Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Aroma Unik di Rumah Haji Mukti

13 September 2019   14:16 Diperbarui: 14 September 2019   23:53 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam minggu itu Pariyem yang gemuk senang tiada kepalang. Pasalnya untuk kali pertama ia didatangi Karim. Keduanya memang tengah jatuh hati. Bulan puasa lalu seakan jadi bulan berkah baginya. 

Harapannya terkabul. Doanya seakan telah menembus langit ke tujuh. Tapi sayang, datangnya Karim yang juga tambun ini tidak dalam kaitan asmara. Tapi soal sumbangan.

Dan, Karim belum ada niat sebenarnya untuk anjangsana, secara sengaja temui Pariyem di rumahnya usai tarawih malam itu. Mungkin nanti, sekalian melamar dia, mungkin lho.

Karim saat itu tengah melakukan tugas mengedarkan list pada warga di sini. Haji Mukti sudah memintanya, dibantu juga oleh yang lain. Ada sekitar tiga orang yang diberi tugas menghimpun sumbangan, acara Malam nuzulul Qur'an ketika itu.

"Ih abang, Par seneng banget nih ada tamu istimewa. Ayo bang, masuk!Begitu Pariyem menjawab ketukan, dan salam Karim di pintu rumahnya.

"Terima kasih, Par. Kok sepi?

"Iya, bang. Si Wiet belum sampe rumah, padahal tarawih udah bubar. Ayo duduk bang! Mau minum apa bang?

"Gak usah, Par. Cuma sebentar aja kok ini."

"Ah abang, jangan gitu bang. Ini Par buatin es sirop, sama siapin ubi rebusnya, sekalian ya bang?"

"Ya, terserah Par deh. "

Sambil duduk, Karim sempati melihat dekorasi ruang tamu, juga isi perabotan di rumah Pariyem, dan adiknya si Wiet. Ada foto mereka sekeluarga. Bapak dan ibunya. Karim tersenyum melihat foto mereka. 

Mereka bersahaja, sebagaimana dirinya dan keluarga. Mata Karim menoleh kiri, kanan, juga atas, bawah mumpung di rumah Pariyem. Karim juga baru kali pertama datangi rumah ini. Tapi kalau ke warungnya sudah sering. Padahal mereka bertetangga.

"Ayo bang, diminum, ini ubi rebusnya. Ubinya besar-besar bang, bagus dan manis,"kata Par meminta Karim untuk menyegerakan sajian itu dicicipi, sembari duduk lesehan berhadapan, seraya mengingatkan makanan ini cocok untuknya.

"Iya terima kasih banyak, Par. Jadi ngerepotin ini," balas Karim sembari makan ubi rebusnya yang cukup besar.

"Par senang ubi rebus ya?

"Iya bang senang. Habis banyak manfaatnya."

"Kata siapa?

"Itu bang, mas Jono, petugas gizi Puskesmas bilang cocok untuk diet. Sebab rendah kalori dan kaya akan serat. Apalagi rendah kalori di tambah karbohidratnya yang banyak. Par sih gak ngerti istilah aneh itu. Tapi setelah makan ubi tiap hari satukali, badan agak sedikit ringan, bang. Makanya abang jangan lupa makan ubi."

Karim menganggukkan kepala, serius mendengarkan keterangan Par yang massif, terstruktur dan sistematis. Ia justru tidak menyangka bahwa Par bisa mengingat informasi dari petugas gizi itu dengan detail dan lengkap. 

Dalam hatinya ia memuji Par sungguh-sungguh. Selain cantik di matanya, juga cerdas dan banyak pelanggan warung nasinya yang pegawai kesehatan.

"Itu map apa, bang?Tanya Pariyem menyadarkan Karim yang tengah terpesona padanya.

"Oh, ini titipan dari pak Haji, Par. Saya kan anggota panitia malam Nuzulul Qur'an  RT kita yang saban tahun di adakan di halaman rumahnya pak Haji Mukti. Pak RT kan sudah menyerahkan semua kepanitian ke pak Haji. Jadi saya datang mau minta sumbangan untuk acara itu, Par. Maaf ya?

"Oh minta sumbangan. Tak kira surat numpang nikah!"

***
"Cie, yang abis dari rumah yayang nih,"goda Zaid saat berpapasan dengan Karim di mulut jalan rumah Haji Mukti.

"Iya bang. Alhamdulillah. Omongan abang tempo hari emang bener." Karim pun menjelaskan pada Zaid bahwa Pariyem jika di rumah sangat berbeda ketimbang di warung nasinya.

"Iyalah, masa gue ngibul sih. Gimane, dapet sumbangannya?"

"Alhamdulillah, si Par, ngasih, lumayan. Koh Acung juga. ALFA sama Indomart juga, bang."

"Iye gue juga nih. Kayaknya acara nanti itu bakal jadi deh. Gue juga terima ini dari Haji Yasin,  sama kos-kosan bang Pay. Ayo dah kita setor ke pak Haji!"

Di rumah Haji Mukti rupanya sudah kumpul. Ada Salman, dan Salim. Salim yang mengedarkan list juga sudah setor pada Salman, sebagai bendaharanya. Mereka kemudian duduk lesehan, dan Haji Mukti tak sungkan memberikan hidangan yang enak-enak untuk tamunya itu.

"Ayo dah, dimakan. Tuh, lumayan, ada kurma, lapis legit, risol, pastel. Kolak aja gak ada nih. Ayo id, jangan malu-malu..,in!Kata Haji Mukti pada tamunya sekaligus menekan akhiran kata itu pada Zaid. Zaid disentil begitu tertawa senang, dan langsung pastel di piring berpindah ke mulutnya.

Karim meski sudah kenyang dengan ubi rebusnya Pariyem, juga Salim tak mau kalah. Mereka bertiga akhirnya sibuk dengan sajian yang ada. Cuma Salman yang anteng, menulis catatan sumbangan yang barusan diterimanya dari mereka.

Haji Mukti dan Salman saling bincang, berapa kekurangan dana yang dibutuhkan untuk acara itu. Jika sudah cukup, maka list edaran dihentikan. Kalau kurangnya sedikit, Haji Mukti sudah siap menambalnya.

"Ini dari catatan saya, warga yang menyumbang tidak banyak. Hanya sekitar 20 orang saja. Tapi nilainya lumayan besar, pak Haji. Kelihatannya cukup untuk acara nanti,"kata Salman.

"Wah, Alhamdulillah!Sahut Zaid, Salim, Karim, juga Haji Mukti berbarengan.

"Jadi tuntas ya, untuk persoalan dana. Selanjutnya nanti yang punya tugas lain bakal saya hubungi lagi, jelas ya? Kata Haji Mukti, sekaligus mempersilakan Salman untuk cicipi sajian yang ada. Tapi sayang sajian yang ada sudah tandas oleh mereka bertiga ini. Salman cuma menggerutu sendiri tidak senang jatahnya dihabisi.

Namun gerutuan Salman tak dihiraukan. Justru suara saling tuduh kemudian yang keluar dari mulut, Zaid dan Salim. Sementara Haji Mukti memang sedang pilek, dan tengah periksa kembali catatan yang diterimanya dari Salman.

"Lim, ente kentut ye?Tanya Zaid pada Salim.

"Enak aja, abang kali, ah?

"Baunya minta ampun ini. Jangan-jangan Salman?

"Iye bang, die. Coba aja tanya."

"Soalnya dia kan tadi kagak makan. Kagak kebagian. Masuk angin pasti. Salman beneran lu, yang kentut?Kata Zaid lagi minta jawaban.

"Sembarangan lu bang. Bau yang macam gini, kalo gak dari abang ya Karim. Saya sih gitu aja bang!Jawab Salman sengit seraya menoleh ke Haji Mukti sekaligus mengharap dukungannya.

"Bener gak, pak Haji?Tanyanya cepat pada haji Mukti yang tengah sibuk dengan sapu tangannya di hidung.

"Emang soal apa??Sahut pak haji ingin memastikan kembali apa yang ditanyakan Salman.

"Kentut pak Haji."

"Ya ampun soal kentut aja jadi rame gini. Emangnya bau??"

Mendengar itu Karim hanya mesem saja. Dan, tertawa puas usai keluar dari rumah Haji Mukti. Zaid juga Salim sama halnya terbahak sambil tepuk-tepuk punggung Karim. Sementara Salman terdiam, merasa sial malam ini, makan tidak tapi kebagian ampasnya. Ampas Karim pula! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun