tazilah kembali lagi pada masa sekarang oleh sebagian kitab-kitab dan para mufakkir, yang digambarkan oleh sekolah-sekolah awam yang baru.


  10. Pemikir Mu'tazilah yang paling nampak sejak pendiriannya oleh Washil bin Atho' sampai pada hilangnya pemikiran tersebut dan kembalinya dengan menjajah madzhab yang lain seperti Syi'ah, Asyariyah, dan Maturidiyah adalah:



    • Abu Hudzail Hamdan bin Hudzail Al Allaf (135-226 H) Maula Abdul Qa'is dan syaikh dan penasehat mereka.


    • Ibrahim bin Yasar bin Hani' An Nidhom (W:231 H) pada asalnya adalah pemeluk agama Barahama yang juga telah terpengaruh oleh filsafat Yunani seperti sisa-sisa Mu'tazilah.


    • Basyar bin Mu'tamar (W:662 H) termasuk salah seorang ulama' Mu'tazilah.


    • Ma'mar bin Ibad As Silmi (W: 220 H), ia adalah pembesar Qodariyah yang menekankan tidak adanya sifat-sifat Allah dan tidak adanya taqdir, baik yang baik dan yang buruk dari Allah , kelompok ini disebut Al Ma'mariyah.


    • Isa bin Shobih yang dijuluki Abi Musa yang diberi laqob Al Mirdar (W: 226H), dia juga disebut dengan rahibnya Mu'tazilah.


    • Tsumamah bin Asyras An Namiry (W:213H). ia berkeyakinan bahwa orang yang fasik kekal di neraka jika ia mati sebelum bertaubat, dan ia ketika hidup berada di tempat antara dua tempat.


    • Abu Husain bin Abi Amr Al Hiyat (W:300H), termasuk dari Mu'tazilah Baghdad, ia menyatakan bahwa sesuatu yang tidak ada itu mempunyai bentuk dan sesuatu yang tidak ada sebelum diadakannya mempunyai bentuk, dan itu jelas seperti datangnya alam. Inilah yang menyebabkn ia menyelisihi Mu'tazilah, dan kelompoknya disebut Al Hiyatiyah.


    • Qodhi Abdul Jabbar bin Ahmad bin Abduk Jabbar Al Hamdani (W:414 H), dia adalah merupakan pembesar yng paling besar dari Mu'tazilah pada masanya, ia telah menyusun undang-undang dan aqidah dan dasar pemikiran untuk Mu'tazilah.



  1. Akar Pemikiran Mu’tazilah dan Aqidah Mereka

Mu’tazilah muncul dengan mengusung dua pemikiran yang baru:



  1. Manusia bebas memilih apa yang akan ia lakukan, dan manusia itu menciptakan perbuatan-perbuatan mereka sendiri.


  2. Pelaku dosa besar bukanlah seorang muslim dan bukan juga seorang kafir, akan tetapi ia adalah seorang fasik dan berada di tempat diantara dua tempat (ini adalah keadaannya di dunia), sedangkan di akhirat ia kekal di neraka, tidak mengapa jika ia disebut muslim karena ia menampakkan islam dan mengucapkan syahadatain, tetapi ia tidak disebut mukmin.

Kemudian mereka membuat madzhab mereka menjadi 5 asas7:



  1. Tauhid (Keesaan Allah )


  2. Al adlu (Keadilan)


  3. Al Wa’du wal Waid (Janji dan Ancaman)


  4. Al Manzilah baina Manzilataini (Tempat diantara dua tempat)


  5. Amar Ma’ruf nahi Munkar (Menyeru kepada kebaikan dan mencegah pada kemunkaran)



  1. Tauhid, maksudnya ialah bahwa Allah suci dari yang serupa dan semisal, serta tidak ada sesuatupun yang menyerupai kekuasaanNya, sebenarnya ini adalah sesuatu yang haq, aka tetapi hasil kesimpulan mereka salah / batil, diantaranya: memustahilkan penglihatan Allah karena tuntutan pemahaman mereka tentang tidak adanya sifat bagi Allah , karena setiap sesuatu yang mempunyai sifat adalah dzat, sedangkan setiap dzat adalah mahluq, oleh karena itu mereka juga mengatakan bahwa Alqur’an adalah mahluq karena Allah tidak mempunyai sifat kalam.


  2. Al Adlu, maksudnya ialah Allah tidak menciptakan perbuatan hamba dan tidak menyukai kerusakan, tetapi hambalah yang mengerjakan apa yang ia perintahkan dan menjauhi apa yang ia larang sesuai kadar yang Allah tentukan dan atur untuk hambanya, dan sesungguhnya tidak memerintahkan kecuali yang ia inginkan, dan tidak melarang kecuali apa yang ia benci, ia sangat dekat dengan kebaikan dan jauh dari setiap keburukan yang ia larang, tidak membebankan sesuatu yang tidak disanggupi, dan tidak menginginkan yang tidak di mampui oleh seorang hamba.


  3. Al Wa'du wal Waid, maksudnya ialah Allah akan membalas orang yang berbuat buruk dengan keburukan, dan membalas orang yang berbuat baik dengan kebaikan, dan sesungguhnya pelaku dosa besar itu tidak akan Allah ampuni kecuali jika ia bertaubat.


  4. Tempat diantara dua tempat, maksudnya ialah pelaku dosa besar berada diantara keimanan dan kekafiran, maka ia bukanlah seorang mukmin dan bukan pula seorang kafir.


  5. Amar Ma'ruf nahi Munkar, maksudnya ialah mereka menetapkan wajibnya Amar Ma'ruf nahi Munkar bagi setiap muslim untuk menyebarkan dakwah dan petunjuk Islam bagi orang-orang yang tersesat, oleh karena itu mereka mengatakan wajib keluar dari hakim jika hakim menyelisihi dan menyeleweng dari kebenaran.

Mu'tazilah menyandarkan pengambilan atau penarikan kesimpulan untuk Aqidah-Aqidah mereka kepada akal, dan pengaruhnya adalah mereka menghukumi baik buruknya sesuatu sesuai akal mereka8.

Karena mereka bersandar pada akal maka mereka menta'wilkan sifat-sifat Allah dengan yang sesuai akal mereka secara keseluruhan, seperti sifat Istiwa', Yad, Ain, Mahabbah, Ridho, dan telah maklum bahwa muktazilah itu menafikan semua sifat, bukan kebanyakannya. Karena bersandar kepada akal pula mereka berani mencela dan menghinakan para Kibaru Sahabat, dan menuduh mereka berdusta. Washil bin atho' menuduh / mendakwa salah satu dari dua kubu pada perang jamal adalah golongan fasik, baik kubu Ali bin Abi Thalib , Amar bin Yashir, Hasan, Husain, dan Abu Ayub Al Anshari, begitu pula kubu Aisyah dan Zubair, serta menolak kesaksian seluruh sahabat tersebut dan berkata: ""لا تقبل شهادتهم

Sebab dari kaum Mu’tazilah berselisih sendiri diantara mereka dan bertambahnya jumlah kelompok dari mereka adalah penyandaran mereka terhadap akal dan penolakan mereka terhadap nash-nash yang shohih dari Al Qur’an dan As Sunnah.

Para ulama' Islam ketika masa mereka, mereka menyalahkan pendapat Mu'tazilah, diantara mereka adalah Abu Hasan Al Asyari yang merupakan bekas Mu'tazilah yang kemudian keluar dari Mu'tazilah, begitu pula Imam Ahmad bin Hambal yang disiksa dengan besi panas kepada tubuhnya lantaran tidak mau mengakui kalau Al Quran adalah mahluq9.

Perlakuan kelompok Mu’tazilah kepada para ahli fikih inilah yang menyebabkan mereka mendapat perlawanan keras dari umat Islam. Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata: “Menurutku hukuman yang tepat bagi seorang ahlul kalam (Mu’tazilah) adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan sandal dihadapan orang banyak yang berasal dari berbagai macam kabilah. Kemudian dikatakan kepadanya: "Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan kitab Allah dan Sunnah Nabi , serta menyibukkan dirinya untuk membicarakan kalam Allah .” Imam Ahmad juga pernah berkata: “Ulama’-ulama’ ahlul kalam adalah orang-orang yang Zindiq (Ateis)10.

Ada juga yang menyatakan bahwa pemikiran Mu'tazilah tentang tiadanya sifat-sifat Allah itu berasal dari pokok filsafat Yahudi, Ja'ad bin Dirham mengambil pemikirannya dari Aban bin Sam'an, sedangkan Aban bin Sam'an mengambilnya dari Tholut, sedangkan Tholut mengambil dari pamannya, Lubaid bin Al Ashom seorang Yahudi11.

Kelompok Mu’tazilah juga berpendapat bahwa orang yang tidak sependapat dengan mereka dalam masalah tauhid dikategorikan sebagai orang musyrik, dan orang yang tidak sependapat dengan mereka dalam masalah sifat-sifat Allah dianggap sebagai musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan sesuatu). Sedangkan orang yang tidak sependapat dalam masalah Alwa’du wal Wa’id dianggap sebagai orang Murji’ah.sedangkan orang yang meyakini kelima prinsip Mu’tazilah, dikatakan sebagai seorang pengikut kelompok Mu’tazilah sejati12.



  1. Pemikiran Mu’tazilah yang baru

Banyak kitab dan para Pemikir pada zaman sekarang yang mencoba untuk menghidupkan kembali pemikiran Mu’tazilah setelah atau hampir hilang ditelan oleh waktu dan mengemasnya dengan kemasan baru, dan memberinya nama-nama baru, seperti kebebasan berfikir, pembaharuan, dan lain sebagainya, diantara Pemikiran mereka yang terbaru adalah:



  1. Akal merupakan jalan satu-satunya untuk sampai pada sebuah hakekat, sampai-sampai walaupun hakekat itu merupakan perkara syar’i yang ghoib, maksudnya ialah mereka menundukkan setiap Aqidah dan setiap pemikiran dibawah akal manusia yang pendek.


  2. Yang lebih menghawatirkan lagi dalam pemikiran Mu’tazilah adalah mereka mencoba untuk merubah hukum-hukum syar’i yang didalamnya tertera nash-nash dari Alqur’an dan Assunnah, seperti hukuman bagi orang yang murtad, kewajiban jihad, hudud, dan yang lainnya. Terlebih lagi tentang perkara hijab, poligami, pewarisan, dan lain sebagainya. Para pemikir Mu’tazilah meminta supaya perkara-perkara tersebut ditinjau kembali dan berhukum dengan akal terhadap perkara tersebut. Yang jelas akal yang dijadikan sebagai landasan hukum tersebut merupakan pengaruh dari pemikiran barat seputar keputusan-keputusan hukum tentang masalah tersebut pada masa sekarang.


  3. Termasuk diantara para penyeru pemikiran Mu’tazilah yang terbaru diantaranya adalah: -Sa’ad Zaglul yang menyerukan untuk melepaskan hijab bagi perempuan Mesir, -Qosim Amin pengarang kitab Tahrirul Mar’ah (kebebasan perempuan) dan Almar’ah Aljadidah (perempuan baru), Lutfi Sayyid yang disebut dengan Ustad Jil (Guru Bangsa) dan Toha Husain yang mempunyai nama Umaid Al Adab Al Aroby, dan mereka semua ini berada di negara Arab.

Sedangkan di daerah India yang nampak adalah Ahmad Khon, dia berpendapat bahwa yang menjadi dasar tasyri’ adalah Alqur’an Al Karim saja, sedangkan Sunnah Nabi tidak, dia juga menghalalkan riba al basith didalam mu’amalat tijariyah, menolak hukum rajam dan meniadakan syariat jihad dalam menyebarkan dien.

Ada juga muridnya, Sayyid Amir yang menghalalkan pernikahan seorang mukminah dengan lelaki ahli kitab, juga menghalalkan ikhtilat antara laki-laki dan perempuan.

Dari mereka juga ada golongan orang awam yang tidak mengenal iltizam dengan Islam, seperti Zaki Najib Mahmud pemilik teory (Al Wadhiyyah al Mantiqiyyah) yang merupakan cabang dari filsafat Wad’iy yang terbaru yang mengingkari setiap perkara yang ghoib.

Ada juga Ahmad Amin, pemilik karangan-karangan kitab sejarah dan adab, seperti Dhuha Islam, Fajar Islam, Dhohrul Islam, dia menangisi kematian Mu’tazilah pada sejarah masa lalu, seakan-akan dengan masih adanya mu’tazilah dapat mendatangkan maslahat bagi Islam. Dia juga mengatakan dalam kitabnya Dhuha Al Islam; “Saya berpendapat bahwa musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin adalah matinya mu’tazilah".

Adapun orang-orang yang masih hidup yang berjalan diatas seruan Akal Mu’tazilah dalam tingkatan Aqidah dan Syari’ah, seperti doktor Muhammad Fathi Utsman dalam kitabnya “Al Fikru Al Islamy wa At Tathowwur” dan doktor Hasan At Turaby dalam dakwahnya / seruannya terhadap pembaharuan ushul fikih, dia berkata: “Sesungguhnya penegakan hukum-hukum Islam pada masa sekarang itu membutuhkan terhadap sebuah ijtihad aqly yang besar, sedangkan akal adalah jalan yang dapat menghantarkan kepada hal itu, yang tidak seorangpun yang berakal mengingkari hal tersebut, dan ijtihad yang kita butuhkan bukanlah ijtihad dalam furu’ saja, akan tetapi merupakan ijtihad dalam ushul juga”.

والله أعلم با الصواب

p { margin-bottom: 0.08in; }

Adib Al Jifary

1 Mahmud yunus, hal:265

2 Kamus al mubawir, hal:927

3 Mu’jam al wasith, hal:620

4 Lisanul arob, jilid:11, hal:440

5 Al mausu’ah al muyassaroh, jilid:1, hal:69

6 Mausu’ah muyassaroh, jilid:1, hal:69

7 Ensiklopedia, hal:827

8 Mausuah muyassaroh, jilid:1, hal:73

9 Ibid:74

10 Ensiklopedia, hal:832

11 Mausuah muyassaroh:71

12 Ensiklopedia, hal:827

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun