Â
" TERIMA KASIH TELAH MENDENGARKAN SEDIKIT CERITAKU "
A Short Story
By Ester Stefany Claudia Leunufna
Â
      Ini adalah kisahku. Aku adalah seorang gadis berusia 16 tahun. Aku lahir di Surabaya, 30 juli 1982. Aku bersekolah disalah satu SMA Negeri di Surabaya. Seperti biasa, aku bersekolah menimba ilmu, menikmati pelajaran bahasa inggris kesukaanku, bersenda gurau dengan teman-teman, dan setelah pulang sekolah aku langsung pulang ke rumah. Aku satu sekolah dengan kekasihku, Nichol namanya, dia salah satu alasan kuat yang membuat aku semakin bersemangat untuk sekolah.
      Pagi ini melihat senyumnya sebelum masuk kelas membuat aku lebih berenergi untuk menjalani hari. "Selamat pagi Tyas. Semoga harimu menyenangkan. Selamat belajar." Sepatah kata yang menyentuh dalam sanubari. Ku balas dengan senyuman, kemudian aku masuk ke dalam kelas. Sungguh tidak sabar untuk memulai belajar sembari menunggu jam istirahat tiba. Seperti anak sekolah pada umumnya, begitu juga aku dan kekasihku, kami hanya dapat bertemu sebatas di sekolah, saat jam istirahat dan saat pulang sekolah.
Kriiinnggggg.....
Jam istirahatpun telah tiba, semua siswa mulai mengeluarkan bekal makannya dan sebagian bergegas menuju kantin. Aku mengeluarkan bekal makananku yang sudah disiapkan oleh mamaku, nasi goreng dan cap jay kesukaanku. Setiap jam istirahat seperti ini, biasanya aku makan bersama dengan Nichol, tetapi akhir-akhir ini aku merasa agak takut jika bertemu dengan Nichol dan berbicara cukup lama dengannya. Tetapi, karena rasa rinduku yang dalam ingin bertemu dengannya, akhirnya kuputuskan untuk menemuinya di kursi taman tempat biasa kami makan bersama sambil berbagi cerita satu sama lain. Dari kejauhan, sudah terlihat kekasihku, Nichol, setia menunggu di kursi taman favorit kami dekat lapangan basket. Aku menghampirinya dan langsung duduk disebelahnya.
"Hai Nichol sayang.. Bagaimana pelajarannya tadi? Bisa?"
"Iya sayang, aku bisa kok, kan kalau matematika aku jagonya hehe."
"Hem...iya percaya deh masternya hitung-menghitung. Eh, nanti ada yang mau aku tanyakan soal matriks, aku ada yang gak ngerti nih."
"Iya iya boleh.. apa sih yang enggak buat kamu."
"Hehe.. makasih sayang."
Setelah beberapa menit kami bercakap, terpaksa aku pamit kembali ke kelas lebih dahulu. "Ya sudah aku.. aku.. kembali ke kelas dulu ya sayang."
Aku segera bergegas menuju ruang kelas, walaupun jam masuk kelas masih lama. Nichol yang masih ingin berbicarapun seketika terdiam melihat aku jalan terburu-buru menuju kelas. Aku merasa sakit di sekujur tubuhku terutama di bagian kepala, sepertinya penyakitku kambuh lagi, dan aku tak ingin Nichol melihat aku sedang kesakitan seperti ini, maka dari itu aku bergegas ke kelas saja. Walaupun sudah bergegas terburu-burupun, gerakanku sudah tidak terlalu lincah lagi.
Aku mengidap sakit kanker otak, sudah menginjak stadium akhir. Ya..sakit kanker otak jenis vestibular schwannoma, yang mana hanya tinggal menghitung bulan saja kata dokterku, dan.. apabila masih ada keajaiban, aku bisa bertahan sampai dua tahun lagi. Nichol, kekasihku itu, dia tidak tahu apa-apa mengenai hal ini. Aku juga sudah meminta kedua orang tuaku untuk tidak memberitahukan kebenaran ini padanya. Aku tak ingin Nichol menjadi sedih dan khawatir kepadaku.
      Suatu hari di sekolah, saat itu adalah hari senin, ketika semua siswa mulai baris-berbaris, akupun berbaris dalam barisan. Panasnya matahari begitu hangat menerjang tubuh ini. Ketika Pembina upacara menyampaikan amanat dipertengahan upacara, tiba-tiba darah menetes dari hidungku dan seketika langit menjadi gelap. Aku mimisan dan pingsan. Teman-teman sekelilingku langsung berkerumun dan kebingungan. Dengan pertolongan guruku, aku diantar ke UKS (Unit Kesehatan Sekolah) untuk mendapatkan pertolongan pertama. Nichol adalah orang yang paling khawatir akan keadaanku, dia sendiri yang merawat aku hingga aku tersadar. Bahkan saat jam istirahat, dia datang dengan membawa bekal makananku dan menyuapi aku, lalu memberiku obat.
"Gimana? Sudah merasa membaik sayang?"
Pertanyaan lembut dengan penuh rasa cemas dia lontarkan.
"Mmm... ii..iya... mendingan sayang." Aku menjawab dengan lemas dan tersenyum kecil.
"Hemm.. Sampean loro opo to nduk?" Sambil mengusap kepalaku. "Sampean kenopo?"
Tanyanya dengan logat jawanya. Nichol adalah keturunan ras Jawa dan Cina. Aku hanya menggelengkan kepala dan kembali tersenyum padanya.
      Setelah peristiwa ini berlalu, beberapa hari kemudian aku sering tidak masuk sekolah. Tentu hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi Nichol. Sepulang sekolah, Nichol menyempatkan untuk pergi ke rumahku untuk menengok aku, tetapi di rumah tidak ada orang satupun. Aku dirawat di rumah sakit selama dua minggu ini dan tidak meninggalkan pesan apapun kepada Nichol, baik pesan secara lisan maupun tulisan via WhatsApp atau surat. Nichol kebingungan mencari keberadaanku, aku tahu ini kejam tetapi aku pikir inilah yang terbaik.
      Berbagai cara dia lakukan agar dapat mengetahui keberadaanku. Dia mencoba menghubungiku, menelepon orangtuaku, menanyakan kepada guru dan wali kelasku. Alhasil, dia mendapatkan informasi tentangku dan dimana rumah sakit tempat aku dirawat. Dengan pakaian dan tatanan seadanya, Nichol datang ke rumah sakit dan tergesa-gesa masuk ke kamar inapku. Tidak ada satu katapun yang terlontar. Aku mengusap pipinya yang berkeringat dan mengusap kepalanya. Aku mengerti bagaimana perasaannya saat ini.
"Aku tidak apa-apa kok sayang. Aku hanya kecapekan saja, perlu istirahat untuk beberapa minggu ini." Aku berusaha menenangkan dan meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.
Terdiam sejenak, lalu dia menghela napas dan berkata. "Hemm...Maafkan aku sayang. Aku tidak bisa menjadi seseorang yang dapat kamu andalkan. Aku belum bisa menjagamu dengan baik. Maafkan aku sayang."
"Ssstt... sstt.. ssttt.. tidak sayang, tidak. Kamulah orang yang paling memperhatikan aku, yang selalu menjaga aku, yang rela mengorbankan apapun demi aku. Kamu orang yang luar biasa sayang, aku bangga padamu."
"Tidak sayang...tidak..."
Belum dia melanjutkan perkataannya, kumemotong dengan menempelkan jari telunjukku ke bibirnya. "Sssttt..." kemudian menggelengkan kepalaku.
Dia terdiam dan mengamati wajahku dengan perasaan campur aduk. Rasa bersalah bercampur rasa sedih melihat kondisiku seperti ini, juga rasa lelah karena kesana-kemari kebingungan mencari diriku.
Sekarang pukul enam malam, jam makan malampun tiba. Nichol membukakan wrap bungkus makananku yang diantar suster, lalu menyuapkanku sesendok demi sesendok.
"Yuk.. makan dulu sayang. Makan yang banyak ya biar cepat sembuh. Nanti kalau kamu sembuh kita jalan-jalan sayang." Begitu kata Nichol, aku mengiyakan dengan memanggukkan kepala, walaupun aku tahu hidupku takkan lama lagi. Aku memandang ke arah Nichol, kemudian berkata,
"Nichol sayang, bila suatu saat nanti aku tiada, kamu jangan bersedih sebab aku sudah berada di Surga bersama Tuhan. Kamu harus tetap semangat menjalani hidup dan kejar semua cita-citamu oke. Aku pasti akan senang sekali disana melihat kamu berhasil mencapai segala impianmu Nichol."Â
Nichol meneteskan air mata.
"Tidak Tyas sayangku... tidak... kamu ini ngomong apa sih sayang. Jangan bikin aku jadi sedih dong. Udah yuk makan. Aku yakin habis ini kamu pasti sembuh."
Lalu kami sama-sama hening tak bersuara, namun Nichol tetap menyuapiku. Tak lama kemudian setelah selesai makan, suster kembali masuk ke kamarku 'tuk memberikan obat dan suntikan kepadaku, Nichol mengusap air matanya. Nichol menemaniku dengan sabar hingga akhirnya aku tertidur.
      Aku tidur diatas kasur rumah sakit dengan kamar yang terdiri dari 3 orang pasien. Air Conditioner (AC) berada di ujung kanan dan kiri ruangan. Saat aku tertidur pulas, Nichol pergi ke luar ruangan melihat lampu-lampu kota dibalik koridor kaca rumah sakit. Ia tertunduk dan merenung, memikirkan sesuatu dan dapat dipastikan salah satu faktornya adalah memikirkan kondisiku.
Tiba-tiba ada yang menepuk bahu Nichol..
"Nichol... Jam berapa tadi sampai nak? Kami baru sampai karena ada urusan. Terima kasih sudah menjaga Tyas. Sorry, tadi kami tidak sempat mengangkat telepon kamu." Â Ternyata itu orang tuaku yang baru saja datang karena ada beberapa urusan.Â
"Iya. Selamat malam om, tante. Saya sampai tadi sekitar pukul lima sore, setelah saya dapat informasi dari wali kelas Tyas, saya langsung menuju kesini tante, om."
"Oh, begitu. Tyas nya pasti sudah tidur ya. Ya sudah kamu sama om tunggu di lobby dulu ya.. Tante mau letakkan barang-barang ini dulu di kamar Tyas, nanti tante susul."
Nichol dan papaku berjalan menuju lobby. Di lobby terdapat dua baris kursi empuk, di depan kursi tersebut ada rak buku yang terbuat dari kaca yang terdiri dari banyak buku tentang kesehatan dan informasi tentang rumah sakit ini, kemudian di atas rak buku kaca itu ada televisi yang menayangkan informasi tentang kesehatan dan programme channel luar negeri.
Malam ini Nichol menginap di rumah sakit, tidur di lobby dengan papaku. Â
......
........
" TERIMA KASIH TELAH MENDENGARKAN SEDIKIT CERITAKU.Â
TERIMA KASIH UNTUKMU SANG PENULIS CERITAKU."
Â
Kalimat terakhir yang kubaca dari kumpulan kertas-kertas ini. Beberapa lembar kertas yang tersusun rapi di dalam kotak peti bewarna coklat yang aku temukan di ruang bawah tanah tepat di bawah kamar bapakku, almarhum bapakku yang sudah dua tahun meninggal. Banyak kotak bercampuran di ruang bawah tanah ini. Berbagai macam isinya, ada kotak kardus berisikan album-album foto, kotak kardus berisikan mainan-mainan lamaku, dan lain sebagainya. Ternyata isi dari kotak peti bewarna coklat itu menceritakan tentang kisah cinta lama bapakku, cinta pertama bapakku dengan kekasihnya sebelum bertemu dengan ibuku. Perempuan yang pada akhirnya meninggal karena mengidap sakit kanker otak stadium akhir.
Aku adalah anak sulung almarhum Nichol Arjuna Putra, namaku Iqbal Setiawan. Saat bersih-bersih rumah, aku menemukan kotak misterius ini di ruang bawah tanah, disana ada ruang rahasia yang selama ini kita semua tidak diperbolehkan bapak untuk membukanya. Kertas-kertas di dalam kotak peti tersebut sudah sangat usang, hampir terobek-robek dan jika tidak berhati-hati membukanya pasti akan rusak. Sudah lama ternyata bapak menyimpan lembar-lembaran kertas ini, bahkan mungkin ibupun tidak tahu mengenai hal ini, hingga pada akhirnya ibu meninggal mendahului bapak. Aku pelan-pelan membacanya, aku baca kata per kata, kalimat per kalimat dari kertas-kertas ini.
Dalam lembaran kertas-kertas ini juga menerangkan bahwa bapak selalu terlihat sedih dan murung setelah ditinggal pergi kekasihnya waktu itu. Sebenarnya perempuan itu tetap berada disamping bapakku, dia selalu memperhatikan bapakku. Hingga suatu ketika, perempuan itu menampakkan dirinya dihadapan bapakku. Memeluk bapakku dan menceritakan semua kisahnya dari awal hingga akhirnya dia meninggal. Akhirnya bapak tahu tentang sakit perempuan itu, mengapa dia menyembunyikan dari bapak dan mengingatkan kembali pesan terakhir untuk bapak yang diberikan perempuan itu saat di rumah sakit.
Bapakku menulis kisah tentang kekasihnya waktu itu dalam lembaran-lembaran kertas ini dan dipersembahkan untuk kekasihnya tersebut, Tyas. Perjumpaan singkat antara perempuan itu dengan bapakku setelah perempuan itu meninggal berhasil menggugah semangat hidup bapak lagi. Bapak menulis semua ini agar selalu ingat akan pesan perempuan itu, harus tetap menjalani hidup, tetap semangat dan harus mencapai segala impian bapak walau sudah tak bersama perempuan itu lagi di dunia ini. Aku terharu membacanya dan ku letakkan kembali kotak peti tersebut beserta isinya di tempatnya kembali.
Tunggu, tunggu. Sepertinya aku mengetahui cerita dalam kotak peti ini. Cerita kehidupan bu Tyas ini seperti cerita dalam novel yang pernah aku baca. Ya, novel yang sudah beberapa tahun lalu booming-nya, tetapi aku suka dengan kisah perjuangan sang tokoh maupun kisah percintaan mereka. Dan ternyata semua ini adalah adaptasi kisah nyata dari bapakku sendiri?? kisah nyata yang didramatisir sehingga menarik pembaca, alhasil novelnya menjadi novel best seller pada waktu itu.
Aku tercengang saat mengetahui semua hal ini. Aku rasa isi dari kumpulan kertas-kertas itu adalah bagian penting bagi bapak pada masanya dan lewat hal itu pula-lah yang membuat bapak tetap bersemangat menjalani lika-liku kehidupan hingga akhir hayatnya, bahkan bapak mengabadikan cerita tersebut dalam novel, disisi lain karena bapak juga adalah seorang penulis buku. Beliau sangat suka membuat tulisan, artikel, dan menerbitkan banyak buku. Namun sangat aku tidak sangka, buku novel yang aku baca itu adalah kisah bapak sendiri dan kekasihnya terdahulu yang sudah meninggal.
Selamat jalan bu Tyas, selamat jalan ibu, dan juga selamat jalan untuk bapakku tercinta. Kisah cintamu terdahulu dan sesudahnya menginspirasiku sebagai bekalku di masa yang akan datang. Kesetiaan yang membuat suatu hubungan akan langgeng hingga akhir hayat. Bukan tidak menghormati ibu, aku yakin bapak sangat mencintai ibu sama seperti mencintai ibu Tyas semasa hidupnya. Terbukti, aku tidak pernah melihat bapak dan ibu bertengkar, sekalipun terkadang beda pendapat dan pemahaman, tetapi mereka tetap bisa respect dan saling menghargai satu sama lain. Sifat mengalah, menghargai, setia, optimis dan banyak hal yang bapak ajarkan selama ini membuatku kagum pada beliau dan aku akan meneladani beliau.
 Terima Kasih Pak.
Â
Â
Â
Â
Â
A Short Story
By Ester Stefany Claudia Leunufna
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H