Saat usai dagang itu, Jam 9 pagi, Tejo menghampiri Bahlul seraya menempatkan meja di dekat gerobak, dan bilang.
 "Ini mas uangnya 750 ribu. Hitung-hitung sewa meja selama ini. Terima ya mas. Dan, meja tidak perlu saya bawa. Biar saja itu kan punya mas."
"Saya jadi gak enak sama mas Tejo ini. Sebenarnya bukan kemauan saya, tapi istri saya itu marah-marah terus. Saya juga belum tahu apa nanti bisa dipakai mas lagi atau tidak,"jawab Bahlul tidak enak hati. Â
"Gak usah mas, biar nanti saya yang pikirkan soal meja itu. Terima kasih ya,"ujar Tejo lagi, lalu meninggalkannya.
Bahlul tampak tidak nyaman, tapi istrinya senang bukan kepalang. Uang yang dipegang Bahlul, cepat direbutnya seraya bilang,"gitu dong, mana ada yang gratis di Jakarta sini. Ke kakus aja udah naik jadi tiga ribu!!"
Tejo dan Tinah sudah tidak mendengar ucapan itu. Namun suaminya, Bahlul yang kenyang dengan mulut istrinya, tiap saat malah.
***
Sedang persiapan untuk membawa pulang perlengkapan dagangnya itu, Tinah dan Tejo terkejut. Beberapa pelapak yang ada di sekitarnya, berhamburan lari. Sebab ada petugas tramtib datang. Juga Bahlul, dan istrinya panik.
Tejo dan Tinah sudah mengikat perlengkapannya itu di motor, dan hendak dibawa oleh Tejo namun dua orang petugas menyergap, dan menahannya. Sementara Bahlul dan istrinya bertahan mati-matian. Segala macam omongan yang bersumber dari ragunan dikeluarkan istrinya, seraya meraung-raung kencang.
Gerobak terus saja ditarik petugas, padahal sudah diingatkan petugas supaya barangnya dikeluarkan. Bahlul sudah setuju, tapi istrinya seperti kesetanan. Ia lawan sekuat yang ia bisa. Ia teriak sekuat ia punya suara, dan memancing orang untuk melihatnya.
Tapi karena tugas, dan wilayah ini sesuai peraturan yang baru harus bersih dari pelapak, maka tidak ada artinya untuk melawan. Walhasil gerobak itu diangkut, dan istrinya Bahlul ngedeprok sembari sesunggukkan di jalanan.