Malam yang dingin dan basah. Hujan semenjak sore hari membuat udara jadi lebih dingin dari biasanya. Saya dan dua orang teman menikmati suasana malam di saung Ayah Dayna sambil bersenda gurau. Kain sarung menjadi andalan utama untuk menepis dingin yang semakin malam semakin terasa menggigit.
Kunjungan saya kali ini disertai 2 orang teman yang ingin tahu lebih banyak tentang Baduy. Kami tiba di saung Ayah Dayna yang termasuk wilayah desa Cikeusik pada siang menjelang sore. Rencananya besok sebelum siang kami akan menuju desa Cibeo.
Dibagian dalam saung sudah tidak terdengar aktifitas. Ayah Dayna dan keluarga sepertinya sudah terlelap tidur. Selepas makan malam dan menikmati segelas kopi sambil bercerita banyak hal, Ayah Dayna memang pamit untuk istirahat.
Badan yang penat dan gemericik hujan tak pelak membuat mata harus menyerah pada kantuk yang merajalela. Tanpa peduli dengan kopi yang baru setengah habis, kami bertiga segera menyerah tanpa syarat pada kantuk, sang penguasa malam.
Tengah asiknya kami terlelap tidur tiba-tiba terdengar suara-suara orang dan suara langkah kaki yang berat. Segera kami terbangun dan melihat ada 2 orang yang sudah duduk ditepian saung, menunggu rekan-rekannya yang tampak tertatih-tatih. Hujan membuat tanah jadi beban buat sepatu siapapun. Saat saya melihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul 01.17 dinihari.
Seketika saya teringat kunjungan sebelumnya dimana seharian Ayah Dayna harus meladeni tamu yang datang dan pergi sejak pagi hingga sore hari. Saya rasa tamu-tamu yang datang kali ini tujuannya tak berbeda maksud dan tujuannya.Entah minta penglaris, naik jabatan atau apa saja.
Menurut asumsi saya, rasanya sangat janggal bila yang datang adalah orang-orang yang mau berwisata budaya ke Baduy Dalam. Para wisatawan biasanya akan memilih tidur di desa Cijahe bila dirasa sudah larut, terutama dalam kondisi hujan seperti saat ini.
Ayah Dayna memang dikenal luas sebagai paranormal. Sebuah status yang terlambat saya ketahui padahal saya sudah kenal Ayah Dayna sejak beberapa tahun sebelumnya. Itupun saya ketahui tanpa sengaja.
Totalnya ada 5 orang yang datang , dari potongannya saya memperkirakan 3 orang adalah orang desa yang mengantar 2 orang lainnya. 2 orang yang terlihat kepayahan itu terlihat jelas bukan orang desa. Kulitnya bersih, potongan rambutnya rapi, pakaian yang dikenakan pun bukan jenis pakaian yang dijual di pasar tradisional.
Ayah Dayna yang sudah bangun segera mempersilakan mereka masuk. Merasa tidak memiliki kepentingan apapun saya dan teman-teman memilih untuk kembali tidur. Diluar rintik hujan masih turun, sayang sekali suasana syahdu seperti itu tidak kita isi denagn tidur yang lelap.
Saat subuh menjelang saya sudah tidak melihat tamu-tamu yang tadi malam. Nampaknya mereka sudah kembali sementara kami yang pulas tidak menyadari kepergian mereka. Ayah Dayna dan keluarga sepertinya juga sudah bangun dan beraktifitas.
Setelah rampung sholat subuh saya mendapati Ayah Dayna sedang menyiapkan gelas-gelas berisi kopi. Boleh jadi Ayah Dayna tidak tidur lagi semenjak kedatangan tamu tadi malam. Tapi tidak nampak kelelahan ataupun kantuk diwajahnya.
Saat kami berbincang sambil menikmati kopi terpikir oleh saya tentang kesaktian Ayah Dayna. Timbul pertanyaan di benak saya. Apa iya beliau sesakti itu. Tapi pikiran itu kemudian larut dalam hangatnya pembicaraan yang sesekali diselingi canda tawa.
Ditengah perbincangan itu saya minta Ayah Dayna untuk membuatkan gelang yang terbuat dari kulit pakis. Dengan senang hati ayah Dayna mengambil kulit-kulit pakis yang tergantung dekat dapur lalu segera menganyamnya. Karena saya ingin ukuran yang tepat ukuran lingkar tangan maka ayah Dayna menganyamnya di tangan saya.
Tak butuh lama gelangpun jadi. Senangnya hati saya karena sudah sejak lama mengidamkan gelang yang benar-benar pas ukurannya.
Kami kemudian menuju desa Cibeo selepas sarapan pagi. Perjalanan menjadi berat dan terasa lama karena sepatu kami senantiasa dibebani tanah yang menempel.
Mendung menggantung saat kami tiba di desa Cibeo. Sinar matahari yang tertutup awan membuat siang jadi serasa sore. Namun siang itu Cibeo tampak lebih ramai dari biasanya. Di beberapa sudut desa tampak beberapa grup rombongan wisata. Yang belakangan saya mengetahui bahwa mereka adalah rombongan mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Kami segera mencari rumah yang bisa menjadi tempat menginap malam itu. Beruntung kami bertemu Ayah Naldi yang saat itu sedang berbincang-bincang dengan warga Cibeo, termasuk diantaranya ada Pu'un dan Jaro.
