Mohon tunggu...
Eva Maulidiyah
Eva Maulidiyah Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Penulis cerpen, esai, puisi dan bagian dari penulis muda TTS Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berkabung

4 Desember 2024   05:26 Diperbarui: 4 Desember 2024   07:15 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuambil semua kertas-kertas yang menempel di rak pegboard, beberapa foto negara yang menjadi manifesting dalam perjalanan impianku juga tulisan planning yang kubuat sejak selesai wisuda setahun yang lalu. Aku meremas-remas dan memasukkannya ke tempat sampah. Dinding di kamar sudah tak lagi semeriah sebelumnya, kini menjadi polos dan kosong tanpa ambisi, persis pemiliknya. 

"Sekarang sibuk apa?"

"Jadi, rencanamu melanjutkan studi ke luar negeri itu?"

"Kemarin katanya sudah ambil tes TOEFL di Jogja?"

"Beneran ke Belanda kan, Nan?"

Semua pertanyaan yang mendarat di telinga dan mataku, baik disampaikan langsung atau melalui pesan Whatsapp ku abaikan begitu saja. Bukan hanya pertanyaan seputar rencana studi, tapi setelah pulang ke rumah semakin banyak ekspektasi yang harus kuhadapi satu persatu. 

"Jadi kapan mau menikah, nduk?" Kalimat tanya yang selalu kudengar dari keluarga jauh juga orang-orang di sekitarku. 

"Iya, ayahmu pasti sudah ingin menimang cucu." Kali ini suara dari tetanggaku yang baru saja kulihat dan tak kukenali namanya. Bahkan dia baru tahu kalau ayah dan ibuku punya aku, anak perempuan satu-satunya, sebab sejak kecil hingga lulus kuliah aku tak pernah sekolah di sekitar rumah. 

Aku dan seluruh pertarungan semangat dalam diriku membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kupikir banyak orang yang terlalu ikut campur mengurusi hidupku tanpa tahu ada luka yang menganga begitu dalam. Dari perjalanan ini aku jadi mengerti bahwa setiap orang membutuhkan waktu yang berbeda untuk sembuh dari lukanya. Tidak semua yang bersedih cukup kita hibur dengan kata bersabar, tetapi terkadang kita hanya butuh merangkul bahunya dengan kuat dan berbisik di telinganya menguatkan  'percayalah, kau bisa melewati semua ini.'

"Banyak sekali, kamu beli semua buku-buku itu, Nan?" 

Malam ini Lisa takjub melihat foto yang kukirim karena banyaknya buku-buku self improvement yang menumpuk di kasurku. Ya, aku sedang berusaha sekuat mungkin untuk bangkit dari keterpurukan ini. Aku tidak tahu mengapa kehilangan ibu rasanya begitu berat, separuh jiwaku seakan diambil begitu saja. Aku mencari jalan agar semuanya bisa kembali seperti semula, salah satunya mengisi otakku dengan membaca buku-buku pembangkit jiwa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun