Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetes Haru Air Mata Persahabatan

25 September 2019   00:57 Diperbarui: 27 September 2019   15:27 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usai subuh itu, jalan di gang rada gelap. Sementara Tejo mulai melakukan aktivitasnya, jualan nasi uduk masakan istrinya. Ia biasa jual di dekat halte bis, samping gerobak rokok. Harga nasi uduknya bukan lima ribu, tapi ia biasa jual 10 ribu sudah include telur ceplok, dan gorengan.

Ditambah, air minum teh hangat, gratis. Jadilah ia bawa jualannya itu, dengan motor bebek di belakangnya. Satu bakul penuh nasi, empat kaleng kerupuk Kong Guan, gorengan juga sambal, dan piring, gelas, tikar, dan lainnya, komplitlah. Istrinya Tinah, turut membantu semua persiapan suami tersayangnya itu.

"Nanti jam 8, aku susul mas ya di sana,"ucapnya lembut sembari cium hangat punggung lengan kanan suaminya, takzim.

Tejo meluncur tenang. Ada doa dari istri untuk usahanya itu. Semua itu dijalani dengan penuh semangat, sarat harapan, dan optimistik. Ia juga jualan tidak makan waktu banyak, paling telat jam 10 sudah selesai. Kadang laris dan tandas, tapi juga masih tersisa yang ia jual.

Dan, yang tersisa itu tidak sekalipun ia bawa kembali ke rumah. Acapkali ia berikan pada petugas kebersihan di sekitar tempatnya berdagang, atau ia berikan pada yang patut menerimanya.

Dan, di dekat halte itu pula ia menggelar lapaknya. Satu meja setinggi 35 cm, dan lima jojodog papan sudah melengkapi display dagangannya. Pelanggan tak perlu repot berdiri untuk makan di lapaknya.

Memang terkesan seperti lesehan, tapi nyaman dan bersih adalah prinsip usahanya itu. Tak heran, mulai dari anak sekolah sampai pekerja kantoran meriung di lapaknya untuk sarapan pagi. 

Bangku memang dirasa kurang, tapi ia juga melengkapinya dengan tikar di situ. Namun begitu soal meja yang ia titipkan pada mas Bahlul, yang punya gerobak rokok itu, kadang masih mengganjalnya.

Sebab mulanya meja itu dipinjamkan Bahlul padanya saat dulu ia baru merintis usahanya ini. Tapi belakangan, ia tidak enak hati. Istrinya Bahlul yang pendek, dan gemuk itu seringkali cemberut jika Tejo mengembalikan mejanya di samping gerobak usai berniaga.

Di hari itu, matahari juga belum menampakkan sinarnya, Bahlul yang tampak kucel, menghampiri Tejo saat hendak mengangkat meja. Dia bilang, mejanya nanti habis dagang jangan dikembalikan lagi di samping gerobak. Tapi kalau mau, dibawa saja, dengan imbalan sepantasnya.

Tejo hanya mengangguk, mengerti tanpa perlu membalasnya lagi. Karena ia sudah pastikan suatu saat pasti soal meja akan juga dipersoalkan. Kalau soal laris dagangnya ia sudah tahan nafas, dan tutup kuping. Istrinya Bahlul punya rohani, isinya iri dan dengki saja. Apalagi jika Tinah ada, cemberut di wajahnya itu persis seperti buntelan baju butut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun