Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Pejuang, Kafe, dan OTT (Bagian 2)

13 Agustus 2020   10:33 Diperbarui: 16 Agustus 2020   22:53 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak lagi kisah pejuang bangsa seperti itu, apalagi yang gugur di medan lagi yang rela mengorbankan nyawa untuk negeri.

Mereka sesungguhnya orang-orang yang telah maju dari segi peradaban manusia dan akhlak. Tidak mudah tergoda oleh apapun yang bakal merusak nilai dan tatanan negeri yang baru merdeka ini.

Tapi kini sudah jelang 75 tahun kemerdekaan masih kerap dijumpai orang-orang yang mau menistakan dirinya, keluarganya, buyut moyangnya. Rasa malu, tampaknya, sudah putus dari urat kemaluan mereka.

 *****

Sabtu pagi semilir angin berbisik lembut.  Langit cerah, matahari sedikit malu untuk keluar. Sebab belum waktunya. Semburat cahaya merah menyebar indah. Dari jauh kelihatan jelas. Sepeda yang aku kayuh terasa melaju ringan.

Tak ada bising knalpot juga polusi yang selalu menjelma kabut di hari kerja. Pagi ini sedikit orang yang lalu lalang. Aku menikmatinya. Aku tak pasti untuk tujuan kemana. Tapi aku kenakan kostum sepeda lengkap. Rasanya kalau jarak dekat akan percuma. Makanya aku selintas terpikir coba menuju kediamannya Naomi di jalan sana.

Sepanjang jalan itu fokus perhatianku pada Naomi. Rasanya tak gentlemen kalau tidak mencoba sesuatu yang sudah di mulai dulu itu. Meski teman, paling tidak ada sedikit peduli. Pagi ini keberanian untuk ke sana meluap-luap.

 Untuk ke sana tidak makan waktu. Ketika dengan motor sekitar satu jam, sekarang barangkali dua jam. Dan, aku mulai masuk ke komplek pemukimannya ini.

Sepi terasa, dan ada satu dua anak kecil yang tengah bermain di muka pagar rumah diawasi orang tuanya. Aku sempatkan membuka helm, dan kacamata untuk melihat jelas lingkungan ini di pagi hari. Semua tampak jelas, indah, dan asri.

Jika bicara harga barangkali sudah bernilai milyaran komplek pemukiman ini.  Aku melaju pelan, dan jelang tikungan itu ada pos gardu, dan di sebelahnya rumah Naomi. Aku merasakan gugup juga, datang di pagi ini. Tapi karena jarak sudah dekat aku hempaskan keraguan ini ke ilalang yang ada di saluran air di sepanjang sisi jalan itu.

Aku tiba kemudian. Dan, celingak celinguk di muka pagar. Berulangkali menyebut salam, tak ada jawaban. Sepi, gelap dan kosong. Karena dengar oleh suara salamku, maka seorang perempuan pembantu rumah tangga yang tengah menyiram bunga menyapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun