Ya Latta, ya Uzza, ya Latta, ya Uzza....
Dia melagukan nama berhala itu berulang-ulang.
Aku agak kesal dan hanya istighfar mendengar senandungnya.
Sebagai teman sepermainan, akhirnya aku bicara seadanya, jika untuk saat ini aku tak memiliki simpanan. Semua harta bergerak sudah dialihkan untuk membangun pondok hafalan qur'an bagi warga yang kurang mampu. Dana yang sudah dialokasikan tak boleh berpindah walau selembar. Wasiat itu kuterima langsung dari Ayah beberapa bulan sebelum beliau berpulang.
Sebagai pelipur lara, aku membantu dia dalam bentuk lain.
"Ada motor usang peninggalan Ayah di gudang. Selama ini tak pernah kupakai. Kalau kau mau memperbaikinya, ambil saja. Manfaatkan saja untuk mendistribusikan rotimu. Itu lebih baik dari pada teronggok tak berguna di sini," saranku saat itu.
Dia menatapku dengan tajam Tapi setelah itu, dia melonjak girang dan menerimanya dengan wajah ceria. Aku bersyukur membuatnya sedikit bahagia. Juga gembira karena benda tak berguna itu segera menghilang dari pandangan mata.
Kami berpisah. Dia memeluk erat sebagai tanda perpisahan. Dia harus kembali ke kampung halaman, menunaikan janji pada kedua orang tua.
Aku sempat mempererat rangkulannya dengan sungkan. Aku merasa hidupku memang sial. Entah bagaimana ceritanya bisa berteman dengan seseorang yang sering meremehkan hakikat Tuhan. Lucunya, aku bukan balik membenci, malah membantunya tanpa berpikir panjang, belasan tahun silam.
###
Dunia berputar, kehidupan berbalik tanpa dikehendaki.