Mohon tunggu...
Eustachius Mali
Eustachius Mali Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang guru SMA di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur

Mengajar di Atambua, Belu, NTT. Suka menulis dan mengirim berita sebagai penulis lepas. esta.bmtae@gmail.com, eustachiusmali@yahoo.com, esta_bmtae@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Budaya Baca di Sekolah

23 November 2017   06:45 Diperbarui: 23 November 2017   17:07 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketrampilan Dasar

Baca, tulis, hitung (calistung) merupakan tiga (3) kemampuan-ketrampilan dasar yang  diajarkan kepada peserta didik di Sekolah Dasar sejak pekan awal pembelajaran di Kelas 1. Betapa pentingnya ketiga ketrampilan dasar ini sehingga harus dimiliki sejak dini oleh makluk manusia muda yang sedang mengenyam pendidikan dasar. Mengapa? Karena membaca, menulis dan menghitung dapat menggali potensi dasar manusia yang masih terselubung sekaligus mengantar orang kepada perwujudan diri secara lebih sungguh.

Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) mengartikan kata "baca" sebagai melihat tulisan dan mengerti atau dapat melisankan apa yang tertulis itu (KUBI, p. 70). Sekedar untuk perbandingan, saya coba melihat arti kata "read" dalam Bahasa Inggris. Arti pertama dari kata read yaitu to look at and understand the meaning of written or printed words or symbols(Hornby: 2000, p. 1096). Membaca adalah melihat dan mengerti kata-kata yang tertulis atau tercetak atau simbol.   

 Jika dilihat dalam google, Wikipedia merumuskan kata "membaca" dengan kegiatan meresepsi, menganalisis dan menginterpretasi yang dilakukan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis dalam media tulisan.

Rumusan Wikipedia demikian mengandung pengertian bahwa aktifitas membaca merupakan usaha keras menggumuli sesuatu yang disampaikan orang lain secara tertulis. Ada upaya untuk menerima gagasan lain ditulis orang, mengakaji dan mengerti apa yang diuraikannya.

Jadi membaca dapat dilaksanakan dengan cara mengeluarkan suara jika hendak diperdengarkan kepada orang lain. Namun jika hanya untuk dikonsumsi secara pribadi biasanya orang membaca tanpa mengeluarkan kata-kata atau diam saja yang sering pula disebut membaca dalam batin.

Dominasi Budaya Lisan

Dari ketiga kemampuan dasar yang mestinya dimiliki umat manusia yang pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah, kebiasaan membaca cenderung menurun ketika dunia maju menghadirkan perkembangan teknologi khususnya media radio. Jenis elektronik yang utamanya memperdengarkan pesan-pesan ini mengantar orang pada kebiasaan baru mendengarkan, bukan membaca.

Tanpa mengabaikan pentingnya membaca buku, majalah, koran atau jenis media cetak lainnya, konon, kebiasaan mendengar terkesan lebih dominan ketika kepemilikan radio semakin meluas sampai di kampung-kampung di pelosok tanah air. Meluasnya jaringan telekomunikasi audio ini menyapa kalangan luas tanpa harus membeli atau meminjam sumber bacaan berulang-ulang. Dengan sekali membeli sebuah alat radio berbagai ragam informasi dapat dikonsumsi tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kelebihan media elektronik radio semakin menyudutkan sumber informasi cetakan.

Kondisi ini diperparah lagi dengan penemuan-penemuan baru yang tidak hanya memperdengarkan suara, tetapi lebih dari itu menampilkan "gerakan" orang. Sebelumnya, gambar atau foto ditonton dengan tayangan slidedi layar tancap, dan suara entah berupa pesan-pesan atau lagu-lagu merdu didengarkan; kini suara didengar, gerakan fisik ditonton lewat media baru jenis audio-visual.  

Terkesan, buku, majalah, surat kabar perlahan-lahan dijauhi, walau tidak ditinggalkan sama sekali. Kecenderungan masyarakat umum lebih terfokus kepada jenis media audio visual. Orang menjadi pendengar berita radio, menjadi pemirsa televisi yang setia, bahkan kini mengikuti aneka perkembangan dunia lewat internet menggunakan media mobile phone. 

Internet dan handphone tidak lagi menjadi milik orang dewasa -- pekerja sebagai sarana komunikasi dalam relasi dengan pihak-pihak berkompeten. Dunia maya ini juga sangat menyatu dengan remaja peserta didik bahkan di tingkat paling rendah di Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak. Peserta didik lebih dekat dengan layar kaca televisi, play station,dan HP jenis android yang sangat lengkap dapat menyajikan tayangan-tayangan audio-visual. Rutinitas mereka diwarnai dengan long life wacthing(menonton seumur hidup).

Telaahan ini menggambarkan dunia dewasa ini khususnya kalangan peserta didik lebih akrab dengan budaya lisan. Marjohan, M.Pd dalam bukunya School Healing: Menyembuhkan Problem Sekolah menulis, "Tidak dapat dimungkiri bahwa karakter anak didik masih terperangkap dalam budaya lisan. Sementara itu, budaya tulisan terasa sebagai beban." (Marjohan: p. 91).

Baik pembicaraan dengan tatap muka langsung maupun dengan mendengar-menonton pembicaraan lisan via televisi, keduanya berdampak yang sama pada menurunnya minat baca-tulis yang adalah ciri khas budaya tulisan. Budaya tulis-baca diganti dengan budaya tutur-dengar dan budaya tayang-tonton. 

Ide Baru: Gerakan Literasi

Rupanya pergeseran budaya tulisan ke budaya lisan ini menjadi sorotan tersendiri dari tim perancang dan penyusun Kurikulum 2013. Gerakan literasi mendapat perhatian khusus dalam gebrakan baru, agar di sekolah-sekolah digalakkan kebiasaan baca-tulis, tidak hanya pada saat pembelajaran di dalam kelas, melainkan diberi ruang dan waktu yang memadai bagi peserta didik menggumuli literasi dalam berbagai bentuk.

Ada yang melaksanakan dengan mengalokasikan waktu 15 menit sebelum pelajaran dimulai untuk aktifitas literasi, misalnya. Lainnya dengan memperbanyak kuantitas dan kualitas pembelajaran yang menuntut peserta didik harus membaca dan menulis sebanyak-banyaknya. Ada pula yang mewujudkan literasi dengan memberi pekerjaan rumah, dan lain-lain.

Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Atas (GLS SMA) menjelaskan, literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. (Sutrianto: 2016, p. 2). Ini merupakan upaya untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hanyat.

Diharapkan dengan GLS ini kawula muda dewasa ini semakin meningkatkan rasa cinta baca di luar jam pelajaaran; meningkatkan kemampuan memahami bacaan; dan meningkatkan rasa percaya diri sebagai pembaca yang baik; dan menumbuhkembangkan penggunaan berbagai sumber bacaan. (Sutrianto: 2016, p. 7). 

Setidaknya, gerakan ini dapat memulai satu kebiasaan baru, membaca lebih banyak dan lebih sungguh, tidak sekedar membaca modul yang telah diberikan para gurunya. Di sini penggunaan sarana perpustakaan menjadi satu keharusan, selain penugasan-penugasan yang hanya bisa dihasilkan setelah melewati tahapan membaca dan menulis.

Upaya Konkret Mengembalikan Budaya Tulisan

Gerakan literasi sekolah yang dicanangkan pemerintah lewat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kiranya menjadi awal upaya mengembalikan kekayaan manusia yakni kemampuan membaca dan menulis. Maka di sekolah-sekolah yang merupakan wadah resmi lembaga pendidikan formal menjadi agent of reading and writing(agen membaca dan menulis).

Beberapa kegiatan berikut ini kiranya dapat memberi peluang membiasakan budaya tulisan (baca-tulis) lebih dominan dalam keseharian hidup peserta didik di sekolah-sekolah. Seperti mengadakan lomba menulis pada majalah dinding (MADING), menyelenggarakan lomba peminjaman buku terbanyak, dan menghadirkan musik yang mendukung kegairahan membaca dan menulis di perpustakaan. Semua itu dapat dipacuh agar lebih semangat dan lebih baik, jika peserta didik sudah terbiasa menulis dalam Buku Harian.

Sejak memimpin SMAN 2 Tasifeto Timur, yang ingin saya kembangkan sejak awal adalah bagaimana peserta didik membiasakan diri menulis di dalam buku catatan harian mereka. Apa yang dipikirkan, dirasakan dan diharapkan dituangkan di dalamnya.

Keinginan kuat setelah memikirkan serius tentang sesuatu atau seseorang pada masa lalu yang dianalisa dengan akal sehat, kadangkala hanya bisa menjadi bahan celotehan.

Perasaan-perasaan pribadi baik positif maupun negatif tidak jarang hanya dicurahkan secara lisan dan sekedar menjadi gosip murahan yang segera dilupakan.

Demikian pula pengalaman unik yang mereka alami seharian kelak hanya bisa sesekali dikisahkan untuk kalangan terbatas. Jika, ketiganya -- pikiran, perasaan, pengalaman -- ditulis dengan baik, kelak bisa menjadi ceritera tertulis yang bermanfaat bagi orang lain ketika apa-apa saja yang dipikirkan menjadi sebuah kumpulan opini; gosip-gosip ringan menjadi kumpulan ceritera pendek ataupun novel karangan sendiri; dan tulisan lepas tentang pengalaman hidup selama ini bukan tidak mungkin suatu saat menjadi tips-tips konkret hidup seharian.

Selain dicetak, masih ada alternatif lain yang bisa ditempuh, misalnya, dengan mem-posting semua jenis penggalan tulisan-tulisan tersebut melalui blog ataupun website pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun