Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Tak Kuasa Menepis Petaka

31 Mei 2020   08:34 Diperbarui: 1 Juni 2020   15:32 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalan hidup tiap orang cendrung berbeda. Ada yang senang juga ada yang susah, bahkan ada yang biasa saja. Semua itu seperti sudah diskenariokan oleh sang maha sutradara. Siapa lagi sang maha sutradara itu kalau bukan Tuhan. Dia yang telah menjadikan tiap makhluk di bumi ini tak mampu untuk berbuat banyak manakala takdir sudah ditetapkan. Sebagaimana matahari bersinar di waktu pagi, terang bulan pada malam, dan gemerlap bintang di langit sana.

Sekejap semua itu terjadi secara bergantian. Manusia pun demikian. Tidak pandang jenis kelamin malah, ketika aral, ujian dan cobaan dalam menjalani hidup datang bertubi-tubi. Sebab itu jangan coba terpikirkan dalam benak bahwa semua persoalan buruk itu hanya menimpa diri sendiri saja. 

Di luar sana begitu banyak persoalan yang jauh lebih buruk dari tiap orang yang tidak kita ketahui. Catatan kalimat yang Sri baca dari selembar kertas bungkus kacang goreng itu sempat menyita perhatiannya, meski sesaat. Karena habis kudapan itu, ia hempaskan kemudian kertas pembungkus tersebut. Dan, kembali sore ini ke rumah sewanya yang tak jauh dari rumah sakit di mana ia bekerja.

Sore itu semburat cahaya surya berwarna jingga di ufuk sana. Pelan-pelan akan menutupi awan, kemudian gelap datang. Sri justru tidak melihat fenomena yang wajar dan biasa saja itu. Yang terjadi tiap hari di kala musim penghujan atau bukan. Ia malah melihat pekat di sekelilingnya usai kabar yang ia terima dari Solo sana. 

Dikabarkan oleh kerabat untuk kesekian kali, Madun suaminya kembali main gila dengan perempuan muda. Madun kerap terlihat menunggang motor berulang kali di sepanjang jalan di dekat kediamannya. Bahkan hingga bercengkrama di kediaman mereka untuk beberapa saat. 

Sri tidak ingin percaya, tapi ini sudah kesekian kalinya. Ada kegundahan dari Sri untuk kembali saja ke Solo mengetahui dengan pasti apa sebenarnya yang terjadi. Padahal sebelum ia ke Jakarta untuk bekerja, Madun punya komitmen untuk menjaga kesetiaannya. Tapi apa boleh buat demi keutuhan rumah tangga ia kembali juga.

Sri pun tiba, dan Madun menyambutnya suka cita. Sri tahu Madun pura-pura. Tapi bukan Sri namanya jika ia tak menegur dengan keras. Beberapa hari kemudian baru ia katakan. 

Kata Sri suatu malam, dirinya sudah mendengar kabar tentang prilaku Madun suaminya. Ia ingin pengakuan, bukan kepura-puraan. Madun sesaat  banyak dalih, ia berkilah bahwa itu sengaja dilakukan oleh orang untuk mengusik perkawinan keduanya. Tapi sayang bukti sudah dipegang Sri, dan Madun tak bisa lagi mengelak.

"Maafkan aku sayang. Rumah tangga jarak jauh itu ternyata menyulitkan bagi suamimu ini di kala rindu. Di saat datang hasrat yang tak kuasa aku tahan. Aku janji dan minta maaf untuk itu. Percayalah aku masih mencintaimu,"

Sri bergeming. Namun Madun piawai memainkan kata, mimik dan gesture tubuh seakan ia sangat menyesal, dan bersalah atas apa yang diperbuatnya. Dan Sri larut oleh buaian kata Madun, suaminya. Ia kalah, dan menyerah akhirnya di ujung lidah Madun dan hasrat cintanya di atas ranjang yang Sri tak kuasa untuk menepisnya. 

Satu jam kemudian, Ia terkulai lemah dalam pelukan Madun, suami yang masih ia cintai ini. Satu tahun dari sini buah hati datang, dan rumah tangga berlangsung dengan tenang dan damai. Semua berjalan sebagaimana angin. Sejuk dan menyegarkan.

Tapi siapa sangka Sri pergoki suaminya suatu saat kala anaknya sudah berusia dua tahun. Madun tengah bercumbu rayu tengah hari di ruang tamu dengan perempuan lain  tatkala anaknya tengah lelap tertidur. 

Sementara pembantu di rumah sedang diperintah Madun untuk mencari sesuatu di pasar. Sri sengaja kembali ke rumah di waktu istirahat kantor hendak mengambil suatu arsip yang tertinggal. Ia pun menggedor pintu sekuatnya, mengundang tetangga lain untuk datang. 

Tapi lagi-lagi Madun pandai berkilah, dan perempuan itu pun punya talenta yang sama, yakni mampu menguasai keadaan. Rupanya kedua lain jenis ini dikenali oleh warga di lingkungan sekitar. 

