Aku mengangguk-angguk.
"Kalau ada tukang becak di desa ini, ibu-ibu dan nenek-nenek yang tidak bisa naik sepeda motor bisa ke kota kecamatan setiap saat. Dengan naik becak," jelas Ibu.
"Pasti dengan membayar kan?" tanyaku. Kasihan sekali kalau sampai Pengkor tidak dibayar.
"Tentu saja," sahut Nenek tersenyum sambil menyendok nasi.
"Ayah baik sekali," pujiku. Aku bangga punya Ayah berhati baik seperti itu. Mbak Danda dan Ibu juga tertawa. Kami semua bertepuk tangan pertanda senang.
Aku menyelesaikan sarapan dengan cepat. Aku tak sabar, ingin ikut Ayah menemui Si Pengkor untuk menyampaikan kabar baik itu.
Begitulah awal mula Si Pengkor menjadi tukang becak.
**
Kini Si Pengkor selalu menemui Ayah bila kami mengunjungi Nenek. Mereka akan berbincang-bincang sambil minum kopi di beranda rumah nenekku. Pengkor terlihat bahagia. Ia punya penghasilan yang cukup dari ibu-ibu dan nenek-nenek yang ia antar bepergian dengan becaknya. Nenekku juga tidak kesulitan lagi bila hendak ke pasar desa atau ke kota kecamatan mengambil uang pensiun. Dengan becak merahnya, Si Pengkor telah berjasa membantu warga desa.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H