Mohon tunggu...
Euri Ametsa
Euri Ametsa Mohon Tunggu... Buruh - manusia biasa

Mencoba menulis kembali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesaat Sebelum Kamu Mati

2 Oktober 2018   22:19 Diperbarui: 2 Oktober 2018   22:24 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : pixabay.com

Nafasmu melemah ketika sebuah buku terhampar di depan matamu yang sebelumnya nyaris buta. Kamu bisa melihatnya dengan jelas, seakan tidak pernah ada masalah sama sekali dengan retina matamu. Buku tersebut membuka diri perlahan, menceritakan setiap detil perjalanan hidupmu yang bahkan telah kamu lupakan. Lembar demi lembar dari semenjak kamu menarik nafas pertama, hingga  saat tubuhmu terbaring tidak berdaya seperti sekarang. 

Sudah satu tahun penuh kamu berada di ranjang seperti mayat. Tidak bisa melakukan apa-apa, dan merasakan rasa sakit yang tidak seorang sehatpun memahaminya. Satu tahun menerima sumpah serapah dan doa yang menyakitkan meskipun kamu tidak mendengarnya langsung, namun kamu yakin pasti ada. Bergembiralah!. Ketika buku ini telah mencapai halaman terakhir, berarti kamu telah sampai kepada saat yang paling kamu inginkan saat ini.Kematian.

Sebuah kabar yang pasti membuatnya meloncat kegirangan jika saja tubuhmu masih mau mengikuti kehendakmu. Kamu pasti akan tertawa terbahak-bahak melupakan rasa sakit yang selama ini kamu derita. Saking kerasnya, tawamu seakan mampu membangunkan mayat-mayat tak dikenal yang hanya berjarak beberapa ruangan dari tempatmu berbaring. Sebuah tempat bernama kamar jenazah yang mungkin, beberapa orang yang berada di sana disebabkan perbuatan dan keserakahanmu.

Di samping tempatmu berbaring, ketiga orang anakmu berusaha keras untuk mengeluarkan airmata kesedihan mereka. Meskipun kamu tahu, airmata yang keluar tersebut bukanlah untukmu, tapi hanya sebagai pemanis muka dihadapan orang-orang yang ikut berada di ruangan ini. Sebagai tanda bahwa mereka adalah anak-anak yang berbakti kepada orang tua. 

Padahal yang mereka nantikan adalah kematianmu. Ratusan milyar rupiah asetmu akan menjadi milik mereka begitu buku di depanmu telah tertutup. Tentu saja mereka tidak akan pernah mau mengakui bahwa mereka menginginkan kematian ayah mereka. Tidak ada seorangpun yang senang dihakimi sebagai seorang penjahat, bahkan meskipun mereka tahu apa yang mereka lakukan tersebut adalah sebuah kejahatan. 

Seorang penjahat sejati akanmelakukan pembenaran apapun, sehingga kejahatan yang mereka lakukan terlihat sebagai sebuah kebaikan yang tulus.

Namun, sepintar apapun memolesnya, kejahatan tersebut tidak akan pernah berubah sepenuhnya. Bagaikan sebuah tembok berwarna hitam yang dilapisi cat putih. Hanya terlihat putih di permukaan dan tidak akan pernah mengubah yang dilapisinya. Kamu tahu itu karena kamu telah melapisi tembok hitam tersebut selama nyaris tiga perempat hidupnya. 

Kamu adalah ahlinya dalam hal kepura-puraan dan kemunafikan. Sehingga, meski pilu, kamupun bisa memahami airmata buaya yang keluar dari tiga pasang mata darah dagingmu. Karena, toh, kamulah yang mengajarkan mereka demikian. Meskipun kamu sedih dan terluka, kamu menutupinya dengan kebahagiaan yang kamu khayalkan sendiri. 

Lihat, bahkan di akhir hidupmu pun kamu dengan tanpa sadar mencoba menutupi perasaanmu yang sebenarnya. Melakukan pembenaran sekali lagi.Jika ada penghargaan untuk penjahat, bermuka dua terbaik, kamu pasti akan masuk nominasi. Iblis sekalipun akan kagum kepadamu.

Lembar demi lembar, buku catatan perjalanan hidupmu perlahan semakin banyak kamu baca. Sebuah kekuatan memaksamu untuk membacanya meskipun ada beberapa kejadian yang ingin kamu lupakan dan tidak sudi mengingatnya lagi. Tapi, kamu tidak bisa menghentikan dirimu untuk membacanya. Begitu banyak kisah yang menyegarkan kembali ingatanmu, hingga sampai pada titik dimana kamu sudah tidak mampu lagi menahan perasaanmu untuk keluar. 

Padahal sedari tadi kamu telah berusaha keras menahannya. Kamu telah berupaya hingga akhir agar tembok tersebut tetapterlihat berwarna putih. Namun, harga diri dan ketinggian hatimu akhirnya runtuh. Cat putih itu mengelupas seiring dengan semakin banyaknya lembar demi lembar buku yang kamu baca. Warna hitam yang berulangkali kamu sembunyikan, tepis, acuhkan, perlahan terlihat dengan jelas. Kamu menyesal, gundah, takut, ingin berteriak, memaki dan memukul dirimu sendiri.

Buku ini bahkan menuliskan saat di mana kamu pertama kali mengambil sebuah pulpen mahal milik temanmu dari tasnya.Kejahatanmu yang pertama, yang memulai sebuah jati diri baru dari dalam dirimu. Kamu menjualnya ke pedagang asongan dan mendapatkan 3 batang rokok sebagai gantinya. Seakan terdapat sebuah cctv yang mengikutimu kemana saja kamu pergi. Tidak ada bukti yang terlewatkan, semuanya tersimpan utuh sebagaimana adanya.

Setiap kali perbuatan burukmu muncul dalam cerita, kamu merasakan sebuah tusukan kecil menerpa sesuatu di dalam dadamu. Kamu merasakan tusukan tersebut, entah bagaimana, menyisakan sebuah tanda hitam di permukaan hatimu. Kamu menyadari, merasakan semakin banyak kejahatanmu terungkap semakin banyak tanda hitam yang menutupi hatimu. 

Setiap tusukan selalu diiringi sebuah bisikan halus di pinggir telinga kirimu yang mengatakan bahwa neraka itu ada. Kalimat yang seringkali dialamatkan kepadamu oleh rakyat kecil yang tanahnya kamu rebut dengan bantuan oknum pemerintah. Sebuah kalimat yang suatu kali diucapkan oleh seorang pemuka agama ketika kamu sedang mencalonkan diri sebagai seorang calon pemimpin daerah. 

Ketika kamu terpilih, ucapan yang sama kamu dengar dari seorang berhati suci yang kamu jadikan sebagai kambing hitam atas milyaran uang negara yang kamu curi. Tidak ada seorangpun yang bisa membuktikan bahwa tembokmu sebenarnya berwarna hitam. Hingga saat ini, terlepas dari suara-suara sumbang yang kamu bungkam, orang-orang tetap menganggap warna tembokmu adalah putih. 

Namun, lembaran buku di depanmu tidak henti-hentinya menghapus warna putih yang melapisi tembokmu. Hingga akhirnya ketika catatan perjalananmu mencapai halaman terakhir, lapisan putih itu menghilang. Menyisakan tembok hitam, sehitam hatimu sekarang. hatimu telah menghitam seluruhnya.

Kematian memang bisa mengakhiri rasa sakit yang kamu derita. Tapi, kematian yang kamu inginkan menjadi penghenti rasa sakit, ternyata menjadi awal untuk sesuatu yang bahkan lebih  dari buruk. Hidup maupun mati, menjadi pilihan yang tidak ingin kamu pilih. Namun, tidak ada pilihan lain dan kamupun tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Titik akhir waktumu telah ditentukan ketika buku yang menceritakan kisah hidupmu telah tertutup.

"Neraka itu ada"

Kamu mendengarkan lagi kalimat yang diucapkan sama banyaknya dengan jumlah kejahatan yang kamu lakukan. Tapi, kali ini yang terdengar bukanlah bisikan. Melainkan sebuah hardikan yang bisa membuat gendang telingamu atau bahkan kepalamu pecah. Kamu gemetar, bingung, dan tidak tahu harus bertindak apa. Ketakukanmu tidak pernah bisa kamu gambarkan seperti apa persisnya, hanya bisa kamu rasakan kengeriannya. 

Terlebih lagi, kamu melihat sosok yang mengatakan kalimat tersebut juga memiliki bentuk yang amat sangat mengerikan. sosoknya membuat gambaran setan, iblis, makhluk paling mengerikan yang pernah digambarkan manusia bagaikan seorang bayi yang lucu. Kamu mencoba memalingkan wajahmu darinya, namun tidak mampu melakukannya. Sesuatu memaksamu untuk menatap makhluk di depanmu tanpa berkedip.

Di tengah kengerian tersebut, kamu menangkap sesuatu di dalam matanya.Di sana, di dalam mata tersebut, terlihat sebuah tempat yang dipenuhi nyala api dan dipenuhi oleh berbagai macam bentuk makhluk yang tidak kalah mengerikan dibandingkan makhluk yang di depanmu. Kamu menyadari, ke tempat itulah kamu akan berakhir.

Kamu berteriak minta tolong sekencang mungkin. Kamu minta tolong kepada orang-orang berpakaian serba putih yang bergerombolan di sekelilingmu. Kamu berteriak keras, memohon pertolongan kepada para dokter yang mencoba keras mengembalikan detak jantungmu. Tidak berguna. Mereka semua tidak ada satupun yang mendengarkan kata-katamu. 

