Internet dan handphone tidak lagi menjadi milik orang dewasa -- pekerja sebagai sarana komunikasi dalam relasi dengan pihak-pihak berkompeten. Dunia maya ini juga sangat menyatu dengan remaja peserta didik bahkan di tingkat paling rendah di Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak. Peserta didik lebih dekat dengan layar kaca televisi, play station,dan HP jenis android yang sangat lengkap dapat menyajikan tayangan-tayangan audio-visual. Rutinitas mereka diwarnai dengan long life wacthing(menonton seumur hidup).
Telaahan ini menggambarkan dunia dewasa ini khususnya kalangan peserta didik lebih akrab dengan budaya lisan. Marjohan, M.Pd dalam bukunya School Healing: Menyembuhkan Problem Sekolah menulis, "Tidak dapat dimungkiri bahwa karakter anak didik masih terperangkap dalam budaya lisan. Sementara itu, budaya tulisan terasa sebagai beban." (Marjohan: p. 91).
Baik pembicaraan dengan tatap muka langsung maupun dengan mendengar-menonton pembicaraan lisan via televisi, keduanya berdampak yang sama pada menurunnya minat baca-tulis yang adalah ciri khas budaya tulisan. Budaya tulis-baca diganti dengan budaya tutur-dengar dan budaya tayang-tonton.Â
Ide Baru: Gerakan Literasi
Rupanya pergeseran budaya tulisan ke budaya lisan ini menjadi sorotan tersendiri dari tim perancang dan penyusun Kurikulum 2013. Gerakan literasi mendapat perhatian khusus dalam gebrakan baru, agar di sekolah-sekolah digalakkan kebiasaan baca-tulis, tidak hanya pada saat pembelajaran di dalam kelas, melainkan diberi ruang dan waktu yang memadai bagi peserta didik menggumuli literasi dalam berbagai bentuk.
Ada yang melaksanakan dengan mengalokasikan waktu 15 menit sebelum pelajaran dimulai untuk aktifitas literasi, misalnya. Lainnya dengan memperbanyak kuantitas dan kualitas pembelajaran yang menuntut peserta didik harus membaca dan menulis sebanyak-banyaknya. Ada pula yang mewujudkan literasi dengan memberi pekerjaan rumah, dan lain-lain.
Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Atas (GLS SMA) menjelaskan, literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. (Sutrianto: 2016, p. 2). Ini merupakan upaya untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hanyat.
Diharapkan dengan GLS ini kawula muda dewasa ini semakin meningkatkan rasa cinta baca di luar jam pelajaaran; meningkatkan kemampuan memahami bacaan; dan meningkatkan rasa percaya diri sebagai pembaca yang baik; dan menumbuhkembangkan penggunaan berbagai sumber bacaan. (Sutrianto: 2016, p. 7).Â
Setidaknya, gerakan ini dapat memulai satu kebiasaan baru, membaca lebih banyak dan lebih sungguh, tidak sekedar membaca modul yang telah diberikan para gurunya. Di sini penggunaan sarana perpustakaan menjadi satu keharusan, selain penugasan-penugasan yang hanya bisa dihasilkan setelah melewati tahapan membaca dan menulis.
Upaya Konkret Mengembalikan Budaya Tulisan
Gerakan literasi sekolah yang dicanangkan pemerintah lewat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kiranya menjadi awal upaya mengembalikan kekayaan manusia yakni kemampuan membaca dan menulis. Maka di sekolah-sekolah yang merupakan wadah resmi lembaga pendidikan formal menjadi agent of reading and writing(agen membaca dan menulis).