Dengan alasan sedang menyusun rencana program yang akan dilaksanakan pada tahun mendatang, mereka pun lolos. Meski Sri melihat satu kancing di atas baju dinas perempuan ini masih terbuka. Namun Sri tidak sekeras tenaganya ketika menggedor pintu, dan lunglai dengan hiasan kata Madun di tengah keramaian itu. Situasi terkendali akhirnya.

"Semua ini hanya salah paham semata. Kami tidak sebagaimana yang kalian lihat. Jelas kalau kami melakukan seperti yang diduga Sri, istri saya ini dan para tetangga, justru membuat malu keluarga dan korps kami,"kata Madun tenang dan meyakinkan.

Tiga hari Sri tak bersuara sama sekali sejak itu. Ia menimbang-nimbang untuk kembali ke rumah orang tuanya. Rasanya kejadian yang dialami kemarin bagai gelombang yang mengombang-ambingkan suasana hatinya. Ia ingin menjauh tapi sulit. Dan, Madun terus mendekat, hingga ia terpojok oleh pernyataan Madun yang menyebut ia sudah siap jika tak lagi dipercaya sebagai suaminya. 

Rupanya kalimat yang disusun Madun yang bersifat gambling ini, malah mujarab. Sri kembali luluh, dan pasrah oleh rayuan, sentuhan dan segala teknis cumbuan yang menjadi talenta Madun ini. Anak kedua pun lahir kemudian. Rumah tangga kembali dijalani dengan suka cita dan penuh harapan. Telah punya dua anak, Madun menginsyafi diri, dan Sri bahagia disandarannya.

"Sudah empat tahun kita tinggali bersama rumah ini. Selama ini aku yang bayar untuk mencicil. Aku berpikir biar digunakan juga gaji kamu untuk meneruskan di bulan berikutnya, bergantian. Bagaimana?"

"Kenapa begitu, mas?"

"Gajiku akan aku simpan, dan kelak khusus digunakan untuk masa depan anak-anak. Kamu tidak usah khawatir. Ini kan bergantian."

Sri menerimanya juga, dengan harapan yang melambung. Rumahku istanaku jadi impian tiap orang, termasuk Sri. Ia sepakat dengan itu. Madun bukan main bahagia mempunyai istri yang mengerti jiwa raga dirinya. Jiwa iblis dan raga demit. Yang kemudian kembali Sri dikecewakan selama 10 bulan berikutnya.

"Mas bilang dulu kita gantian bayar cicilan rumah, Kenyataannya aku yang membayar terus hutang itu. Di kemanakan uangnya?"

"Lho kan aku simpan. Percayalah dik, semua uang itu aku simpan di tabungan. Bisa diperiksa kalau tidak percaya. Kan adik tau di mana disimpan bukunya."

Bukan tidak mau Sri melakukan inspeksi atas buku itu. Namun ia terlampau percaya, dan sangat mencintai Madun. Di benaknya jika Madun mengatakan demikian artinya tidak ingkar, dan justru orang yang telah hijrah untuk membahagiakan keluarganya. 

Memang kenyataannya itu dirasakan Sri, meski ia rela berkorban untuk itu. Padahal di luar yang diketahui Sri, Madun asyik berjudi. Taruhan tiap pertandingan sepak bola, judi buntut, bahkan main kartu di beberapa lapak yang kerap ia datangi di beberapa tempat. Dan, yang paling menghebohkan, Madun, kerap juga berburu harta karun sebagaimana yang ia pelajari dari buku-buku sejarah, dan ramalan para dukun.

Selama 10 bulan ia berjudi, dan sesudahnya, masuk ke bulan 11 seterusnya, ia mencoba peruntungan dengan memburu harta karun. Ia punya keinginan sebagaimana cerita nabi Sulaiman yang memiliki istana megah di muka bumi. Atau punya cita-cita seperti Qorun di zaman Firaun yang mempunyai ribuan kunci gudang hartanya. 

Madun ingin menjadi orang terpandang yang bakal dimuliakan orang dengan hartanya. Orang-orang akan mencium punggung tangannya dengan takzim. Orang-orang akan menempatkan dia di tempat duduk paling depan pada tiap acara, entah keagamaan, entah social, entah organisasi politik, entah reunian, entah santunan anak yatim, entah peresmian pendirian masjid, bahkan penghormatan paling tinggi yang kelak ia peroleh di tempat dinasnya. Intinya dengan harta karun yang bakal didapat itu ia ingin menjadi orang yang dimuliakan.

Dan menjadi kenyataan pada akhirnya tatkala suatu ketika Madun dimuliakan oleh anak-anak kecil di pinggir jalan, sambil mengikutinya dan bertepuk tangan, menyebut dan memanggilnya riang,"Madun gila, Madun gila, Madun gila ..."

Sri dan kedua anaknya melihat petaka itu dari kejauhan dengan derai airmata. Sakit dan hancur hatinya seketika melihat itu semua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun