Silvia heran dan terkejut melihat sikap Indah yang terlihat matanya berkaca-kaca tatkala melihat foto pernikahan mereka itu.
"Mbak, kenapa?"
"Oh gak apa-apa aku Vie,"timpalnya seraya melepas kacamatanya untuk mengusap tetes air matanya.
Indah selanjutnya duduk di sisi rekannya itu, kemudian bicara singkat pada Silvia.
"Aku seperti kenal sekali dengan ibu di foto itu."
Tidak berapa lama, Tejo pun keluar diringi Tinah di belakangnya. Dan ia memperkenalkan istrinya itu pada mereka. Namun sesaat saja, Indah menubruk Tinah dan memeluknya erat. Tinah juga demikian menguatkan pelukan itu penuh haru, kala Indah tak kuasa menahan tangis harunya.
Tinah sangat mengenali, juga Indah. Sementara Tejo, dan Silvia heran, melihat polah mereka berdua. Usai drama itu, Tinah memberi salam pada Silvia yang tidak menyangka, Indah seniornya di kantor kenal dekat dengan Tinah.
Kata Silvia,"bapak ini gak pernah bilang punya istri cantik di rumah. Juga gak pernah bilang suka ke halte itu kalau jam delapan. Makanya saya tidak tahu!"
Tejo hanya tersenyum. Dan, Tinah menjelaskan akhirnya, ia dulu juga karyawati sebagaimana Indah. Hanya saja dulu ada persoalan yang membuatnya harus rela keluar dari kantor di daerah sana itu. Indah mengangguk, dan dalam hatinya berbisik, semua yang dilakukan Tinah adalah untuk membela dirinya. Tapi ia tidak ceritakan, cukup Tinah dan dirinya yang tahu soal itu.
Silvia pun tertegun akhirnya. Tidak menyangka. Soal nasi uduk membawanya pada tali persahabatan yang kembali menguat setelah sekian waktu tidak ada jejak di antara mereka.
"Jadi gimana mbak Indah soal nasi uduknya?"Tanya Silvia pada Indah, sementara Tinah dan Tejo tersenyum mendengarnya.