Pu'un adalah sebutan atau gelar bagi pemimpin adat suku Baduy. Ada 3 Pu'un di Baduy Dalam yang berdomisili di 3 desa yang masuk wilayah Tangtu ( Baduy Dalam ), yaitu desa Cibeo, Cikertawarna dan Cikeusik. Masing-masing desa didiami seorang Pu'un.
Sementara Jaro adalah sebutan atau gelar untuk kepala desa. Diluar desa yang ada di wilayah Tangtu ada sekitar 50 an desa yang termasuk wilayah Panamping ( Baduy Luar). Masing-masing desa mempunyai seorang Jaro.
Ayah Naldi dengan senang hati mengundang kami untuk menginap dirumahnya. Undangan yang tak mungkin saya sia-siakan. Karena secara emosional hubungan pertemanan saya dengan Ayah Naldi lebih dalam dibanding yang lain. Pastinya saya merasa lebih nyaman.
Selepas sholat Ashar saya ke sebuah titik di tengah desa Cibeo yang fungsinya kurang lebih sebagai sebuah alun-alun. Cukup banyak mahasiswa yang hilir mudik disana. 3 orang mahasiswi diantaranya menghampiri saya yang sedang duduk santai pada sebuah batu.
Setelah memperkenalkan diri masing-masing, mereka duduk tidak jauh dari saya. Posisinya sedemikian rupa hingga posisi duduk mereka mengelilingi saya. Mereka mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar adat istiadat suku Baduy. Dengan senang hati saya menjawab bilamana saya tahu hal yang ditanyakan.
Berbincang-bincang dengan gadis-gadis yang cantik dan cerdas jadi momen yang menyenangkan sore itu. Suasana begitu cair dan hangat. Cukup banyak hal yang mereka pertanyakan dan alhamdulillah saya bisa menjelaskan pertanyaan-pertanyaan mereka.
Setelah bertukar nomer telepon kami menyudahi perbincangan. Kami berpisah, saya menuju rumah Ayah Naldi yang berada di sisi Selatan alun-alun. Gadis-gadis manis itu menuju arah Utara alun-alun.
Selang 3 hari setelah kembali dari Baduy, saya menerima telepon yang ternyata salah satu dari 3 gadis yang saya jumpai di Cibeo. Ratri, kita sebut saja begitu namanya, menanyakan kemungkinan untuk bertemu langsung. Saya pikir dia masih butuh keterangan-keterangan lain tentang Baduy.
Karena kesibukan saya di hari-hari itu, saya menjanjikan untuk bertemu di minggu depannya. Ratri mengiyakan walaupun saya sempat menangkap ada nada kekecewaan disana.
Hari-hari berlalu dengan saya tenggelam dalam kesibukan yang ada. Selama hari-hari itu pula saya mulai merasakan hal-hal yang aneh. Tiap kali bertemu wanita muda , saya menerima keramahan yang agak luar biasa. Misalnya seorang gadis tersenyum manis pada saya saat beradu pandang di sebuah angkutan umum.Lalu ada seorang karyawati cantik yang dengan penuh kehangatan berbincang-bincang dengan saya saat menunggu bus. Ada beberapa kejadian lain yang terlalu panjang untuk diceritakan disini.
Secara fisik saya bukan model laki-laki yang akan menarik perhatian perempuan pada pandangan pertama. Secara materi juga jelas tidak mungkin. Ditambah saya juga sudah berkeluarga. Benar-benar pengalaman yang belum pernah saya alami.
Ketika Ratri menelepon saya lagi untuk memastikan pertemuan dengan saya, keanehan terasa makin menjadi-jadi.
Penasaran dengan fenomena yang terjadi, saya bercerita pada Ravi, seorang teman yang kebetulan dekat dan mengenal betul orang-orang Baduy. Ravi menanyakan kapan saya terakhir ke Baduy, kemana saja, bertemu siapa saja. Saat saya menceritakan tentang gelang Ravi langsung tertawa terbahak-bahak. Saya hanya bisa memandangi dengan penasaran gelak tawanya. Disela-sela tertawanya Ravi bertanya apa saya percaya Ayah Dayna orang sakti. Tertawanya makin menjadi ketika saya menjawab tidak percaya.
Ravi mendekat dan meraih tangan kiri saya, memperhatikan dengan seksama gelang yang melingkar ditangan kiri saya. " Ini Ayah Dayna kayaknya lagi membuktikan kalo dia punya kemampuan yang berbau mistis." katanya kemudian.
"Nanti sampe rumah gelang ini dipotong aja daripada urusan makin gak karuan." Ravi menyampaikan pendapatnya sambil menyeruput kopi.
Sesampainya dirumah, meskipun masih ada rasa tidak percaya pada "kesaktian" Ayah Dayna, dengan berat hati saya memotong gelang buatan Ayah Dayna itu. Boleh jadi yang diucapkan Ravi benar adanya. Harapan saya saat itu adalah menghindari hal-hal yang membahayakan rumah tangga saya.
Lucunya, segera setelah gelang sudah tidak lagi melingkari tangan saya, fenomena aneh yang pernah saya rasakan menguap entah kemana. Tak ada lagi perempuan-perempuan yang bermanis-manis didepan saya. Bahkan Ratri sudah tidak lagi menelepon padahal saya sudah berjanji untuk bertemu untuk berdiskusi dengannya. Singkatnya saya sudah kembali ke setelan awal.
Sepertinya nanti saya harus minta tolong orang selain Ayah Dayna untuk membuatkan gelang, agar kejadian tidak terulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H