"Hem...iya percaya deh masternya hitung-menghitung. Eh, nanti ada yang mau aku tanyakan soal matriks, aku ada yang gak ngerti nih."
"Iya iya boleh.. apa sih yang enggak buat kamu."
"Hehe.. makasih sayang."
Setelah beberapa menit kami bercakap, terpaksa aku pamit kembali ke kelas lebih dahulu. "Ya sudah aku.. aku.. kembali ke kelas dulu ya sayang."
Aku segera bergegas menuju ruang kelas, walaupun jam masuk kelas masih lama. Nichol yang masih ingin berbicarapun seketika terdiam melihat aku jalan terburu-buru menuju kelas. Aku merasa sakit di sekujur tubuhku terutama di bagian kepala, sepertinya penyakitku kambuh lagi, dan aku tak ingin Nichol melihat aku sedang kesakitan seperti ini, maka dari itu aku bergegas ke kelas saja. Walaupun sudah bergegas terburu-burupun, gerakanku sudah tidak terlalu lincah lagi.
Aku mengidap sakit kanker otak, sudah menginjak stadium akhir. Ya..sakit kanker otak jenis vestibular schwannoma, yang mana hanya tinggal menghitung bulan saja kata dokterku, dan.. apabila masih ada keajaiban, aku bisa bertahan sampai dua tahun lagi. Nichol, kekasihku itu, dia tidak tahu apa-apa mengenai hal ini. Aku juga sudah meminta kedua orang tuaku untuk tidak memberitahukan kebenaran ini padanya. Aku tak ingin Nichol menjadi sedih dan khawatir kepadaku.
      Suatu hari di sekolah, saat itu adalah hari senin, ketika semua siswa mulai baris-berbaris, akupun berbaris dalam barisan. Panasnya matahari begitu hangat menerjang tubuh ini. Ketika Pembina upacara menyampaikan amanat dipertengahan upacara, tiba-tiba darah menetes dari hidungku dan seketika langit menjadi gelap. Aku mimisan dan pingsan. Teman-teman sekelilingku langsung berkerumun dan kebingungan. Dengan pertolongan guruku, aku diantar ke UKS (Unit Kesehatan Sekolah) untuk mendapatkan pertolongan pertama. Nichol adalah orang yang paling khawatir akan keadaanku, dia sendiri yang merawat aku hingga aku tersadar. Bahkan saat jam istirahat, dia datang dengan membawa bekal makananku dan menyuapi aku, lalu memberiku obat.
"Gimana? Sudah merasa membaik sayang?"
Pertanyaan lembut dengan penuh rasa cemas dia lontarkan.
"Mmm... ii..iya... mendingan sayang." Aku menjawab dengan lemas dan tersenyum kecil.
"Hemm.. Sampean loro opo to nduk?" Sambil mengusap kepalaku. "Sampean kenopo?"