Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Tak Kuasa Menepis Petaka

31 Mei 2020   08:34 Diperbarui: 1 Juni 2020   15:32 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mas bilang dulu kita gantian bayar cicilan rumah, Kenyataannya aku yang membayar terus hutang itu. Di kemanakan uangnya?"

"Lho kan aku simpan. Percayalah dik, semua uang itu aku simpan di tabungan. Bisa diperiksa kalau tidak percaya. Kan adik tau di mana disimpan bukunya."

Bukan tidak mau Sri melakukan inspeksi atas buku itu. Namun ia terlampau percaya, dan sangat mencintai Madun. Di benaknya jika Madun mengatakan demikian artinya tidak ingkar, dan justru orang yang telah hijrah untuk membahagiakan keluarganya. 

Memang kenyataannya itu dirasakan Sri, meski ia rela berkorban untuk itu. Padahal di luar yang diketahui Sri, Madun asyik berjudi. Taruhan tiap pertandingan sepak bola, judi buntut, bahkan main kartu di beberapa lapak yang kerap ia datangi di beberapa tempat. Dan, yang paling menghebohkan, Madun, kerap juga berburu harta karun sebagaimana yang ia pelajari dari buku-buku sejarah, dan ramalan para dukun.

Selama 10 bulan ia berjudi, dan sesudahnya, masuk ke bulan 11 seterusnya, ia mencoba peruntungan dengan memburu harta karun. Ia punya keinginan sebagaimana cerita nabi Sulaiman yang memiliki istana megah di muka bumi. Atau punya cita-cita seperti Qorun di zaman Firaun yang mempunyai ribuan kunci gudang hartanya. 

Madun ingin menjadi orang terpandang yang bakal dimuliakan orang dengan hartanya. Orang-orang akan mencium punggung tangannya dengan takzim. Orang-orang akan menempatkan dia di tempat duduk paling depan pada tiap acara, entah keagamaan, entah social, entah organisasi politik, entah reunian, entah santunan anak yatim, entah peresmian pendirian masjid, bahkan penghormatan paling tinggi yang kelak ia peroleh di tempat dinasnya. Intinya dengan harta karun yang bakal didapat itu ia ingin menjadi orang yang dimuliakan.

Dan menjadi kenyataan pada akhirnya tatkala suatu ketika Madun dimuliakan oleh anak-anak kecil di pinggir jalan, sambil mengikutinya dan bertepuk tangan, menyebut dan memanggilnya riang,"Madun gila, Madun gila, Madun gila ..."

Sri dan kedua anaknya melihat petaka itu dari kejauhan dengan derai airmata. Sakit dan hancur hatinya seketika melihat itu semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun