Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kado Istimewa

14 Agustus 2020   20:52 Diperbarui: 1 September 2020   17:43 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kado yang tidak terduga. (sumber: pixabay.com/Bellahu123)

"Jangan begitu. Saya paham yang dirasakan abang Zaid. Ini juga iuran RT tidak lagi dibayar. Cuma satu kali aja dia bayar, pas baru datang itu,"timpal pak RT santai.

"Iya, ini aneh juga. Saya aja dibilangnya mesti menggiatkan ekonomi mikro masyarakat di lingkungan sini. Suruh bikin koperasi, bikin kredit tanpa bunga, seperti pengusaha nasional keturunan Tionghoa itu,"ujar Koh Acung menambahkan.

Zaid tertawa mendengar itu. Katanya," saya kira saja aja yang kena ocehannya. Jangan-jangan semua juga kena, termasuk si Karim."

Tidak lama di situ Zaid pun pergi menemui haji Mukti.  Termasuk menghubungi Rahwana, dan undangan yang mesti diberikan pada beberapa warga untuk menghadiri pertemuan.

Malamnya mereka berkumpul. Tidak kurang 20 warga hadir. Biasanya pertemuan satu jam kelar, ini menjadi dua jam lebih. Sebab Rahwana mengeritik terus susunan kegiatan acara 17 Agustusan ini.

Dikatakan acara-acara itu bentuk feodalisme masa lalu yang dipelihara sampai sekarang.  Disebutnya lagi warga terpedaya oleh pikiran-pikiran kolonialisme yang membuatnya menjadi santai, dan gembira semu. Ia meminta acara mesti diubah, apalagi lomba-lomba yang diadakan sudah tidak up to date, dan ketinggalan zaman.

"Bikin lomba tik-tok, dan lomba menjadi youtuber. Cukup dua saja sekarang. Tidak perlu lomba lucu-lucuan kayak tarik tambang, makan kerupuk, menggigit uang di buah pepaya yang diolesi, apa itu, norak sekali, oli! Saya usulkan dua itu saja pak RT," pintanya berapi-api persis politisi di tv-tv.

Usul itu kemudian ditimpali Salman. Kata Salman kesal, "ini tidak ada urusannya dengan segala pikiran yang belum tentu benar itu. Feodalisme dan kolonialisme itu istilah profesor, dan orang-orang cendekiawan. Ini di kampung, bukan di kota. Lagian tibang tukang pijit, tau-tauan segala istilah itu."

"Lho Anda tidak tau siapa yang saya pijit. Rata-rata para aktivis, dan sekali-kali saya dipanggil juga oleh politisi, eh calon politisi untuk minta dipijit. Jangan sembarangan saudara, informasi terkini saya dapat dari mereka,"balasnya dengan nada tinggi.

Salim yang merasa sahabatnya dibantah Rahwana coba menengahi dengan tenang. Dibilangnya supaya usulan itu dipertimbangkan lagi. Sebab segala tik-tok, dan youtube perlu alat, dan biaya juga.

Paling tidak mesti ada handphone, dan pulsa. "Darimana untuk mengadakan itu semua. Masa urusan ini saja yang harusnya senang, jadi meriang,"kata Salim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun