"Dan juga di sini." Dia menunjuk kepalanya.
Aku terdiam.
"Boleh aku tahu, ritual apa yang kau lakukan tiap malam jum'at? Kenapa kau selalu menghilang di hari dan bulan yang baik?"
"Ketika manusia mendekatkan dirinya pada syetan di satu malam, aku memilih mendekatkan diriku pada sang Khalik di semua malam. Itulah kebiasaanku sejak muda."
Dia lalu berdiri, memandang ke atas, berputar seperti gasing sambil bicara.
"Di hari yang mulia, aku selalu mengetuk rumah-Nya, mendatangi IA dari satu menara ke menara yang lain, Begitu juga saat ramadhan tiba. Aku mengembara dari masjid ke masjid. Membantu sesuai kemampuanku. Aku juga mengunjungi pekerjaku, membayar zakat pada mereka yang tak mampu. Mengirm qurban di tanah penderitaan, memberikan sesuai kadar tertentu. Heh... bukankah aku pernah berkata, aku akan mengembalikan semua pinjaman dari Tuhan yang dititipkan padamu lewat motor pemberian itu?"
Dia terus berputar dan berkhotbah, berputar dan berkhotbah. Kata-katanya makin lama makin tajam.
"Jangan pernah menilai manusia menurut prasangkamu, kawan. Jangan pernah mengukur keburukan orang lain dengan kebaikan dirimu. Jangan pernah menilai siapa yang pasti mendapat siksa di alam kubur sebelum engkau ke sana. Jangan... Jangan..."
Jangaaaan....
Jiwaku yang lelah merasa tercabik mendengarnya. Air mataku bercucuran. Persendianku melemah. Semua ucapan yang keluar dari mulutnya membuat hatiku remuk.
Aku merasa malu karena hanya mengenal Tuhan sebatas lisan. Aku merasa bersalah karena hanya menilai keburukan seseorang yang tampak di permukaan tanpa menyelami dasarnya