Mereka semua seakan tuli. Di tengah teriakan minta tolong dan ketakutan tersebut, tiba-tiba kamu merasakan sesuatu menyentuh ujung jempol kakimu, dan kemudian kamu merasakan sesuatu menarik dirimu keluar dari tubuhmu secara paksa. Kamu merasa seperti hewan yang kulitnya dicabut secepat kilat dalam keadaan sadar. Namun, yang kamu rasakan entah berapa kali lipat lebih sakit. 

Kamu berteriak tanpa henti. Namun, tidak ada satupun di antara mereka yang menyadari keadaanmu. Jiwamu telah berpisah dari raga. Sekejab kemudian,makhluk tersebut membawamu ke sebuah tempat yang kamu tidak tahu di mana, namun terbayangkan seperti apa. Sementara itu, di tengah kepanikan yang melanda, kamu dinyatakan telah meninggal oleh dokter yang mencoba mengembalikan detak jantungmu tadi. 

Semua anak-anakmu menangis, mencoba memperlihatkan kepada dunia bahwa mereka bersedih hati atas kepergianmu. Sementara di dalam hati, masing-masiang mereka sibuk memikirkan cara agar mendapatkan jatah wariasan yang lebih banyak daripada siapapun.

Beberapa jam kemudian, dunia telah diberitahu akan kepergianmu. Banyak yang mengucapkan bela sungkawa dan duka cita. Berbondong-bondong orang datang ke rumah kediamanmu demi memberikan salam perhormatan, atau salam perpisahan untuk terakhir kalinya. Suatu hal yang wajar, kamu adalah tokoh penting dan sangat berpengaruh bagi banyak orang. 

Televisi mengulang-ulang kembali pencapaian yang telah kamu raih semasa kamu hidup. Melupakan beberapa skandalmu yang sempat terendus namun tidak pernah ditemukan. Teman-temanmu yang dulu ikut bersamamu di dalam kejahatanmu, juga datang ke rumahmu untuk menunjukkan rasa duka cita. Meskipun selama kamu terbaring sakit, mereka paling banyak hanya datang tiga kali menjengukmu. 

Mereka datang ke rumahmu untuk memoles citra mereka di depan publik. Menyebut-nyebut dirimu dan kenangan mereka atas dirimu, agar mereka dipandang sebagai seorang teman sejati. Bukan untukmu, tapi demi kepentingan mereka sendiri.

Sementara itu, di sebuah rumah kontrakan kecil, di sudut kota yang dulu pernah kamu pimpin. Seorang kakek tua dan renta melihat berita kematianmu di televisi. Dia adalah orang yang seluruh keluarga dan hartanya telah kamu rampas pada saat kamu menjadi pemimpin daerah dahulu. 

Kamu melakukannya sebagai pembalasan dendam karena mendukung calon pemimpin yang lain.Terlebih lagi dengan keras kepala mencoba menguak kasus korupsi yang kamu lakukan semasa menjabat. Namun, dengan kecerdikanmu, dia kamu masukkan ke penjara dan menjadi terdakwa kasus korupsi yang sebenarnya kamu dan teman-temanmulah pelakunya.

"Ana."

Kakek tua tersebut memanggil cucunya yang baru duduk di kelas satu sekolah menengah pertama.

"Hari ini, ambil sedikit uang tabungan kita di bank. Kakek ingin makan di restoran mewah yang kemarin buka di samping pasar." Kata si kakek tua sembari tersenyum.

Cucu kakek tua tersebut tercenung. Tidak biasanya kakeknya ingin makan makanan mahal. Malahan, kakeknya adalah seseorang yang amat ketat, hemat, dan lebih memperhatikan tercukupinya kebutuhan dibandingkan gengsi. Terutama semenjak keadaan mereka yang dulunya berkecukupan, telah lama hancur. Sehingga membuat mereka tertatih-tatih hanya untuk menjalani hidup.

"Tumben kek. Bukannya kakek pernah marah ke Ana gara-gara makan makanan yang hargnyaa mahal itu. Kenapasekarang kakek malah mengajak Ana ke sana?" tanya cucunya, menyindir secara halus meski di dalam hati dia senang sekali dengan ajakan tersebut.

Kakek tua tersebut tersenyum. Memandangi televisi yang masih menayangkan tentang kematian seseorang yang pernah menjadi mimpi buruk baginya dan bagi banyak orang, meskipun hanya beberapa orang yang menyadari mimpi buruk tersebut.

"Tidak mengapa Ana. Makanan mewah boleh ada, tapi hanya di hari yang spesial dan penting."

Si kakek terdiam sesaat sembari masih memandangi televisi.

"Dan,hariiniadalahsalahsatuhari yang paling spesialdan terpenting dalamhidupkakek."

Ana tidak menanggapi kata-kata kakeknya. Dia terpana melihat airmata yang mengalir dari sudut mata kakeknya, diiringi sebuah senyum yang menemani tangisan tanpa suara tersebut.

Bersamaan dengan tangisan kakek tua itu, tangisanmu telah berganti dengan air mata darah. Entah sampai kapan. Kamu tidak akan pernah tahu, dan hanya berharap semua siksaan yang kamu alami saat ini akan berakhir secepat mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun