Mohon tunggu...
Excelindo Krisna Putra
Excelindo Krisna Putra Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaExcellent

Pengelana Masa • Perekam Peristiwa • Peramu Peradaban | Blog Pribadi: https://excelindokrisnaputra.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salatiga, Kota Modern Eropa di Tanah Jawa

24 Juli 2022   06:00 Diperbarui: 24 Juli 2022   06:35 1927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pusat Gemeente Salatiga di Tamansari | KITLV Leiden

Bertambahnya penduduk Eropa yang tinggal di Salatiga pada awal abad ke 20 membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda merancang kota ini menjadi kota yang liveable (layak ditinggali) dan loveable (layak dicintai) bagi orang kulit putih. 

Tercatat pada tahun 1905 setidaknya 17% orang kulit putih mendiami Salatiga yang terdiri atas 800 orang Eropa, 1.300 orang China, 80 orang timur asing dari jumlah penduduk kurang lebih 12.000. Jumlah ini terus berkembang sampai tahun 1930 terdapat 4.338 jiwa kulit putih dari jumlah penduduk yang juga berkembang mencapai angka 55.355 jiwa.

Banyaknya warga Belanda yang tinggal di Salatiga didorong oleh faktor geografis, pertahanan dan perekonomian. Kondisi geografis yang terletak di  kaki Gunung Merbabu, Telomoyo dan Gajahmungkur dengan ketinggian rata-rata 600 mdpl serta suhu rata-rata 23-24 derajat celcius membuat kondisi yang sangat ideal untuk warga Eropa bermukim disini karena kondisi yang tidak jauh berbeda dengan negeri asal.

Salatiga dipandang strategis oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada masa lampau karena terletak di jalur perdagangan dari pantai utara Jawa menuju ke pusat kekuasaan pribumi di pedalaman seperti Surakarta dan Yogyakarta.

Sehingga ditempatkanlah pasukan militer infantri, kavaleri dan artileri dengan dibangunnya benteng Fort De Hersteller dan Fort De Hock, hal ini membuat banyak pasukan Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang bertugas di wilayah ini.

Sistem Cultuurstelsel (tanam paksa) yang diperkenalkan pada 1830 menjadikan Salatiga sebagai Afdeeling karena kesesuaian faktor geografisnya. Tercatat 81 perusahaan pada 1920 menjadi bagian dari Afdeeling Salatiga  seperti perkebunan Assinan, Banaran, Tlogo, Ampel Gading, Gogodalem, Jatirunggo, Kebonsari, Plaur, Sembir, Golli, Getas dan Gesangan. 

Komoditas utamanya adalah kopi yang mencapai 240.000 tanaman saat itu menjadikan Salatiga sebagai lumbung kopi, serta berbagai tanaman lain yaitu karet, kina, coklat, kapuk, tembakau, sayuran, rempah dan gandum. Industri pertanian ini menjadi salah satu sumber pendapatan yang menjanjikan bagi Kerajaan Belanda, sehingga banyak tenaga kerja dan pengusaha yang terserap di industri tersebut bermukim di Salatiga.

Kepatihan Salatiga pun berganti status menjadi Stadsgemeente (Kotapraja dengan otonomi terbatas) dengan ketetapan Staatsblad Nomor 266 tahun 1917, kemudian statusnya ditingkatkan menjadi Gemeente (Kotapraja dengan otonomi penuh) pada tahun 1926. 

Walaupun banyak dipertanyakan orang tentang penduduknya yang sedikit dan wilayah sekecil saat itu, Pemerintah Hindia Belanda tetap mengistimewakan daerah ini demi kepentingan kenyamanan warga kulit putih di Salatiga terutama berkaitan dengan manajemen rentang kendali, yaitu kapasitas koordinasi dan aksesibilitas dalam pelayanan publik.

Gemeente Salatiga bermodalkan 8 desa yaitu Sidorejo Lor, Krajan, Kutowinangun, Kalicacing, Mangunsari, Gendongan, Tegalrejo, Ledok. Delapan desa tersebut membentuk wilayah menyerupai persegi panjang dengan ukuran empat kilometer dikali tiga kilometer dan luas 1.200 hektar saja. 

Sumber pendapatan pemerintah kolonial dalam administrasi pemerintahan gemeente diperoleh melalui pajak tanah, pajak reklame, pajak tontonan, izin mendirikan tempat tinggal dan izin kegiatan usaha ekonomi.

Status Gemeente pada Salatiga membuka peluang otonomi dalam mengatur beberapa hal antara lain, (1) Mengatur, memperbarui, dan membuka jalan-jalan dalam kota (mencakup pembuatan taman kota, jembatan, saluran air), (2) Membersihkan dan memperindah jalan-jalan, taman, dan lapangan, (3) Menyelenggarakan penerangan jalan untuk umum, dan (4) Mengatur pemakaman.

Staatsblad menjadi tonggak penting bagi Gemeente Salatiga dibawah kepemimpinan Burgemeester (Wali Kota) dan Gemeenteraad (Dewan Kota). Komposisi organisasi Pemerintah Gemeente Salatiga terdiri atas 25 orang Belanda sebagai staf serta penentu kebijakan, 20 orang pribumi dan 3 orang timur asing.

Sedangkan pada organisasi Gemeenteraad (Dewan Kota) terdiri atas 8 orang Belanda, 2 orang pribumi dan 1 orang China. Terdapat satu pejabat berkebangsaan Belanda yaitu Afdeeling Controleur yang bertugas membantu Burgemeester untuk menangani dan mengawasi dalam bidang perkebunan.

Burgemeester dan Gemeenteraad ditunjuk langsung oleh Gubernur Jenderal yang menempatkan J.H.J. Sigal menjadi menjadi Burgemeester pertama merangkap Assistent Resident

Setelah dilantik, Burgemeester dan Gemeenteraad mulai bekerja keras untuk mewujudkan pembangunan Salatiga yang nyaman bagi warga Belanda. Walaupun ditujukan untuk kenyamanan penduduk kulit putih, namun nyatanya fasilitas-fasilitas publik juga dirasakan oleh pribumi.

Fasilitas jalan beraspal dan memberikan ruang khusus bagi pejalan kaki di sisi jalan yang disebut trotoar dengan memperhatikan aspek kerapian dan estetika, untuk menjaga suasana sejuk kota ini pemerintah juga melengkapi dengan tanaman terutama pohon berukuran besar. 

Fasilitas listrik sudah dapat dirasakan warga Salatiga pada tahun 1920-an walaupun masih terbatas di jalan-jalan protokol dengan pembangkit tenaga air di Desa Jelok Kabupaten Semarang.

 Mata air Senjoyo memang sudah sejak lama memasok kebutuhan air minum bagi Salatiga, selain dirumah-rumah kulit putih disediakan juga keran umum untuk warga pribumi. Fasilitas perkantoran juga dibangun satu kompleks dengan kantor Assistent Resident yaitu Algemeene Volksch Bank dan Post Telefoon Telegram Kantoor.

Menghadirkan Eropa di tanah Jawa menjadi acuan utama pemerintah Gemeente Salatiga, pola-pola pembangunan kota disesuaikan dengan pola yang sama di Eropa pada masa itu. 

Penataan jalan menyerupai pola radial konsentris Eropa dengan ciri empat ruas jalan lebar yang mengarah pada satu titik berupa bundaran taman dilengkapi air mancur yang dijadikan pusat kota sampai saat ini. 

Keempat jalan tersebut adalah Toentangschweg (jalan Diponegoro (ke arah Semarang)), Soloscheweg (jalan Jenderal Sudirman (ke arah Surakarta)), Bringinscheweg (jalan Pattimura (ke arah Bringin)), ditambah satu jalan yang dibangun untuk melengkapi ketiga ruas yang sudah ada yaitu Wilhelminalaan (jalan Pemuda (ke arah Kalitaman)).

Seperti halnya Republik Indonesia saat ini yang menetapkan nama jalan untuk para tokoh pahlawan yang berjasa, nama-nama jalan di Gemeente Salatiga dimaksudkan untuk mengabadikan keluarga Kerajaan Belanda atau perihal yang berkaitan seperti Willemslaan (jalan Ledoksari), Julianalaan (jalan Langensuko), Kerkhofweg (jalan Taman Pahlawan), Prins Hendrikalaan (jalan Yos Sudarso), Emmalaan (jalan Adi Sutjipto), Atcherweg (jalan Pungkursari), Cavalerieweg (jalan Veteran), Kampementsweg (jalan Ahmad Yani), De Witteweg (jalan Dr. Soemardi), Kweekschoollaan (jalan Osamaliki), Normaalschoolweg (jalan Kartini), Verbidingsweg (jalan Kalinongko), dan Villa Park (jalan GOR Kridanggo).

Pemukiman dan Pemakaman

Pemukiman di Gemeente Salatiga terbagi atas tiga kawasan yaitu Kawasan Eropa (Europeesche Wijk), Kawasan China (Chinese Wijk), dan kawasan pribumi. Toentangschweg (jalan Diponegoro (ke arah Semarang)) menjadi kawasan utama pemukiman Eropa ditambah Bringinscheweg (jalan Pattimura (ke arah Bringin)), Prins Hendrikalaan (jalan Yos Sudarso), sekitar alun-alun, Jetis dan Buksuling. Arsitektur rumah dibangun gaya Eropa dengan penyesuaian beberapa komponen untuk menghadapi iklim tropis Hindia Belanda.

Kawasan China (Chinese Wijk) berpusat di Soloscheweg (jalan Jenderal Sudirman (ke arah Surakarta)) ditambah beberapa ruas jalan yang memotong jalan tersebut baik yang ke arah timur maupun barat. 

Karakter arsitektur rumah di kawasan ini berderet memanjang sepanjang jalan dengan dua fungsi bangunan yaitu bagian depan untuk usaha dan bagian belakang untuk rumah tinggal layaknya rumah toko sekarang. Hal inilah yang menjadikan kawasan tersebut menjadi pusat perekonomian dan perdagangan di Salatiga.

Kaum pribumi pada umumnya bermukim di luar wilayah Kawasan Eropa dan Kawasan China dengan rumah yang relatif tidak permanen. Pemerintah Gemeente saat itu membangun infrastruktur berupa pengerasan jalan menggunakan tegel batu di kawasan ini. Sisa peninggalannya masih nampak di kawasan Pancuran, Gendongan, Kalioso dan Kalicacing.

Program penghijauan kota tak luput dari perhatian Pemerintah Gemeente saat itu dengan menanam tanaman peneduh di kanan kiri jalan raya seperti tanaman Asam Jawa, Kenari, Mahoni dan Tanjung serta melengkapinya dengan tanaman hias di taman kota. 

Petugas kebersihan secara rutin membersihkan jalanan, saluran air dan mengangkut sampah di Kawasan Eropa (Europeesche Wijk) dan  Kawasan China (Chinese Wijk) termasuk kawasan pribumi yang berdekatan dengan kedua kawasan tersebut.

Sebagaimana yang tercantum dalam kewenangan Pemerintah Gemeente, pemakaman bagi warga kota pun diatur. Tidak jauh berbeda dengan penataan kawasan pemukiman, penataan pemakaman diatur sesuai stratifikasi masyarakat saat itu sehingga dibedakan antara pemakaman orang Eropa, orang China, dan orang Pribumi. 

Kompleks makam orang Eropa (Kerkhof) terletak di wilayah Kutowinangun dekat dengan rumah sakit, Kerkhof tersebut dikelilingi oleh kontruksi pagar besi dan marmer berikut gerbangnya yang khas Eropa. 

Warga China menempati makam (Bong) di wilayah Sidorejo Lor yang dilengkapi dengan gerbang dan makam berkontruksi tembok permanen berarsitektur khas China. Sedangkan, untuk pemakaman warga pribumi berlokasi di wilayah masing-masing kecuali untuk golongan priyayi dipusatkan di makam Andong.

Pariwisata

Kawasan Tamansari menjadi titik pusat pemerintahan dan perekonomian kota dibangun taman asri yang dikenal dengan nama Tamansari. Tamansari menjadi ruang publik masyarakat Salatiga yang menyuguhkan pemandangan alam berlatar Gunung Merbabu dan Telomoyo serta taman bunga Bougenville dan Alamanda menambah warna taman ini. 

Warga juga dapat bersantai di gazebo yang telah disediakan, bagi yang memiliki minat olahraga tenis difasilitasi lapangan represesntatif di sisi timur. Air mancur selain estetik juga menambah keasrian dan gemercik airnya menenangkan pikiran serta menyegarkan jiwa dari kepenatan rutinitas.

Pada tahun 1937-1938 didirikanlah Tugu Beatrix di Tamansari untuk menyambut kelahiran Ratu Beatrix yang saat itu masih dalam kandungan Ratu Yuliana. 

Menjelang kelahirannya masyarakat Belanda Salatiga berkumpul di depan tugu yang masih ditutupi kain, pembukaan tugu tersebut dilakukan dengan upacara peresmian dan dentuman meriam seiring lahirnya Ratu Beatrix, perayaan besar kemudian dilanjutkan di Societeit Harmonie

Pemerintah Gemeente juga melengkapi tugu dengan taman bunga aneka warna serta rumput hijau. Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia Presiden Soekarno berorasi di depan rakyat saat kunjungannya ke Salatiga di lokasi ini.

Tidak jauh dari Tamansari dibangun Badplaats atau kolam renang yang memanfaatan sumber air Kalitaman pada tahun 1928. Badplaats Kalitaman ini khusus diperuntukan bagi orang kulit putih saja, luasnya 300 meter persegi dengan panjang 20 meter dan lebar 15 meter. 

Sedangkan untuk warga pribumi disediakan pemandian di sisi utara untuk pria dan selatan untuk wanita, asal mula istilah Kali Lanang (pemandian untuk pria) dan Kali Wedok (pemandian untuk wanita) muncul dari pembagian tempat tersebut.

Di sekitar kompleks mata air Kalitaman tepatnya di bagian utara Badplaats terdapat aliran air mirip telaga kecil yang juga dimanfaatkan warga untuk objek rekreasi air. 

Telaga tersebut dikenal dengan sebutan Kali Gethek, sebutan ini muncul karena adanya wahana gethek atau rakit yang dapat disewa untuk menikmati telaga sembari mendayung gethek tersebut. Wisatawan di Kalitaman datang baik dari dalam Kota Salatiga maupun dari berbagai daerah.

Fasilitas akomodasi yang tersedia di Salatiga termasuk cukup lengkap dengan hadirnya berbagai hotel dan villa yaitu Hotel Kalitaman, Hotel Berg en Dal, Hotel Blommestein, Hotel Huize Dennen Bosch, Hotel Remmy Scheere, Villa Vacantie Oord dan Villa Wilantiana. Keberadaan hotel di Salatiga tak lepas dari status Afdeeling Salatiga yang menjadi lumbung kopi Hindia Belanda. 

Sebagai wilayah vital, putra Raja William II yaitu Prince Henry William Frederick merasa perlu untuk mengunjunginya yang terlaksana pada tahun 1837. Namun belum terdapat fasilitas akomodasi yang representatif untuk melayani kunjungan kerja pangeran tersebut. 

Seorang pengusaha besar yang dijuluki “Raja Kopi Salatiga” Mr. Pierre de la Brethoniere Hamar menginvestasikan 100.000 gulden untuk pembangunan hotel pertama di Salatiga yaitu Hotel Kalitaman. Hotel ini berlokasi di Europesche Wijk tak jauh dari pusat kota dengan mengadopsi arsitektur gaya Indische Empire dengan pilar-pilar besar seperti gaya Romawi atau Yunani. 

Tepat didepan hotel terdapat Tamansari dengan keindahan taman bunga Bougenville dan Alamanda serta panorama Gungung Merbabu dan Telomoyo. Hotel Kalitaman merupakan jasa akomodasi berbintang yang hanya diperuntukan bagi orang Eropa. Saat ini bangunan tersebut tetap lestari dan dimanfaatkan sebagai kantor Bank Jateng.

Terdapat hotel unik di seberang Hotel Kalitaman karena memanfaatkan karakteristik topografi Salatiga yang berbukit dan berlembah. Jasa akomodasi tersebut bernama Hotel Berg en Dal yang jika diterjemahkan berg berarti bukit dan dal berarti lembah. Hotel ini didirikan oleh keluarga Van Dulken berarsitektur transisi antara gaya Indische Empire ke gaya kolonial modern, sehingga pilar-pilarnya dibuat lebih ramping dibanding gaya pilar Hotel Kalitaman. 

Walaupun muka bangunannya memunggungi Gunung Merbabu, namun tamu hotel tetap dapat menikmati panorama alam dengan fasilitas di halaman belakang hotel antara lain taman rumput hijau, kolam renang, air mancur, kursi taman dan jalan setapak.

Tidak terpaut lama dengan berdirinya Hotel Berg en Dal, terdapat hotel dengan karakteristik arsitektur mirip yaitu Hotel Blommestein yang berpilar kecil di bagian teras depan. Hotel ini sering digunakan sebagai tempat peristirahatan tamu berkereta kuda yang menuju ke Surakarta. Bangunan ini sempat digunakan untuk mengungsi Pemerintah Gemeente Semarang sebagai kantor saat Netherlands Indies Civil Administrasion (NICA) menyerang.

Semakin bertambahnya kunjungan ke Salatiga pasca pembangunan oleh Pemerintah Gemeente membuat Mr. Booh Ma De Boor berinisiatif membangun akomodasi yang dilengkapi taman yang indah, arena bermain anak-anak dan kolam renang. 

Hotel NV. Hize Dennen Bosch didirikan di Desa Kopeng 16 kilometer dari pusat kota Tamansari dengan keunggulan iklim yang lebih sejuk karena berada di ketinggian 1500 mdpl pada tahun 1922. Kawasan ini dirancang sebagai objek wisata dan akomodasi khusus bagi warga kulit putih saja. Pengelolaan kompleks ini sempat diserahkan kepada seorang pengusaha China yang bernama Tan Khiem Yang.

Societeit Harmonie hadir sebagai jawaban atas kebutuhan gaya hidup warga Eropa di kota ini. Lokasinya berada di timur Hotel Kalitaman yang sekarang menjadi Gedung Pertemuan Derah (GPD). 

Klub hiburan malam ini menyediakan berbagai pertunjukan dan dansa untuk mengisi malam yang tentunya akan lebih ramai pada malam akhir pekan. 

Sebagai societeit, fasilitas ini menjadi tempat berkumpul dan mengobrol sembari menikmati kopi, teh, alkohol, makanan, merokok, bermain kartu, biliar dan tentunya berdansa. Para sosialita muda menggunakan busana terbaik mereka baik gaun maupun jas, bahkan klub ini sebagai tempat untuk adu gengsi pakaian dan kemewahan yang mereka miliki.

Fasilitas hiburan bioskop dibangun di Salatiga pada tahun 1930 an oleh pengusaha China Liem Siang Soei yaitu Rex Bioscoop di jalan Soloscheweg yang sekaligus pemilik Bioskop Madya di Jalan Letjen Sukowati. Bioskop Rex Salatiga dikemudian hari terkenal dengan nama Bioskop Rexsa atau Reksa yang berasal dari singkatan dari Rex Salatiga. 

Sistem penayangan film bioskop masa itu masih sebatas tampilan video yang diiringi oleh audio musik secara langsung di di dekat layar bioskop, tidak seperti saat ini yang telah menjadi satu kesatuan antara video dan audio, oleh karena itu warga pribumi menyebutnya dengan istilah “gambar sorot”. Terdapat petugas rolling film yang saat itu bertugas menukarkan gulungan film antar bioskop sesuai jam penayangannya.

Warga Belanda turut membawa budaya tradisional mereka di Salatiga yang diwujudkan dengan budaya parade keliling kota oleh warga kulit putih. Parade tersebut menampilkan barisan warga Eropa diiringi oleh musik dimulai dari titik kumpul pertama di Tamansari. 

Barisan tarian dan nyanyian parade diawali dengan Noni dan Sinyo kemudian para orang tua  dan diiringi oleh korps musik dengan terompet sebagai ciri khasnya. Parade ini menjadi hiburan yang menarik baik bagi warga Belanda untuk mengobati kerinduannya dengan tanah kelahiran maupun warga pribumi untuk meningkatkan pengetahuan lintas budaya.

Bagi siswa sekolah Belanda maupun kaum priyayi pribumi terdapat fasilitas rekreasi Kinder Vacantie Colonie yang berada di sekitar Kerkhof. Siswa dari berbagai daerah di Jawa Tengah akan mendapatkan aneka sarana permainan dan makanan bergizi, sehingga diharapkan anak-anak mendapatkan kesegaran jasmani serta penguatan rohani dan spiritual.

Transportasi

Sarana dan prasarana transportasi di Salatiga ditujukan untuk mobilisasi orang dan distribusi barang berupa hasil perkebunan ditopang oleh beberapa moda transportasi yaitu dokar, bus, truk, dan kereta api. Terminal menjadi pusat tersedianya moda transportasi umum bagi masyarakat ke berbagai daerah tujuan maupun sebagai transportasi antar moda untuk mengakses moda transportasi lain seperti dari pusat kota menuju ke stasiun terdekat. 

Moda transportasi bermesin dengan sistem sewa juga terdapat di kota ini, berbagai mobil layaknya taksi masa kini siap melayani masyarakat menuju ke berbagai daerah. Mobil tersebut berderet di Soloscheweg depan Toko Ralata dan depan rumah Kwa Tjwan Ing yang sekaligus perintis bisnis transportasi ini pada tahun 1921.

Terminal Salatiga dibangun di bekas danau yang mengering sehingga memiliki topografi cekungan, hal ini menginspirasi perancang Thomas Karsten untuk membangun terminal sesuai topografi unik tersebut, arsitekturnya dibangun dengan kombinasi dinding halus dan dinding batuan alami. 

Lantai pertama terminal difungsikan untuk kedatangan dan keberangkatan bus, parkir, ruang tunggu penumpang yang dilengkapi dengan kursi jati dan kantor. 

Lantai dua difungsikan sebagai rumah makan dan toko souvenir. Terminal panoramic yang saat itu menyandang predikat terminal terindah di Indonesia ini menyuguhkan pemandangan Gunung Merbabu dan Telomoyo di sisi selatan serta kompleks kebun binatang di sisi utara di pelataran atap beton lantai dua.

Terdapat akses langsung dari lantai dua maupun ruang tunggu penumpang menuju ke jalan raya yang diujung jalannya terdapat pangkalan dokar. Lokasi tersebut saat ini difungsikan sebagai Tamansari Shopping Center dengan tetap mempertahankan karakteristik topografi cekungan.

Transportasi bus diinisiasi oleh Kwa Tjwan Ing pada 1923 dengan mendirikan Perusahaan Otobus (PO) pertama di Indonesia yaitu Eerste Salatigasche Transport Onderneming (ESTO). 

Bus ini melayani trayek awal dengan rute ke Tuntang dan Bringin, karena kedua daerah tersebut memiliki stasiun ke berbagai rute daerah. Karoseri bus dibangun dengan bahan kayu dan besi berwarna hijau tua. 

Bus berkapasitas 16-18 orang dengan dua kelas pelayanan yaitu konfigurasi bagian depan dengan menghadap kedepan berkursi nyaman dikhususkan bagi warga Eropa, sedangkan bagian belakang yang menghadap belangkang dengan kursi rotan diperuntukan bagi warga pribumi. 

Pada tahun 1930 ESTO mengembangkan trayek menuju ke berbagai daerah seperti Suruh, Ambarawa, Magelang, Yogyakarta, Purworejo, Kutoarjo, Sragen, Semarang, Kendal, Kudus dan Pati dengan jumlah armada bus mencapai 100 unit.

Transportasi truk untuk mendistribusikan barang juga dirintis oleh Kwa Tjwan Ing dengan rute dari Salatiga menuju ke Semarang. Terdapat dua jadwal keberangkatan setiap harinya, pada jadwal keberangkatan pertama di pagi hari truk memuat hasil pertanian, sedangkan jadwal keberangkatan kedua di siang hari truk diisi oleh muatan arang. Truk yang kembali dari Semarang menuju ke Salatiga seringkali membawa muatan hasil bumi serta bahan makanan pokok.

Sebelum kendaraan bermesin banyak masuk ke kota ini, dokar memainkan peranan yang penting untuk sarana transportasi. Tidak hanya sebatas di dalam kota, layanan dokar mencakup luar daerah seperti Suruh, Tuntang, Bringin dan Boyolali.

Dokar untuk warga pribumi menggunakan sistem pemberangkatan ketika kapasitas tempat duduk sudah terpenuhi maksimal, sedangkan untuk warga Eropa lebih menghendaki layanan transportasi ini dengan sistem sewa. 

Jika perjalanan ke daerah yang dituju melebihi kemampuan kuda untuk menarik setiap harinya akan dilakukan perpindahan ke dokar dengan rute selanjutnya, sebagai contoh jika ingin menempuh dari Salatiga ke Surakarta perpindahan dokar di daerah Boyolali.

Kereta api di Salatiga dapat diakses melalui 3 stasiun terdekat yang dioperasikan oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij yaitu Stasiun Willem 1 (saat ini menjadi Stasiun Ambarawa), Stasiun Tuntang dan Stasiun Bringin. 

Ketiga stasiun tersebut berjarak antara 6-10 kilometer dari pusat kota sehingga dibutuhkan transportasi antar moda berupa bus atau dokar. Penumpang kereta api terbagi atas tiga kelas pelayanan yaitu Kelas I untuk orang Eropa, Kelas II untuk orang timur asing dan pejabat maupun priyayi pribumi serta Kelas III untuk pribumi.

Terdapat 3 fasilitas pompa bensin yang dimiliki Salatiga saat itu untuk menunjang bahan bakar transportasi yaitu yang berada di timur Bundaran Tamansari, dekat Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan dekat Atrium. 

Karyawan operator pompa bensin sebelum bertugas menjalani pelatihan kerja dan standar pelayanan konsumen di Semarang. Saat bekerja operator mengenakan seragam warna putih, sementara itu warna khas mesin pompa bensinya adalah kuning. Sistem pembelian bensin menggunakan pengungkit, sehingga pembelian hanya dapat dilakukan untuk minimal kapasitas 5 liter dan kelipatannya.

Merbabu Sebagai Orientasi Keindahan

Karakteristik Salatiga yang berada di ketinggian serta dikelilingi oleh pegunungan seperti Gunung Merbabu dan Bukit Telomoyo menambah pesona tersendiri kota ini. 

Hal tersebut disadari oleh orang-orang Belanda yang bermukim disini, setiap bangunan baik rumah tinggal pribadi, perkantoran, maupun fasilitas umum dibuat tempat khusus  untuk menikmati alam yang berorientasi ke Gunung Merbabu. 

Tempat khusus tersebut dapat berupa halaman depan maupun belakang rumah, taman rumah dan balkon yang banyak dijumpai di pemukiman Eropa maupun China. 

Fasilitas umum sarana pariwisata tentunya akan lebih memanfaatkan anugerah alam ini dengan membangun taman dan balkon di Hotel Kalitaman, Hotel Bloomestein, Sociteit Harmonie, Tamansari dan fasilitas umum pariwisata lainnya.

Pendidikan

Orang Eropa yang tinggal tentunya membawa serta keluarga dari negeri asal sehingga fasilitas pendidikan bagi anak-anak perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah Gemeente. Sehingga didirikanlah beberapa sekolah untuk masyarakat Eropa yaitu Eerste Europeesche Lagere School (saat ini menjadi SDN Salatiga 1 dan 2) yang berlokasi di Toentangschweg dan Tweede Europeesche Lagere School di Blauran. Untuk anak-anak China dibangunlah sekolah khusus di Margosari yaitu Hollandsche Chinese School (HCS). 

Warga pribumi juga tak luput dari akses pendidikan ini dengan pembangunan Normaalschool (saat ini menjadi SMAN 3 Salatiga), Kweekschool untuk sekolah guru putri (saat ini menjadi SMPN 2 Salatiga), lima Sekolah Desa serta Vervolgschool (lanjutan Sekolah Desa) di Sinoman Tempel. Swasta turut andil dalam penyediaan fasilitas pendidikan di Salatiga dengan medirikan Sekolah Desa Kanisius, HIS Kanisius, dan SD Zending.

Perekonomian dan Keuangan

Soloscheweg merupakan pusat perekonomian warga Salatiga, di jalan ini terdapat Pasar Kalicacing (saat ini menjadi kompleks Pasar Raya 1 yang telah dibangun sejak 1901 kemudian direnovasi kembali oleh Pemerintah Gemeente pada tahun 1928. 

Pengelolaan Pasar Kalicacing tergolong rapi dan bersih, dari segi infrastruktur pasar dibangun dengan memperhatikan pencahayaan serta sirkulasi udara.

Penataan pedagang diatur rapi disesuaikan dengan jenis komoditasnya, setiap pukul tiga sore pedagang sudah diwajibkan untuk menyelesaikan aktivitas ekonominya karena pasar akan dibersihkan tak hanya disapu namun juga di dialiri air oleh petugas pemerintah. 

Hal ini termasuk dalam fasilitas yang diterima pedagang saat pembelian atau kontrak kepada pemerintah maupun retribusi setiap harinya. Jendela pasar dilengkapi dengan kawat kasa dan pintunya dirancang dengan model swing untuk meminimalisir hama yang masuk seperti lalat. 

Komoditas yang diperdagangkan sangat dijaga kualitasnya oleh pemerintah terutama daging dan susu yang menjadi bahan pokok vital warga Belanda. Terdapat fasilitas perbankan yaitu Algemeene Volksch Bank yang menunjang perekonomian warga Salatiga saat itu.

Keamanan dan Pertahanan

Salatiga yang terletak diantara Semarang, Surakarta, Magelang dan Yogyakarta dinilai strategis oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) sebagai jalur lintas dari pantai utara Jawa menuju ke pusat kekuasaan pribumi di pedalaman seperti Surakarta dan Yogyakarta. 

Sehingga ditetapkanlah sebagai kota garnisun atau militer dengan membangun sebuah markas militer besar berupa benteng Fort De Hersteller yang dilengkapi dengan Pangkalan Udara (Lanud) di sisi selatan Salatiga pada 1746. Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) menepatkan pasukan infantri, kavaleri dan artileri di markas ini, anggota juga difasilitasi rumah dinas untuk golongan Kapten, Kolonel, Letnan serta barak untuk prajurit. Pada tahun 1850 dibangunlah Fort De Hock yang awalnya sebagai asrama militer namun berkembang menjadi markas serdadu di kemudian hari.

Fasilitas militer sangat penting untuk mengamankan kota vital ini utamanya aset ekonomi Belanda berupa Afdeeling termasuk tenaga kerja Belanda yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, guru dan pekerja perkebunan. 

Komplek militer Fort De Hersteller saat ini tetap lestari menjadi markas militer yang dioperasikan oleh Batalyon Infantri Mekanis Raider 411/ Pandawa TNI Angkatan Darat sedangkan Fort De Hock dioperasikan oleh Polres Salatiga sebagai kantor Satlantas.

Kesehatan

Sektor pelayanan kesehatan dirasakan oleh seluruh masyarakat Salatiga dengan dibangunnya Rumah Sakit Tentara dan Rumah Sakit Umum di Hospitalweg (jalan Dr. Muwardi) serta Rumah Sakit Paru di Ngawen. 

Para petugas yang mayoritas warga Belanda juga proaktif dalam memberikan pelayanan pengobatan serta melakukan penyuluhan kesehatan dan sanitasi ke kampung-kampung pribumi menggunakan jeep kesehatan. Fasilitas Rumah Potong Hewan (RPH) dan laboratorium pemeriksaan susu sapi juga dibangun di Kalicacing untuk menjaga kualitas pangan masyarakat.

Kota Salatiga masa itu menyandang predikat “De Schoonste Stad van Midden-Java” atau “Kota Terindah di Tengah Pulau Jawa” karena telah direncana secara matang berkonsep tropischee staad berupa arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan kondisi tropis Hindia Belanda. 

Kota ini dirancang modern untuk kenyamanan kediaman warga Belanda sehingga walaupun berjarak puluhan ribu kilometer dari negeri asal diseberang akan merasa seperti di rumah sendiri. 

Fasilitas yang dibangun Pemerintah Gemeente seperti pemukiman, pemakaman, pariwisata, transportasi, pendidikan, perekonomian, keamanan dan kesehatan dirasakan oleh seluruh warga kota dari warga Eropa sampai pribumi. 

Beberapa sisa peradaban itu pun masih nampak jelas sebagai cagar budaya di Kota Salatiga masa kini, walaupun seiring waktu tersentuh moderenisasi zaman namun konsep penataan ruang dan wilayah kota tetap lestari seolah memberikan pesan lintas peradaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun