Salatiga yang terletak diantara Semarang, Surakarta, Magelang dan Yogyakarta dinilai strategis oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) sebagai jalur lintas dari pantai utara Jawa menuju ke pusat kekuasaan pribumi di pedalaman seperti Surakarta dan Yogyakarta.
Sehingga ditetapkanlah sebagai kota garnisun atau militer dengan membangun sebuah markas militer besar berupa benteng Fort De Hersteller yang dilengkapi dengan Pangkalan Udara (Lanud) di sisi selatan Salatiga pada 1746. Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) menepatkan pasukan infantri, kavaleri dan artileri di markas ini, anggota juga difasilitasi rumah dinas untuk golongan Kapten, Kolonel, Letnan serta barak untuk prajurit. Pada tahun 1850 dibangunlah Fort De Hock yang awalnya sebagai asrama militer namun berkembang menjadi markas serdadu di kemudian hari.
Fasilitas militer sangat penting untuk mengamankan kota vital ini utamanya aset ekonomi Belanda berupa Afdeeling termasuk tenaga kerja Belanda yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, guru dan pekerja perkebunan.
Komplek militer Fort De Hersteller saat ini tetap lestari menjadi markas militer yang dioperasikan oleh Batalyon Infantri Mekanis Raider 411/ Pandawa TNI Angkatan Darat sedangkan Fort De Hock dioperasikan oleh Polres Salatiga sebagai kantor Satlantas.
Kesehatan
Sektor pelayanan kesehatan dirasakan oleh seluruh masyarakat Salatiga dengan dibangunnya Rumah Sakit Tentara dan Rumah Sakit Umum di Hospitalweg (jalan Dr. Muwardi) serta Rumah Sakit Paru di Ngawen.
Para petugas yang mayoritas warga Belanda juga proaktif dalam memberikan pelayanan pengobatan serta melakukan penyuluhan kesehatan dan sanitasi ke kampung-kampung pribumi menggunakan jeep kesehatan. Fasilitas Rumah Potong Hewan (RPH) dan laboratorium pemeriksaan susu sapi juga dibangun di Kalicacing untuk menjaga kualitas pangan masyarakat.
Kota Salatiga masa itu menyandang predikat “De Schoonste Stad van Midden-Java” atau “Kota Terindah di Tengah Pulau Jawa” karena telah direncana secara matang berkonsep tropischee staad berupa arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan kondisi tropis Hindia Belanda.
Kota ini dirancang modern untuk kenyamanan kediaman warga Belanda sehingga walaupun berjarak puluhan ribu kilometer dari negeri asal diseberang akan merasa seperti di rumah sendiri.
Fasilitas yang dibangun Pemerintah Gemeente seperti pemukiman, pemakaman, pariwisata, transportasi, pendidikan, perekonomian, keamanan dan kesehatan dirasakan oleh seluruh warga kota dari warga Eropa sampai pribumi.
Beberapa sisa peradaban itu pun masih nampak jelas sebagai cagar budaya di Kota Salatiga masa kini, walaupun seiring waktu tersentuh moderenisasi zaman namun konsep penataan ruang dan wilayah kota tetap lestari seolah memberikan pesan lintas peradaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H