Hari berikutnya pun datang, seperti biasa Liam akan berangkat pergi ke sekolah. Ibunya pun seperti biasa memberikan bekal kepada Liam sebelum berangkat. Kali ini, Liam tak akan berjalan kaki. Tumben sekali Liam diantar oleh Ayah dengan mobil sedan putih milik mereka. Tempat kerja Ayah searah dengan sekolah Liam. Tapi, tak seperti biasanya, hari ini Ayah bisa berangkat agak siang. Jika Liam tak berjalan kaki, Liam mungkin tak lagi mencium aroma masakan Padang, melihat kue yang dipajang di toko roti, atau melihat pedagang bakso di pinggir jalan.
Mobil itu pun berhenti di depan gerbang sekolah. Liam pun berterima kasih pada Ayah yang telah mengantar Liam pergi ke sekolah. Liam pun turun dan pamit untuk masuk ke dalam sekolah. Ayah Liam berpesan agar Liam rajin belajar. Setelah Liam masuk ke dalam sekolah, mobil Ayah pun tak terlihat lagi. Tak lama setelah mobil Ayah telah pergi, Liam kemudian memutar arahnya menuju ke suatu tempat sepi di luar sekolah untuk menemui seseorang. Setelah beberapa lama ia di sana, Liam pun kembali ke sekolah.
***
Pada saat jam pelajaran pertama berlangsung, Bu Eva memberikan soal matematika kepada para siswa. Liza, teman Liam yang duduk di belakang Liam, merasa kesusahan dalam mengerjakan soal matematika yang diberikan Bu Eva. Begitu juga dengan Anto yang kebingungan menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.
"Liam, bisakah kamu membantuku?" tanya Liza kepada Liam.
"Ada apa, Liza?" tanya Liam berbalik kepada Liza.
"Bagaimana cara menghitung ini?," Liza menunjuk pada soal yang ia tulis.
"Liam, aku juga gak paham. Kepalaku rasanya akan meledak karena soal ini," sahut Anto mengeluh.
"Waduh, emang kepala kamu bom, To, sampai mau meledak begitu?," tanya Liza kepada Anto.
"Kayaknya, iya deh, Liz," jawab Anto.
"Dasar kamu, Anto! Si paling jago ngarang cerita. Tapi, giliran diminta ngarang cerita, malah mikir. Terus, giliran diminta menghitung soal, malah ngarang. Gimana sih, kamu, To? Agak lain," kata Liam sambil terkekeh dengan sikap Anto.