Mohon tunggu...
Eyrine Tanjung
Eyrine Tanjung Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA

Menulis dengan hati, menyelidiki dengan akal, dan melaporkan dengan keberanian itu adalah esensi jurnalisme. - Saya suka membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Serangkai Kebaikan

5 September 2024   14:49 Diperbarui: 13 Oktober 2024   20:10 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis cerpen

Pagi telah kembali membawa misteri baru hari ini. Matahari kala itu menampakkan wajahnya dari arah timur, memancarkan terangnya di sebuah kota metropolitan yang sudah dihuni banyak jiwa. Butiran embun meyelimuti tanah dan rerumputan halaman pemilik rumah-rumah itu. Udara sejuk pun sangat menyegarkan pagi ini. Ayam jantan milik tetangga itu, sudah sejak pagi buta melantunkan suara khasnya yang gagah. Begitu juga dengan burung-burung yang membentangkan sayapnya dan menari di udara.

Di teras sebuah rumah yang cukup besar, terlihat seorang anak laki-laki berseragam putih merah itu memakai sepatu hitamnya, bersiap pergi ke sekolah. Namanya adalah Liam Budi Dermawan, anak tunggal si pemilik rumah tersebut. Panggil saja anak itu Liam. Sekarang, ia duduk di bangku kelas 4 SD di sekolah terdekat dari rumahnya.

Sebelum berangkat, Liam akan berpamitan kepada ibunya. Saat hendak berpamitan kepada Ibu, Ibu Liam memberikan bekal makan siang kepada Liam untuk ia makan pada saat makan siang. Setelah Ibu memasukkan bekal, Liam pun mencium tangan Ibu, lalu berangkat pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Kebetulan, Ayah Liam selalu berangkat kerja pagi-pagi sekali ketika Liam belum bangun. Liam berangkat pagi agar ia tak terlambat pergi ke sekolah.

Dalam perjalanannya menuju ke sekolah, Liam melewati jalanan umum yang biasa ia lewati setiap hari. Sudah banyak transportasi umum maupun kendaraan milik pribadi yang membelah jalan kota pagi itu. Di sana, juga ada banyak rumah makan, kedai, kafe, serta pedagang kaki lima yang berjejer di sepanjang pinggir jalan yang baru membuka dagangan mereka, bersiap untuk berniaga.

Liam melihat-lihat keadaan sekitarnya. Tiba-tiba muncul aroma tajam yang menusuk hidung anak itu. Aroma menggiurkan itu berasal dari rumah makan Padang yang sedang ia lintasi. Liam pun berhenti sejenak, memperhatikan rumah makan yang menampilkan masakan khas Padang itu. Ia cukup tergoda dengan aroma yang mengundang rasa lapar itu, tapi ia memilih untuk melanjutkan perjalanannya menuju sekolah.

Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba, ia berhenti lagi. Matanya kini terpaku pada penampakan kue dan roti yang dipajang di depan kaca jendela sebuah toko roti di seberang jalan. Liam meneguk air liurnya, menahan diri untuk tidak tergoda dengan roti-roti itu. Kepalanya kini membayangkan, betapa nikmatnya jika ia memakan roti maupun nasi Padang tadi. Namun, Liam tetap konsekuen dan meneruskan perjalanannya menuju ke sekolah.

Sebenarnya, penampakan ini telah ia lihat setiap hari saat ia ingin berangkat ataupun pulang sekolah dengan berjalan kaki, Liam tetap menahan diri untuk tidak tergoda dengan makanan-makanan yang selalu mengundang rasa laparnya.

Setelah beberapa lama Liam berjalan, Liam tidak sengaja melihat seorang wanita tua yang sedang mendorong gerobak dagangnya di jalanan yang menanjak ke atas. Segera ia hampiri wanita tua itu, lalu membantunya mendorong gerobak.

"Biar saya bantu, Bu," kata Liam sambil mendorong gerobak itu.

"Terima kasih, Nak. Kau baik sekali," jawab wanita itu.

"Sama-sama, Bu. Saya pamit dulu," pamit Liam setelah membantu wanita itu.

Tak terasa Liam telah berjalan cukup lama, ia akhirnya sampai di sekolah. Bel pertanda masuk pun berbunyi. Liam dan teman-teman pun memulai pelajaran pertamanya pagi ini.

***

(Kring... kringg.. kringg...) Bel sekolah berbunyi menandakan istirahat. Tak terasa lamanya belajar, akhirnya istirahat pun datang. Beberapa teman sekelas Liam pergi keluar untuk jajan di kantin atau bermain sepak bola di lapangan. Sisanya, berada di dalam kelas untuk memakan bekal makan siang mereka, termasuk Bu Eva, wali kelas Liam yang mengajar pelajaran tadi. Saat ini, Bu Eva sedang mengerjakan sesuatu di meja kerjanya. Sementara itu, Liam hanya membisu di bangkunya cukup lama.

Wali kelas Liam pun sekilas memperhatikan Liam yang termangu di bangkunya. Di saat yang bersamaan, Anto, teman sebangku Liam, juga memperhatikan Liam yang hanya berdiam diri, tak makan, jajan, maupun bermain di luar. Liam tak melakukan hal lain selain mencorat-coret belakang bukunya.

Ibu guru pun hendak berdiri menghampiri Liam, namun Anto, telah lebih dulu menghampiri bangkunya, duduk di sebelah Liam. Jadi, Bu Eva pun kembali duduk dan memperhatikan mereka berdua. Kebetulan, Anto yang baru datang dari kantin membawa beberapa bungkus jajanan. Kemudian, Anto mengeluarkan kotak bekal miliknya.

"Liam, kok kamu bengong? Lagi mengheningkan cipta, ya?," tanya Anto dengan polos sambil memiringkan kepalanya.

"Kalau mengheningkan cipta, hari Senin aja To. Sekarang 'kan, masih hari Rabu. Lagi pula, mengheningkan cipta harusnya diiringi lagu, To," jawab Liam membalas pertanyaan konyol Anto.

"Iya juga, sih. Jadi kenapa kamu diam aja? Kok, tumben gak keluar kelas?"

"Aku bosan bermain bola di luar, To. Lagian juga, habis main cuma dapat capeknya aja."

"Oh, gitu. Kamu gak lapar, Liam? Nih, ambil bekal rotiku saja, kebetulan aku baru beli jajanan lain di kantin, aku bosan makan bekal rotiku." Anto menawarkan bekalnya kepada Liam.

"Kok, bosan, To? 'Kan masih banyak orang yang kelaparan di luar sana. Sebaiknya, kamu jangan menyia-nyiakan makanan, To," tanya Liam sambil meraih kotak bekal Anto.

"Iya, iya deh, Liam. Aku tak akan menyia-nyiakan makanan lagi."

"Nah, gitu dong, To. Tapi, makasih ya, To, atas bekalnya. Kapan-kapan aku traktir, deh."

"Iya, sama-sama. Jangan lupa, ya!"

Anto pun berbaik hati membagi bekalnya dengan Liam. Mereka pun makan bersama sambil bercerita-cerita. Setelah mereka banyak bercerita, bel pun berbunyi lagi, menandakan selesai istirahat. Mereka pun kembali belajar di ruang kelas.

***

Sekolah pun telah usai. Liam dan teman-teman pulang ke rumahnya masing-masing. Liam berjalan kembali rumah dengan melewati jalan umum tadi pagi. Semakin terik matahari, semakin ramai jalanan itu dengan para karyawan perusahaan dan pegawai negeri yang keluar untuk makan siang di tempat makan.

Liam memperhatikan sekitar jalan, ada banyak orang berdiri mengantri di kaki lima, ada juga yang mengantri di kafetaria. Liam memperhatikan banyak orang yang makan di sana. Liam pun merasa lapar. Tapi, ia tak membawa sedikit uang untuk sekadar membeli roti, demi mengganjal rasa laparnya.

Perjalanan ke rumahnya memang tak jauh lagi, tapi rasa lapar yang menghantuinya membuat perjalanan terasa masih panjang. Dengan amat lesu, Liam berjalan lagi menuju ke rumahnya.

Sesampainya Liam di rumah, dengan tidak sabarnya, ia langsung menghampiri meja makan. Lalu, menyendokkan nasi ke piringnya dan menambahkan lauk-pauk ke dalamnya. Ia makan dengan lahap. Ibunya jadi bingung, belakangan ini, setiap kali Liam pulang dari sekolah, Liam langsung menghampiri meja makan. Liam bersikap seolah tak pernah makan siang saat istirahat di sekolahnya.

***

Hari berikutnya pun datang, seperti biasa Liam akan berangkat pergi ke sekolah. Ibunya pun seperti biasa memberikan bekal kepada Liam sebelum berangkat. Kali ini, Liam tak akan berjalan kaki. Tumben sekali Liam diantar oleh Ayah dengan mobil sedan putih milik mereka. Tempat kerja Ayah searah dengan sekolah Liam. Tapi, tak seperti biasanya, hari ini Ayah bisa berangkat agak siang. Jika Liam tak berjalan kaki, Liam mungkin tak lagi mencium aroma masakan Padang, melihat kue yang dipajang di toko roti, atau melihat pedagang bakso di pinggir jalan.

Mobil itu pun berhenti di depan gerbang sekolah. Liam pun berterima kasih pada Ayah yang telah mengantar Liam pergi ke sekolah. Liam pun turun dan pamit untuk masuk ke dalam sekolah. Ayah Liam berpesan agar Liam rajin belajar. Setelah Liam masuk ke dalam sekolah, mobil Ayah pun tak terlihat lagi. Tak lama setelah mobil Ayah telah pergi, Liam kemudian memutar arahnya menuju ke suatu tempat sepi di luar sekolah untuk menemui seseorang. Setelah beberapa lama ia di sana, Liam pun kembali ke sekolah.

***

Pada saat jam pelajaran pertama berlangsung, Bu Eva memberikan soal matematika kepada para siswa. Liza, teman Liam yang duduk di belakang Liam, merasa kesusahan dalam mengerjakan soal matematika yang diberikan Bu Eva. Begitu juga dengan Anto yang kebingungan menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.

"Liam, bisakah kamu membantuku?" tanya Liza kepada Liam.

"Ada apa, Liza?" tanya Liam berbalik kepada Liza.

"Bagaimana cara menghitung ini?," Liza menunjuk pada soal yang ia tulis.

"Liam, aku juga gak paham. Kepalaku rasanya akan meledak karena soal ini," sahut Anto mengeluh.

"Waduh, emang kepala kamu bom, To, sampai mau meledak begitu?," tanya Liza kepada Anto.

"Kayaknya, iya deh, Liz," jawab Anto.

"Dasar kamu, Anto! Si paling jago ngarang cerita. Tapi, giliran diminta ngarang cerita, malah mikir. Terus, giliran diminta menghitung soal, malah ngarang. Gimana sih, kamu, To? Agak lain," kata Liam sambil terkekeh dengan sikap Anto.

Liam pun dengan senang hati membantu temannya memahami cara mengerjakan soal matematika itu. Setelah mereka paham, barulah mereka dapat mengerjakan soalnya.

Bel istirahat pun berbunyi menandakan istirahat, lagi-lagi Liam hanya berdiam diri di kelas dengan coretan-coretan di belakang bukunya. Wali kelasnya sudah sering memperhatikan Liam termenung di kelas. Hari ini, Anto tak bisa menemani Liam. Anto sedang bermain bola dengan teman-teman lainnya di lapangan. Ibu Eva menghubungi orang tua Liam tanpa Liam ketahui, bertanya, mengapa Liam jarang keluar kelas saat istirahat untuk bermain atau jajan di kantin sekolah dan juga tak membawa bekal.

Ibu Liam yang merespon pun menjawab bahwa anaknya itu selalu dibuatkan bekal setiap hari. Justru, Ibu Liam bingung dengan pertanyaan Bu Eva. Sebaliknya, Bu Eva mungkin mengira bahwa bekalnya Liam sudah dimakannya sejak pagi, sebelum pelajaran dimulai.

***

Pulang sekolah, setelah Liam pulang ke rumah, Ibu bertanya kepada Liam mengenai bekal yang selalu Ibu sediakan sebelum berangkat. Liam tertegun mendengar perkataan Ibu yang tadi siang dihubungi oleh wali kelasnya karena hanya diam tak makan ataupun main.

Liam pun menceritakan hal yang sebenarnya terjadi selama ini. Liam berkata, bahwa sejak hari Senin itu, ia bertemu dengan seorang anak laki-laki yang sebayanya. Namanya Dodi, ia tak punya uang untuk sekolah, bahkan untuk makan sehari-hari. Dodi tinggal dengan ibu dan satu adiknya di sebuah gubuk kecil di gang sempit yang kumuh dekat sekolahnya. Dodi telah putus sekolah sejak ayahnya meninggal. Anak itu harus banting tulang sebagai punggung keluarga menjadi pemulung sampah dengan hasil yang relatif kecil untuk menyambung hidup keluarganya.

Liam selalu memberikan bekalnya untuk mereka makan pagi hingga siang. Sedangkan untuk makan malam, mereka dapat menggunakan hasil memulung barang bekas dan sampah dari toko-toko maupun pinggiran jalan. Terkadang, Liam juga menyisihkan uang saku yang diberikan Ayah saat ingin berangkat bekerja. Biasanya, Ayah tak tanggung-tanggung memberi Liam sedikit uang untuk jajan selama seminggu. Jadi, Liam bisa menghemat sedikit uangnya untuk ditabung juga.

Ibu Liam merasa tersentuh dengan cerita Liam. Sungguh berhati mulia anak tunggalnya itu. Mulai esok, Ibu Liam akan membungkus bekal lebih untuk Liam dan temannya itu, agar Liam juga tak kelaparan di sekolah. Ibu Liam tak salah mendidik anakya, Liam telah menjadi anak yang baik, jujur, dan berbudi luhur. Liam adalah anak pintar yang berbudi dermawan seperti namanya. Ibu Liam berpikir, bahwa Liam kelak akan menuai kebaikan yang selama ini ia tanam dengan hati yang ikhlas.

***

Cerita ini mengandung pesan moral yang sangat menyentuh tentang kepedulian dan kebaikan hati seorang anak kecil, Liam. Meskipun masih duduk di bangku sekolah dasar, Liam sudah menunjukkan rasa empati yang besar dengan membantu orang-orang di sekitarnya, baik itu wanita tua yang ia bantu mendorong gerobak, maupun temannya yang membutuhkan bekal makanan. Ada juga pesan tersirat tentang pentingnya menghargai makanan dan tidak menyia-nyiakannya, yang disampaikan melalui dialog antara Liam dan Anto. Sikap Liam yang rela berbagi bekal dengan Dodi, seorang anak yang kurang beruntung, menggambarkan betapa tulus hatinya dalam membantu sesama. 

Meskipun masih muda, dia sudah memiliki kesadaran sosial yang tinggi dan keberanian untuk berbuat baik, bahkan tanpa mengharapkan imbalan. Bagian akhir cerita ini semakin memperkuat makna bahwa kebaikan hati akan selalu mendapatkan balasan yang baik pula, baik dari segi kasih sayang keluarga maupun dari orang-orang di sekitarnya. Keluarga Liam, terutama ibunya, juga menjadi teladan dalam mendukung kebaikan yang dilakukan anaknya, dengan memberikan bekal lebih agar Liam bisa terus membantu orang lain tanpa mengorbankan dirinya sendiri.

Semoga bermanfaat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun