Jasa pijat dua lantai di samping super market sejak korona melanda mulai redup. Tidak banyak lelaki yang datang antri di selasar tunggu. Paling banter dua sampai tiga saja. Sementara pemijat yang rata-rata gadis muda dari pelosok, entah janda, atau bukan gadis, tiga kali lipat jumlahnya. Tentu kedatangan pengunjung yang jarang ini menjadikan mereka saling mencuri perhatian.
Kadang tidak hanya perhatian semata, tapi lebih ekstrim dari itu. Mereka sengaja  di selasar itu ada  yang berkutang saja, dan pakai rok mini yang sudah kusut.  Rata-rata begitu. Tapi cuma satu yang tidak mengikuti arus sebagaimana yang lainnya.
Ia Darsih. Tukang pijit di kampung yang dulu dikenal piawai. Mulanya ada di lokasi sekarang karena diminta oleh temannya untuk bekerja di sini. Sayang teman satu kampungnya itu kata kawan pemijat di sini, Â mati akibat terkena penyakit kelamin akut. Â Karena tidak lagi ada yang bisa diajak berbagi cerita, Darsih cenderung menutup diri.
Selama wabah korona ini Darsih cuma bisa menghidupi diri dengan sisa hasil kerja sebelumnya. Sementara urusan menetap di tempat jasa ini ia bergantung pada bosnya, seorang tauke barang elektronik yang rutin dipijatnya. Pijat beneran, bukan pijat bo'ongan. Makanya ia rada ringan pengeluaran diurusan tidur di panti ini.
Selain itu ada satu lagi pelanggan tetapnya. Sopan, dan sangat menghargai profesi Darsih. Lelaki juga dan berumur sekitar 45 tahun. Ia mengaku seorang pengacara dan berkaca mata minus tebal. Â Saking tertariknya pada Darsih kerap ia bercakap menyenangkan. Menurutnya jasa pengacara sama persis dengan jasa pijit.
Sama-sama peroleh uang dari orang yang butuh jasanya. Kalau pengacara, orang yang datang minta nasihat, atau sekalian mengurusi nasihat sampai ke pengadilan. Kalau pijit, orang yang datang minta diurus urat-uratnya yang kelelahan. Orang yang datang istilahnya sama-sama klien.
Begitu sang pengacara  langganan Darsih ini membandingkan profesi masing-masing. Kendati nasib  profesi yang ia geluti belum seberuntung seniornya yang suka tampil di tv.
Darsih justru tidak paham dengan profesi  lelaki ini yang menurutnya asing di telinganya. Selama ini yang ia ketahui hanya bidan, atau mantri di puskesmas kampungnya, atau dokter, atau aparat di balai desa. Dia berpikir mungkin profesi orang ini sama seperti  tukang sunat,  atau ustad atau guru atau penghulu di kampungnya yang sering dimintai nasihat oleh warga kampung.
Bila datang pun ia perlente. Kemeja dan pantalon, serta berdasi, tanpa kopiah. Â Ia bermotor yang di parkir di samping supermarket, tidak di halaman parkir panti pijat ini. Katanya supaya tidak mengganggu pengunjung lain yang parkir di sini. Ia lebih baik mengalah saja. Begitu cakapnya.
Lelaki ini sangat sopan terhadap Darsih. Wajahnya seperti orang dari seberang sana. Aslinya sebetulnya berdarah indo. Muka bulat, mata agak kecil, kulit sawo setengah matang, dan berkumis. Kumisnya pun kadang tidak lazim adanya. Kadang berwarna hitam, kadang coklat. Tergantung maunya dia.
Terhadap Darsih ia selalu minta di pijit di bagian punggung, dan dada saja. Selebihnya tidak. Padahal lelaki manapun pasti kalau dipijit minta di bagian kaki, atau lengan, atau kepala biar terasa rileks, dan fresh akhirnya.