***
Acara lomba sangat meriah. Anak-anak, ibu-ibu, warga sekalian senang, dan gembira. Â Tapi Rahwana, anak, dan istrinya tidak ikut, sebab acara lomba disebutnya tidak kekinian. Meskipun demikian, Rahwana, dan keluarganya senang sebab sudah dipandang sebagai warga kelas satu di lingkungan kampung sini.
Sebab ini yang pertama kali ada penghargaan khusus untuk orang yang dianggap berjasa dalam soal kritik mengeritik di kampung ini.
Puncak acaranya pun diisi oleh tarian anak-anak. Drama perjuangan oleh remaja, juga pembacaan puisi.  Sebelum acara usai, dan sebagai akhir keseluruhan acara , hadiah diberikan pada pemenang lomba. Sebagaimana kebiasaan di sini semua warga mendapat hadiah tanpa kecuali, dan semua  warga adalah pemenangnya.
Satu-satu dengan sabar, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, laki, dan perempuan menerima dengan suka cita, sekaligus gembira ketika menerima hadiah di panggung itu.
Dan, giliran Rahwana juga menyambut gembira kado istimewanya. Ia menerima kado yang diberikan oleh pak RW di atas panggung. Biasanya di kampung sini jajaran RW, dan staf kelurahan hadir diundang di acara ini.
Seperti wajah pemenang suatu lomba tingkat nasional, Rahwana menerima dari pak RW kado itu di atas panggung, sekalian pasang tampang arogan yang disengaja. Ia serasa mengejek warga yang ada di bawah panggung ini.
Kado yang diterimanya cukup besar, dan ia mengangkatnya tinggi-tinggi, namun warga biasa saja melihatnya. Tidak heboh sebagaimana tadi. Tak ada tepukan juga. Justru ia, anak, dan istrinya segera kembali ke rumah dengan bangga usai menerima hadiah itu. Alasannya ada pasien yang sudah janji pijit.
Padahal acara belum selesai. Namun begitu acara pun tak lama kelar yang ditutup do'a oleh Haji Mukti.
******
Esoknya tatkala Karim, dan Zaid sedang ngobrol di pos ronda mendengar caci maki Rahwana dari ujung gang rumah sewanya. Entah pada siapa cacian itu ditujukan.