Sejak kecil aku dan Nay bersahabat. Meski ketika masa TK, Nay tidak bersamaku. Ia tidak ikut kelas play grup maupun TK di masa itu. Kata bunda, dulu itu kehidupan keluarga Nay sangat prihatin.
Jadi ia sering dibawa oleh ibunya keliling menjual kue dari rumah ke rumah. Sebab itu Nay tidak mengikuti kelas tersebut.
Namun begitu, Nay sangat dekat denganku karena kediaman orang tua Nay, dan aku tidak terlalu jauh, meski beda RT.
Kedekatanku dan Nay kemudian menjadi seperti saudara saat di bangku sekolah dasar. Waktu kelas satu, Nay rangking satu, dan aku nomor dua. Sampai kelas tiga begitu berturut-turut.
Nay sangat aktif, dan disukai oleh teman-teman. Ia cerdas, pintar, dan pandai menari tarian daerah yang diajarkan di sekolah.
Guru-guru juga sangat senang dengannya. Selain periang, Nay juga ringan tangan untuk membantu sesama teman. Ia tidak pilih-pilih teman.
Namun kadang ada juga teman lelaki yang sering mengejeknya. Sebagai anak tukang kue, atau anak tukang ojek.
Tapi Nay tidak menanggapinya dengan marah, atau murung mendengarnya. Ia hanya bilang pada mereka, yang penting orang tuaku sayang, dan mereka bekerja halal.
Hingga di kelas empat, saat baru satu bulan mengikuti pelajaran di sekolah. Tiba-tiba Nay dipanggil oleh kepala sekolah.
Ibu kepala sekolah hanya berdiri saja di pintu kelas, dan memanggilnya pelan sembari mengayunkan tangan ke arah Nay. Guru yang sedang menulis di papan tulis pun menghentikan gerakannya sebentar.
Aku hanya melihat saja. Dan bilang pada Nay saat itu,"ada apa Nay?"
"Gak tau,"kata Nay yang kemudian setengah berlari menyambut kepala sekolah itu.
Tapi kemudian aku melihat ayah Nay, sekilas ada di sisi kepala sekolah. Aku tidak tau ada kejadian apa.
Sampai beberapa saat kemudian, ibu guru dipanggil juga oleh kepala sekolah, lalu berbalik  segera mengumumkan di depan kelas.
"Anak-anak, hari ini kita berduka cita. Ibunda Nay telah meninggal dunia pagi ini."
Saat mendengar itu, aku hanya diam saja. Dan sekilas mataku melihat tas sekolah Nay, dan buku yang masih ada di meja.
Aku cepat memasukkan buku tulis Nay, dan langsung berlari mengejarnya. Sementara tas, dan buku punyaku, aku tinggalkan begitu saja.
"Esta mau kemana?"Kata ibu guru mencegahku.
Tapi aku terus berlari, dan mengejar Nay yang sedang berjalan menuju keluar pintu gerbang sekolah. Aku memanggilnya, dan Nay menoleh, dan wajah Nay terlihat sudah basah dengan airmata.Â
Aku memeluknya kuat, dan kami akhirnya pulang bersama ayah Nay dibonceng motornya.
Dari kejadian itu, aku dan Nay semakin dekat sekali. Namun prestasi Nay, tidak lagi seperti dulu. Ia jadi lebih banyak diam.
Dari kelas empat sampai enam Nay tidak mendapat rangking di kelas. Justru aku yang selalu ada di rangking satu. Tapi akhirnya usai kelas enam kami diterima di sekolah menengah pertama negeri yang sama.
Dari kelas tujuh sampai delapan sekarang ini, kami pun selalu bersama. Tidak satu kelas, tapi tetap Nay dan aku tidak bisa dipisahkan.
***
Di kelas delapan, ayah dan bundaku bercerai. Aku tidak tau kenapa mereka berpisah. Padahal kehidupan kami biasa saja, dan sederhana. Juga tidak kekurangan suatu apa.
Tapi aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Hanya saja kehidupan kami tidak seperti dulu lagi. Semuanya sekarang aku rasakan jadi serba salah.
Aku, dan adikku kata bunda, sudah diputus oleh hakim PENGADILAN, bahwa hak asuhnya ada pada bunda. Mau tidak mau, aku ikut saja.
Meski di saat tertentu, aku juga bisa menemui ayah yang kembali ke rumah peninggalan orang tuanya.
