"Mengandalkan diri sendiri sekarang bukan lagi menjadi pilihanku. Sebab berapa besar pun kekuatan dan kemampuanku, akan jauh lebih ringan jika ku andalkan Tuhan dalam hidupku."
Ini sudah tahun kesekian dan aku masih memilih sendiri. Sejak kepergian ibu aku masih stuck di sini. Menyendiri, memilih sendiri sebab hatiku belum tergerak untuk mengakhiri kesendirian ini. Aku masih terus mencoba mencerna semua perjalanan yang kulalui hingga hari ini. Hari di mana aku masih diberi kekuatan untuk terus berdiri dan menemukan diriku yang jauh lebih baik lagi.Â
Aku ingat, hari itu usai wisuda kelulusan sarjanaku. Dengan semangat jiwa mudaku, aku sangat ingin mewujudkan impian mengambil beasiswa ke Amsterdam, Belanda. Formulir sudah di tangan, rekomendasi dosen sudah ku kantongi, dokumen pembuatan paspor baru saja ku cetak dan ku antarkan ke tempat pembuatan paspor di  bandara Adisucipto, Yogyakarta.Â
Aku bersama satu teman yang juga memiliki impian sama namun tujuan berbeda, bersama-sama mengendarai sepeda masing-masing menuju bandara. Kami berdua mungkin termasuk orang yang nekat. Sebab penasaran maka pantang bagi kami untuk tidak mencoba kesempatan ini meski kita tidak tahu bagaimana hasil akhirnya. Â
Sesampainya di bandara ternyata antrian begitu panjang, sedangkan aku dikejar waktu harus berangkat ke Purwodadi siang itu juga untuk menghadiri pesta pernikahan sahabat dekatku. Dengan berat hati kutinggalkan urusan paspor, pikirku toh ini bisa ku urus nanti setelah dari Purwodadi, dengan begitu aku masih punya alasan untuk tinggal di kota sejuta mimpi ini sedikit lebih lama lagi.Â
Perjalanan kembali dari Purwodadi ke Yogyakarta terasa begitu lama. Bus yang ku tumpangi mogok di jalan entah karena apa, yang jelas aku dan seluruh penumpang lainnya harus turun dan menunggu lebih lama untuk mendapatkan bus pengganti dengan arah tujuan yang sama. Kutatap layar hp ku, satu pesan masuk dari ayah.Â
"Nduk, sayang, kapan pulang ke rumah? kalau urusannya sudah selesai pulang dulu saja." Ada rasa kecewa setelah membacanya. Aku masih ingin lebih lama di sini, mewujudkan impianku untuk melanjutkan studi.
Dengan berat hati aku mengetik balasan seraya mengambil keputusan secepat mungkin. "Iya, yah. Besok Nanda sudah bisa pulang ke rumah, insyaAllah." Kukirim balasan dengan helaan nafas panjang.Â
"Teh, sepertinya aku nggak bisa melanjutkan urusan membuat paspor. Besok harus langsung pulang." Satu pesan lain kukirimkan kepada teteh Lisa, teman seperjuangan asal Sunda yang menungguku pulang dari Purwodadi untuk kembali bersama-sama mengurus paspor.Â
"Iya, Nan. Gapapa besok aku bisa sendiri ngurus ke bandara. Kenapa buru-buru pulang?"