"Ah! Di desa ini mana ada orang jahat?" bantah Ayah.
"Ituuu ...." Kutunjuk lelaki pincang itu.
Ayahku menjulurkan lehernya mengikuti telunjukku. Kemudian ia terkekeh.
"Mengapa Ayah tertawa?"
"Dia bukan penjahat. Dia teman Ayah semasa kecil dulu," jawab Ayah sambil melangkah ke halaman. "Pengkooor ... Pengkooor ...!" teriak Ayah memanggil lelaki pincang itu. Hatiku berdebar-debar.
"Hoiii... Kang Santooo ...." balas orang yang dipanggil Pengkor oleh Ayah. Kakinya yang pincang itu berhenti melangkah. Tangannya yang kekar dan pendek melambai. Wajahnya berubah lucu ketika ia tertawa. Aku lega.
Pengkor lalu berjalan tertatih-tatih memasuki halaman belakang rumah nenek. Ayah dan Pengkor bersalaman dengan hangat. Mereka berbincang agak lama sambil tertawa-tawa. Aku tidak mengira Ayahku berteman baik dengan orang seperti itu.
Sorenya, Ayah bercerita tentang teman masa kecilnya itu. Aku dan kakakku mendengarkan sambil makan kacang rebus yang gurih.
"Ia lahir cacat dan wajahnya buruk. Namun ia baik hati. Namanya Basuki. Orang-orang memanggilnya Pengkor karena kakinya yang pincang itu. Sebenarnya itu tidak baik. Tapi dia tidak apa-apa. Sudah biasa. Kami dulu satu kelas, di sekolah dasar."
"Sekolah yang di dekat sungai itu, Yah?" tanya Mbak Danda, kakakku.
"Iya." Ayah mengangguk.