Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Pejuang, Kafe, dan OTT (Bagian 2)

13 Agustus 2020   10:33 Diperbarui: 16 Agustus 2020   22:53 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak OTT oleh lembaga antirasuah di kediaman orangtua Naomi  beberapa waktu lalu, hingga kini tak ada kabar darinya. Sudah tiga bulan hp yang ia punya total mati. Sulit untuk mencari tahu kabar tentang dia, dan keluarganya. Rasanya juga tak nyaman untuk datangi kediamannya itu.

Situasinya tidak memungkinkan. Lagi pula aku cuma teman biasa. Barangkali teman dekat pun akan mengalami nasib serupa. Entah jika kolega di kantornya.

Sementara di kantor,  dua minggu usai OTT , bos juga digelandang oleh tim KPK. Dari keterangan yang disebut di media massa Ia tidak terlibat langsung. Perannya sebatas perantara saja untuk menyerahkan sejumlah uang yang dulu aku ambil di bank. Rupanya uang itu bukan miliknya. Entah punya siapa, dan untuk apa?Kabarnya KPK masih menelusuri.

 Cuma kudengar  uang itu untuk mendapatkan keadilan dalam suatu perkara. Bukti transfer pun sudah dikantongi pihak KPK.  

Tapi yang mengganjal, mengapa bos ini mau ambil resiko?Tentu ada sesuatu yang ia tidak bisa tolak pada relasinya itu. Entah. Yang jelas dengan kejadian tersebut, bos akan disingkirkan kelak. Hebatnya lagi dua orang yang sempat aku lihat di ruang bos ketika itu, salah satunya adalah orang tua Naomi.

 Dari postur tubuhnya meski sedang duduk tampak gagah, Usia sekitar 58 tahun. Berdasi, dan klimis. Ada kemiripan di mata dan hidungnya Naomi. Kalau saja aku tahu itu bapaknya, mungkin aku akan menegur sapa. Sayangnya saat ke kediamannya tempo hari ia tak ada.

 Sepertinya peristiwa yang dialami bapaknya bukan suatu kebetulan semata. Tapi memang sudah melalui proses panjang.  Ia kemungkinan besar masuk dalam pengamatan KPK sebagai ASN itu.

Signal itu sempat aku ketahui dari keterangan Naomi.  Ketika itu ia menyebut bapaknya sudah terbeli sejak tugas di Jakarta ini bertahun lalu.  Dari pemberitaan media massa ia seorang hakim di pengadilan tingkat pertama. Pantas saja megah rumah yang ditempati Naomi.

Padahal kalau mau jujur, sebagai ASN bisa dihitung penghasilan bulanan mereka, disertai tunjangan. Tapi yang ia punya melampaui ukuran pegawai pemerintah yang peroleh gaji dari pajak rakyat.

Aku kerap bertanya, mengapa orang semacam itu mau menistakan diri, dan keluarganya?Padahal hidup sebagai ASN saat ini sudah lebih dari cukup, apalagi yang disebut pejabat. Mengapa orang-orang semacam ini tidak menengok sejenak ke masa dahulu, bagaimana pemimpin, dan pejuang dahulu  telah meneladani semuanya.

Tidakkah mereka meresapi apa yang menimpa wakil presiden Mohammad Hatta, proklamator, tatkala ia punya keinginan memiliki sepatu Belly tapi tak mampu ia beli.  Kenapa tidak melihat Jenderal Polisi Hoegeng tatkala ia sempat disuap kemewahan sejenis sedan Mercy di zamannya, lalu ia tolak dan campakkan semua sogokan itu "kecomberan". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun