Seiring berjalannya waktu, kesadaranku mulai tersibak. Sedikit demi sedikit selubung kebingungan bertemu dengan jawaban yang kubutuhkan. Bapak menceritakan semuanya dengan gamblang saat aku duduk di bangku SMP. Sejak divonis menderita tumor dalam kandungan dan bolak-balik masuk ke rumah sakit, rupanya mami merasa umurnya tidak akan panjang lagi.Â
Sebesar apapun harapan mami untuk melihat anak perempuan kesayangannya ini tumbuh menjadi orang dewasa, semua itu tinggal menjadi impian indah tanpa wujud nyata. Firasat yang kuat akan pendeknya umur, membuat mami rajin mendokumentasikan semua kenangan lewat bahasa gambar.
Dari gambar itu aku bisa melihat wujud kasih sayang tulus seorang ibu. Betapa bersemangatnya mami memotivasi agar aku ikut dalam kegiatan yang bermanfaat. Betapa bahagia senyumku terpancar dalam gambar di pesta ulang tahunku. Betapa antusiasnya aku membuka bungkusan kado demi kado dari teman dan kerabat. Betapa cerianya wajahku saat berkostum baju adat Jawa di peringatan Hari Kartini.
Gambar-gambar inilah yang menjadi sarana memuaskan kerinduan pada sosok ibu kandungku. Lamanya waktu terkadang membuat memori akan garis wajahnya sedikit memudar. Meski demikian ingatan akan semangatnya yang selalu menyala tetap tersimpan di hatiku. Totalitasnya dalam melakukan pekerjaan sebagai pendidik dan ibu sangatlah luar biasa.
 Tak hanya itu, acapkali aku berlagak sebagai seorang guru. Hal ini aku pelajari saat diam-diam memperhatikan cara mami mengajar. Menerangkan materi pelajaran, berkeliling memeriksa tugas, meminta murid mengerjakan soal di papan tulis, meminta murid memipin doa adalah beberapa aktivitas yang aku amati dari mami. Terkadang aku ikut berjalan di belakang mami ketika dia berkeliling memeriksa pekerjaan muridnya. Tak jarang pula aku berdiri di dekat papan tulis ketika ada murid mami yang sedang mengerjakan soal.
Di luar aktivitasnya sebagai pendidik, mami adalah orang yang tak bisa berdiam diri tanpa manfaat. Aktif di kegiatan Aisyiyah menjadi pilihannya untuk memberikan arti pada waktu luang. Betapa bangganya aku melihat foto mami sedang berbicara di depan banyak orang. Pada zaman itu tidak banyak perempuan yang memiliki kesempatan tampil di area non domestik, tidak seperti sekarang ketika perempuan lebih bebas mengembangkan diri di bidang yang diminatinya.
Sebagai seorang ibu, mami adalah ibu yang luar biasa penyayang. Keinginan melihat anaknya tumbuh berkembang secara optimal dan bahagia membuatnya rela melakukan pengorbanan demi pengorbanan untuk sang buah hati. Mami menjadi pelindung terhebatku, sekaligus orang yang mampu menunjukkan kesalahanku. Mami akan membelaku bila aku tidak bersalah, namun tak segan menyuruhku meminta maaf.
Mami merupakan madrasah pertamaku. Darinya lah aku belajar banyak hal. Segar terpatri di ingatan ini betapa rajinnya mami membelikan buku dan permainan edukatif lainnya. Dia yang mengenalkan aksara pertamaku. Dia pula yang mengajarkan bacaan salat pertamaku. Dari didikan mami dan juga bapak tentunya, aku tumbuh menjadi anak yang sangat mencintai ilmu pengetahuan dan sang pencipta ilmu pengetahuan itu. Bila sekarang aku begitu tergila-gila pada buku dan menulis, mamilah pembuka kunci aku masuk ke dunia itu.