Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kalung Hadiah

5 Januari 2021   22:38 Diperbarui: 5 Januari 2021   22:40 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rupanya mudah saja Murad direka keberadaannya. Ia nangkring di lapak judi koprok di belakang halaman kediaman juragan itu. Kelihatannya ada kemudahan bagi Murad untuk bisa berjudi dengan jaminan si Nah. Berapa pun uang yang diminta seolah ringan diberikan oleh juragan ini.

"Uang gampang, asal borg sudah di tangan, betulkan abang Murad?Tanya juragan itu seraya menyeruput kopi tubruk yang diolesi serpihan tembakau di bibir gelasnya.

"Sudah beres, tinggal waktu kawinnya saja bos,"timpal Murad terkekeh renyah.

***

Sejak peristiwa tersebut mbok Nah tidak tahu lagi apa yang kemudian terjadi pada familinya itu. Ia minggat esoknya tatkala Murad, dan Mitun masih terlelap dalam mimpi tidurnya.

Waktu terus berjalan. Putaran pada poros yang tidak bisa dielakkan. Sepanjang masa pasti bisa waktu itu diikuti insan bila nyawa masih menetap di raga. Maka ia pun pernah menetap di satu keluarga yang sudah sekitar empat puluh tahun lamanya jika dihitung benar-benar.

Usia mbok Nah pun mulai sepuh, 60 tahun. Kini keluarga di mana mbok Nah tingga itu pun memintanya untuk kembali ke kediaman familinya. Sebab majikan yang dianggap satu-satunya keluarga oleh mbok Nah juga telah tiada keduanya.

Hanya tiga orang anaknya saja yang sebetulnya masih mau mempekerjakan mbok Nah sebagai pembantu. Tapi mereka tidak tega, dan memintanya siang itu untuk kembali saja ke famili atau ke desa di mana ia pernah tinggal dulu.

Mau tidak mau mbok Nah takkuasa untuk menolak. Ia dengan berat hati menerima putusan itu, dan taktahu lagi hendak kemana kaki ini diayunkan. Semalaman ia menekur diri di kamar, dan memandang seuntai kalung emas yang diberikan oleh majikan wanitanya dulu sebagai kenang-kenangan.

Mbok Nah masih mengingat itu tatkala majikannya tengah dirawat intensif di kediamannya ini.

"Mbok ini kalung dipegang ya sebagai hadiah dari saya sebagai kenang-kenangan. Mbok sudah demikian lama tinggal, dan merawat anak-anak yang sudah dewasa sekarang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun