Mendengar itu Mitun merasa prihatin dengan ancaman suaminya itu, dan mencoba mencegah agar si Nah ini diberikan waktu untuk berpikir.
"Barangkali jika cukup waktu berpikir, si Nah akan ikhlas dikawinkan, betulkan Nah,"kata Mitun meminta jawaban si Nah.
Mbok Nah muda tetap diam. Ia hanya menundukkan wajahnya menatap lantai yang diplester semen di temaran petromak yang spirtusnya sudah menguap habis minta diisi.
Murad kian mendesak. Mitun menahan. Semakin Mitun menahan, Murad semakin kalap. Tanpa sadar ia bilang keras-keras pada Mitun di hadapan si Nah.
"Si Nah sudah diborgkan buat bayar utang judi saya ini, Mitun!"katanya sembari menunjuk-nunjuk wajah Mitun yang setengah melotot.
"Astagfirullah, pak!"
"Kamu mau rumah sepetak ini jadi gantinya, hah?!"
Karena melihat suaminya sudah kalap demikian, Mitun memilih mundur, mengalah. Ia dekati kemudian si Nah yang sejak tadi tertunduk. Ia bisiki agar ia mau beranjak dan diminta ke kamar bersamanya.
"Saya akan bicara sebentar dengan si Nah,"pinta Mitun pada Murad.
"Bicara silakan, keputusan sudah bulat. Tidak ada tawar atau alasan lain, Jelas Mitun?!"
Mitun tidak membalas, hanya membalikkan badan menuju kamar meninggalkan Murad yang keluar dari rumah entah kemana.