Dari kejadian itu, aku dan Nay saling berbagi cerita. Saling bertukar apapun yang bisa kami tukar. Kadang baju dan celana panjang, sampai kerudung pun, kami saling tukar pakai.
Aku tetap tidak ada perubahan. Yang ada dipikiranku, ayah, dan bunda masih baik-baik saja, meski tidak tinggal di satu rumah. Dan, Nay juga begitu. Kami hanya ingin sekolah, berteman, bersahabat, belajar, dan bermain bersama-sama.
"Esta?"Kata Nay suatu ketika.
"Kenapa?"
"Kamu kalau lulus kelas sembilan, mau lanjut kemana?"
"Aku mau ke SMU, kamu?"
"Kata ayah, aku diminta masuk ke SMK."
"Kenapa?"
"Katanya supaya bisa dapat kerja dengan cepat."
"Oh gitu. Emangnya lulus SMU susah untuk melamar kerja?"
"Ya tidak, malah gampang kalau untuk melamar kerja."
"Oh iya, ya. Yang sulit itu diterima apa tidaknya ya."Kataku sembari tertawa berdua.
Nay dan aku berbincang panjang. Sampai kami saling mendoakan agar kami bersama-sama mencapai apa yang kami cita-citakan.
Nay sempat bertanya padaku tentang cita-cita. Juga aku tanya pada Nay hal yang sama. Namun Nay tidak menjawabnya. Hanya cita-citanya itu agar sesudah lulus SMK, lekas dapat kerja.
Sementara aku ingin menjadi dokter, dan Nay mendengar itu mengangkat kedua tangannya, lalu diusap ke wajahnya, dan bilang Amin. Aku juga mengamini, lalu tertawa kembali.
Kataku pada Nay memastikan,"aku ingin menjadi dokter. Walau bunda bilang itu biayanya mahal. Ayahku juga bilang begitu."
"Tapi kan tante kamu mengizinkan." Balas Nay.
"Iya, tante sudah berjanji akan membiayaiku hingga tuntas sekolah, lalu kuliah."
"Iya, kamu beruntung."
"Kamu juga kan?"
"Iya, tantemu sangat baik, dan penyayang. Sejak tau kita bersahabat. Semua kebutuhan sekolah, dan jajanku selalu ia beri."
"Alhamdulillah ya."
Ya, alhamdullilah, semoga tante selalu diberi kesehatan, dan rezekinya lancar."
"Aamiin ya Roball Alamin."Ucap kami lirih.
***
Hari minggu sore Nay mengajakku untuk ke apotek. Katanya diminta ayahnya untuk beli obat sesak nafas.
Kami lalu berjalan beriringan menuju apotek yang jaraknya cuma 100 meter. Kami berbincang dan bercanda seperti biasa.
Nay sore itu banyak bicara. Bicara tentang sekolah, tentang cita-cita, tentang almarhumah bundanya. Juga tentang naik-naikan kelas sembilan yang sebentar lagi.
"Ayahku pernah bilang kalau ada rezeki, akan membelikanku tas sekolah."
"Lho kan tas sekolahmu sama denganku. Kenapa mesti beli yang lain."
"Ya gak apa-apa. Itukan kalau ada rezeki. Sekali-kali hadiah kenaikan kelas dari ayahku, jangan dari tantemu aja."
"Iya juga sih. Nanti kalau tasmu beda, aku juga akan minta dibelikan supaya sama tasnya dengan punyamu."
Aku dan Nay terus saja berbicara, dan bercanda. Sampai kami kembali ke rumah masing-masing.
Namun saat azan isya usai berkumandang. Aku mendengar pengumuman dari mushola di dekat kediaman Nay yang jaraknya juga tidak terlalu jauh denganku.
"Telah meninggal dunia bapak Fulan umur 49 tahun.. ."
"Nay!"Aku seketika menyebut nama sahabatku, dan berteriak memanggil bunda sekejap saja, dan berlari menuju rumah Nay.
Aku menerobos kerumunan, lalu masuk, dan melihat Nay sedang membaca surat Yasin dari hpnya sembari basah wajahnya dengan air mata. Kemudian aku memeluknya erat tak kuasa bicara apa-apa.
Nay semakin deras airmatanya, juga aku. Dan, aku melihat tas sekolah baru yang dijanjikan almarhum ayahnya itu ada di sisi Nay.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI