Tanyanya dengan logat jawanya. Nichol adalah keturunan ras Jawa dan Cina. Aku hanya menggelengkan kepala dan kembali tersenyum padanya.
      Setelah peristiwa ini berlalu, beberapa hari kemudian aku sering tidak masuk sekolah. Tentu hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi Nichol. Sepulang sekolah, Nichol menyempatkan untuk pergi ke rumahku untuk menengok aku, tetapi di rumah tidak ada orang satupun. Aku dirawat di rumah sakit selama dua minggu ini dan tidak meninggalkan pesan apapun kepada Nichol, baik pesan secara lisan maupun tulisan via WhatsApp atau surat. Nichol kebingungan mencari keberadaanku, aku tahu ini kejam tetapi aku pikir inilah yang terbaik.
      Berbagai cara dia lakukan agar dapat mengetahui keberadaanku. Dia mencoba menghubungiku, menelepon orangtuaku, menanyakan kepada guru dan wali kelasku. Alhasil, dia mendapatkan informasi tentangku dan dimana rumah sakit tempat aku dirawat. Dengan pakaian dan tatanan seadanya, Nichol datang ke rumah sakit dan tergesa-gesa masuk ke kamar inapku. Tidak ada satu katapun yang terlontar. Aku mengusap pipinya yang berkeringat dan mengusap kepalanya. Aku mengerti bagaimana perasaannya saat ini.
"Aku tidak apa-apa kok sayang. Aku hanya kecapekan saja, perlu istirahat untuk beberapa minggu ini." Aku berusaha menenangkan dan meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.
Terdiam sejenak, lalu dia menghela napas dan berkata. "Hemm...Maafkan aku sayang. Aku tidak bisa menjadi seseorang yang dapat kamu andalkan. Aku belum bisa menjagamu dengan baik. Maafkan aku sayang."
"Ssstt... sstt.. ssttt.. tidak sayang, tidak. Kamulah orang yang paling memperhatikan aku, yang selalu menjaga aku, yang rela mengorbankan apapun demi aku. Kamu orang yang luar biasa sayang, aku bangga padamu."
"Tidak sayang...tidak..."
Belum dia melanjutkan perkataannya, kumemotong dengan menempelkan jari telunjukku ke bibirnya. "Sssttt..." kemudian menggelengkan kepalaku.
Dia terdiam dan mengamati wajahku dengan perasaan campur aduk. Rasa bersalah bercampur rasa sedih melihat kondisiku seperti ini, juga rasa lelah karena kesana-kemari kebingungan mencari diriku.
Sekarang pukul enam malam, jam makan malampun tiba. Nichol membukakan wrap bungkus makananku yang diantar suster, lalu menyuapkanku sesendok demi sesendok.
"Yuk.. makan dulu sayang. Makan yang banyak ya biar cepat sembuh. Nanti kalau kamu sembuh kita jalan-jalan sayang." Begitu kata Nichol, aku mengiyakan dengan memanggukkan kepala, walaupun aku tahu hidupku takkan lama lagi. Aku memandang ke arah Nichol, kemudian berkata,