Mohon tunggu...
Eva Maulidiyah
Eva Maulidiyah Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Penulis cerpen, esai, puisi dan bagian dari penulis muda TTS Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berkabung

4 Desember 2024   05:26 Diperbarui: 4 Desember 2024   07:15 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lancar, bu. Ibu ndak usah memikirkan itu. Ibu harus sehat, biar Nanda semangat meraih impian. Kalau ibuk sakit, semangat Nanda hi..lang..." sekuat hati aku menahan tangis di hadapan ibu, tapi sungguh itu adalah hal yang paling berat hingga aku tak bisa lagi membendung isak tangisku. 

"Anak ibu yang paling cantik dan pintar gak boleh nangisan. Sampai rumah jam berapa tadi? naik bis apa kereta?" Ibu berusaha menghiburku dengan berbagai pertanyaan. Aku yang beberapa tahun terakhir ini terlihat begitu mandiri dan ingin menaklukkan diri sendiri kini kembali seperti bocah yang menangis merindui kasih sayangnya. Aku naik ke ranjang lalu berbaring dan meringkuk di samping ibu sambil memeluknya.

****

"Pak, ini harus dirujuk di rumah sakit kota ya. Karena kondisi ibu tidak semakin membaik dan di sini tidak bisa mengatasinya." 

Pagi itu perawat menghampiri ayah yang baru saja sampai membelikan kami sarapan. Aku tertegun kembali memandang ibu yang hanya diam saja. Ayah terlihat berdiskusi dengan kakakku agar bersedia menemani keberangkatan ibu untuk dirujuk ke rumah sakit kota. Aku mengangguk meyakinkan bahwa kami setuju.

Menjelang siang, aku dan ibu naik ambulans yang disediakan puskesmas sementara kakakku memilih mengendarai sepeda motor. Aku berusaha tenang dan menghibur ibu sepanjang perjalanan. Sesekali ku hibur ibu bahwa dirinya semakin cantik dan putih sebab sudah jarang keluar rumah beberapa tahun terakhir. Ibu tersenyum menanggapinya. Ingatannya sudah sedikit kabur, tetapi hafalan al-Qur'annya masih melekat di ingatan. 

Kami tiba di rumah sakit dengan kondisi sesak di ruang tunggu UGD. Ibu dan beberapa pasien berstatus anggota BPJS lainnya menunggu di lobi yang disediakan  entah sampai kapan. Kulihat beberapa pasien kecelakaan lalu lintas mulai cedera ringan hingga parah ada di ruangan yang hanya bersekat gorden itu. Aku menelan luda berkali-kali karena rasa panik dan ketakutan, ini adalah pengalaman pertamaku ke rumah sakit besar dan melihat banyak tangis dan kesedihan di raut wajah orang-orang di sekelilingku. 

Aku teringat satu kalimat yang mengatakan bahwa jika ingin melihat doa-doa tulus datanglah ke bilik-bilik rumah sakit. Akan lebih banyak kau dapati orang-orang yang berdoa dengan pengharapan penuh dibandingkan tempat lainnya, bahkan di masjid sekalipun. Hari itu aku menyaksikannya. Menyaksikan banyak wajah lelah dan kepasrahan dengan bahu penuh beban. 

Di hari ketiga kami baru mendapatkan kamar paling ujung. Perawat bergantian keluar masuk mengecek kondisi ibu. Terhitung sudah sembilan hari kami di rumah sakit, namun kondisi ibu tak kunjung membaik sebaliknya bahkan semakin menurun. 

Tidak seperti awal kedatanganku melihat ibu, kali ini di lorong rumah sakit tempatku berlari kesana-kemari mengurus administrasi rumah sakit hampir tak ada air mata yang jatuh sama sekali, aku hanya berpikir melakukan yang terbaik untuk menunggu pengobatan ibu. Kecuali di hari yang tak pernah kusangka, hari di mana langit sore seakan jatuh menimpah seluruh pertahananku. Ibu pergi selamanya. 

"Ibu...ibu...." Suaraku tercekat di tenggorokan. Adik laki-lakiku memelukku erat. Ayah dan kakakku masih dalam perjalanan menuju rumah sakit setelah kemarin memutuskan pulang ke rumah untuk mengurusi pekerjaan. Aku dengan segenap kekuatan tak bisa berteriak dan menangis tersedu-sedu melihat wajah pucat pasih ibu. Semuanya tertahan di dalam hati dan terasa begitu perih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun