Mohon tunggu...
Eva Maulidiyah
Eva Maulidiyah Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Penulis cerpen, esai, puisi dan bagian dari penulis muda TTS Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berkabung

4 Desember 2024   05:26 Diperbarui: 4 Desember 2024   07:15 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ternyata impianku berakhir di sini, teh." Aku mengusap hidungku yang tidak gatal. Kami sudah video call hampir satu jam lebih, tapi belum ada tanda-tanda ingin mengakhiri sebab kami sengaja melepas rindu satu sama lain. 

"Percayalah, suatu saat kamu akan mengerti kenapa perjalanan hidupmu diskenariokan seperti ini." Ia mencoba menghiburku. 

  "Bukankah kelapangan hati akan memberikan banyak hal berarti?" Aku mengangguk mendengarkan setiap kata-kata yang diucapkannya. Aku yang dulu begitu ceria dikelilingi banyak teman, kini seperti menepi dari dunia, aku menarik diriku sendiri dari keramaian. Aku sedang bersabar menunggu diriku sendiri memaafkan keadaan. 

Usai bercakap-cakap begitu lama semalaman aku pun perlahan menemukan pencerahan. Berminggu-minggu kubaca banyak buku pengembangan diri lalu perlahan mempraktekkannya. Aku mencoba mencari jalan keluar dari lingkaran hitam pikiranku dengan terus menulis jurnal untuk menceritakan setiap keluh kesahku. Meski di awal perjalanan aku sering menyangkal bahwa apa yang kulakukan adalah sia-sia, namun lambat laun aku menyadari ada benang merah yang dapat menguraikannya.  

Di keheningan sepertiga malam aku mengambil selembar kertas dan menuliskan kata-kata mantra yang terus kubawa hingga hari ini. Tidak ada lagi impian melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, kini perspektif hidup sudah berganti. 

"Ya Rabb...Aku ingin ke rumah-Mu, hanya itu keinginanku saat ini. Sampaikan rasa rindu, cinta dan baktiku pada ibu. Masukkan ia ke dalam surga firdaus-Mu. Ya Awwalal awwalin, Ya Akhiral akhirin, Ya Dzal Quwwatil Mathin, wa Ya Arhamar Rahimin..."

Kututup doa sepertiga malamku dengan hati tenang dan penuh harapan pengabulan. Aku tahu kehidupan hanya harus terus berjalan. Aku bisa terus berbakti kepadanya dengan menjadi manusia baik-baik dan tak putus mengirimkan doa. Meski jalan penerimaan tak mudah untuk digapai, aku tetap akan terus berjalan ke arahnya hingga menemukan cahaya terang di depan sana. 

Tidak ada duka yang abadi, semua bergilir datang dan pergi. Meski begitu kita perlu terus mencari jalan keluar, mengupayakan sembuh agar kehidupan bisa kembali kita syukuri. Jika perjalanan begitu berat dan tak mampu kau sanggah di atas bahumu yang ringkih, ingatlah ada Allah yang Maha tinggi. Rendahkan kepalamu, tinggikan kedua tanganmu untuk meminta pertolongan dari-Nya. Sebab kita lemah sedangkan Dia Maha segalanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun