Cerita Anak
Becak bercat merah itu memasuki halaman rumah nenekku. Kulihat kaki kiri pengendaranya kesulitan mengayuh pedal. Dari ruang depan aku berlari ke halaman untuk menyambutnya.
"Apa kabar, Dinda?" sapa Pengkor. Ia sigap melompat turun dari sadel. Giginya yang ompong dua bisa kulihat saat ia tertawa.
"Kabar baik," jawabku. "Pak Pengkor mau mengantar Nenek?"
"Kali ini tidak. Aku mau menemui ayahmu. Tadi pagi aku dapat kabar kalau kalian berkunjung. Jadi aku cepat-cepat kemari. Ini ada jagung rebus untukmu dan kakakmu."
"Terima kasih banyak. Pak Pengkor baik sekali." Tas plastik berisi jagung rebus itu kuterima dengan gembira.
Kami berdua masuk ke rumah nenek lewat pintu samping. Pak Pengkor mengucap salam.
**
Aku mengenal Si Pengkor setahun yang lalu. Waktu itu kami sekeluarga sedang berlibur di rumah nenek, di sebuah desa di Temanggung, di kaki Gunung Sindoro. Ketika aku sedang membantu nenek memberi makan ayam-ayamnya di halaman belakang, melintas seorang lelaki. Tubuhnya pendek gempal dan jalannya terseok-seok. Aku takut karena wajahnya seram, seperti penjahat-penjahat di dalam film-film itu. Aku berlari kembali ke dalam rumah. Tepat di ambang pintu aku menabrak Ayah.
"Hei, Dinda. Mengapa berlari ketakutan seperti itu?" seru Ayah sambil memelukku.
"Ada orang jahat, Yah. Jalannya pincang. Wajahnya buruk," jawabku terengah-engah.
"Ah! Di desa ini mana ada orang jahat?" bantah Ayah.
"Ituuu ...." Kutunjuk lelaki pincang itu.
Ayahku menjulurkan lehernya mengikuti telunjukku. Kemudian ia terkekeh.
"Mengapa Ayah tertawa?"
"Dia bukan penjahat. Dia teman Ayah semasa kecil dulu," jawab Ayah sambil melangkah ke halaman. "Pengkooor ... Pengkooor ...!" teriak Ayah memanggil lelaki pincang itu. Hatiku berdebar-debar.
"Hoiii... Kang Santooo ...." balas orang yang dipanggil Pengkor oleh Ayah. Kakinya yang pincang itu berhenti melangkah. Tangannya yang kekar dan pendek melambai. Wajahnya berubah lucu ketika ia tertawa. Aku lega.
Pengkor lalu berjalan tertatih-tatih memasuki halaman belakang rumah nenek. Ayah dan Pengkor bersalaman dengan hangat. Mereka berbincang agak lama sambil tertawa-tawa. Aku tidak mengira Ayahku berteman baik dengan orang seperti itu.
Sorenya, Ayah bercerita tentang teman masa kecilnya itu. Aku dan kakakku mendengarkan sambil makan kacang rebus yang gurih.
"Ia lahir cacat dan wajahnya buruk. Namun ia baik hati. Namanya Basuki. Orang-orang memanggilnya Pengkor karena kakinya yang pincang itu. Sebenarnya itu tidak baik. Tapi dia tidak apa-apa. Sudah biasa. Kami dulu satu kelas, di sekolah dasar."
"Sekolah yang di dekat sungai itu, Yah?" tanya Mbak Danda, kakakku.
"Iya." Ayah mengangguk.
Ayah mengisahkan bagaimana ia, Pengkor, dan teman-teman lain selalu bermain di sungai saat istirahat. Kadang-kadang mereka lupa waktu. Bu Guru atau Pak Guru terpaksa harus berlari-lari ke sungai memanggil-manggil mereka sambil mengacung-acungkan penggaris. Ternyata Ayah bandel juga sewaktu kecil.
"Mengapa Si Pengkor terlihat miskin?" tanyaku ingin tahu. Dari pakaiannya yang lusuh, kukira ia tidak punya cukup uang untuk membeli baju baru.
"Itu karena dunia ini tidak adil, Dinda. Orang seperti Pengkor menghadapi kesulitan yang berlipat-lipat dibanding orang yang sehat seperti kita. Selain tubuhnya cacat, orang tuanya miskin. Ia hanya sekolah sampai SMP. Ia sulit mendapat pekerjaan. Kalau mau usaha sendiri tidak punya uang. Bila meminjam uang di bank sering tidak dipercaya. Oleh karena itu kita wajib bersyukur dan bermurah hati pada yang kurang beruntung seperti Pengkor itu," kata Ayah.
"Jadi ia tidak bekerja?" tanya Mbak Danda.
"Tadi siang dia cerita kalau baru saja kehilangan pekerjaannya di kota. Selama ini dia bekerja sebagai tukang cuci mobil di sebuah bengkel. Tapi pemilik bengkel memecatnya karena banyak pemuda tampan lulusan SMA yang melamar jadi karyawan."
"Kasihan," gumam Ibu yang sejak tadi asyik mendengarkan. "Mungkin kita harus membantunya, Mas."
Sehabis bercerita tentang Pengkor, Ayah terlihat berpikir keras. Ia berbicara cukup lama dengan Ibu dan Nenek.
Paginya, di saat kami sarapan di amben kayu jati, Ayah mengatakan pada kami kalau ia berniat membelikan sebuah becak untuk Pengkor.
"Becak? Untuk apa, Yah?" Aku ingin tahu. Aneh sekali rencana Ayah itu. Orang pincang dan pendek mungkin akan kesulitan mengayuh becak, pikirku.
"Agar Pengkor bisa bekerja jadi tukang becak."
"Kamu tahu, di desa ini sekarang semua jalannya sudah diaspal. Di sini orang-orang tua seperti Nenek sulit mencari kendaraan bila hendak ke kota kecamatan. Kalau tidak ada yang mengantar, Nenek tidak bisa pergi sendiri. Kalau jalan kaki terlalu jauh. Jadi Nenek harus menunggu Romlah atau Wisnu pulang sekolah dulu." Nenekku menyebutkan nama-nama anak tetangga yang sudah dewasa. Mereka sering mengantar Nenek ke kota dengan sepeda motor.
Aku mengangguk-angguk.
"Kalau ada tukang becak di desa ini, ibu-ibu dan nenek-nenek yang tidak bisa naik sepeda motor bisa ke kota kecamatan setiap saat. Dengan naik becak," jelas Ibu.
"Pasti dengan membayar kan?" tanyaku. Kasihan sekali kalau sampai Pengkor tidak dibayar.
"Tentu saja," sahut Nenek tersenyum sambil menyendok nasi.
"Ayah baik sekali," pujiku. Aku bangga punya Ayah berhati baik seperti itu. Mbak Danda dan Ibu juga tertawa. Kami semua bertepuk tangan pertanda senang.
Aku menyelesaikan sarapan dengan cepat. Aku tak sabar, ingin ikut Ayah menemui Si Pengkor untuk menyampaikan kabar baik itu.
Begitulah awal mula Si Pengkor menjadi tukang becak.
**
Kini Si Pengkor selalu menemui Ayah bila kami mengunjungi Nenek. Mereka akan berbincang-bincang sambil minum kopi di beranda rumah nenekku. Pengkor terlihat bahagia. Ia punya penghasilan yang cukup dari ibu-ibu dan nenek-nenek yang ia antar bepergian dengan becaknya. Nenekku juga tidak kesulitan lagi bila hendak ke pasar desa atau ke kota kecamatan mengambil uang pensiun. Dengan becak merahnya, Si Pengkor telah berjasa membantu warga desa.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H