Di Apartemen Saeed
Kubiarkan dia tertidur di sofa, dan gantian aku yang menyelimutinya. Kukecilkan volume tv, sambil mencari chanel yang tepat. Akhirnya pilihan jatuh ke chanel 21. Tv ini menyiarkan Wife Swap. Acara yang selalu kutonton, saat aku di London. Wife Swap adalah tayangan reality show dari USA. Setiap episode Wife Swap memperlihatkan 2 keluarga saling bertukar istri selama 2 minggu.
Masih kuingat, secara sederhana, ada 4 tahap dari setiap episode. Pertama, para istri yang ditukar akan diminta beradaptasi sekaligus mengamati situasi di keluarga barunya. Kedua, 1 hari kemudian si istri kemudian ratu di rumah itu dengan membuat beberapa peraturan. Ada peraturan rumah yang diperbaiki ada pula yang diubah total. Dan itu berlaku selama 2 minggu . Ketiga, setelah 2 minggu, kedua keluarga (tanpa anak-anak) saling bertemu. Menceritakan pengalaman serta memberi kritik-saran yang suka diisi dengan pertengkaran walopun akhirnya saling berbaikan . Keempat, setelah beberapa minggu, kedua keluarga akan diliput lagi. Apakah kehidupan mereka tetap sama atau ada perubahan walaupun sedikit.
Yang menarik, acara Wife Swap seperti ‘membenturkan’ 2 keluarga yang saling bertentangan. Misalnya, keluarga yang sangat tradisional (gak mengenal teknologi) di tukar dengan keluarga yang sangat modern. Keluarga yang snagat religius ditukar dengan keluarga yang percaya mistis. Dan lain sebagainya. Dan itu yang membuat aku selalu menjadikan acara ini sebagai tontonan favorit. Sungguh seru.
Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Saeed terbangun. Lalu terbahak begitu melihat dia yang sudah memakai selimut.
“Jadi kita ke pub,ya....” serunya.
“Siapa takut,...” Kataku sambil tersenyum.
“Oke kalau begitu aku akan mandi dulu, kamu pakai kamar mandi yang ada di kamar tamu”.
“Tapi aku ga bawa baju, Saeed....bajuku bau”. Kataku polos.
Saeed masuk ke kamar, dan selang beberapa menit, dia membawa sebuah gaun hitam. Legam.
“Pakailah ini”. Katanya sambil memberikan gaun hitam selutut itu padaku.
“Woww....gaun punya siapa?” Selidikku sambil membeberkan gaun itu di badanku. Kayaknya sangat pas. Potongannya sangat sederhana. Lengan tiga perempat, dengan potongan leher agak pendek. Berbentuk V.
“Gaun buat tunanganku”. Katanya. Nada bicaranya berubah sendu.
“Terus, kenapa masih ada di tanganmu?”
“She passed away”.
“Ups...so sorry, tapi aku tidak berani memakai gaun ini...”. Kataku berterus terang.
Saeed berusaha mencairkn suasana, dia kemudian terbahak.
“Hahhaahah...pakailah, gak akan ada yang marah, believe me...”.
“You sure...?”
“Sure.” Jwabnya mantap.
Aku tidak ingin berlama-lama melihat Saeed bersedih. Aku pura-pura hendak menuju kamar.
“Tunggu, Angelica.....”.
Dia kembali ke kamarny, dan membawa anting mutiara, dan highheels.
“Ini sekalian”.
Aku menerima semua itu tanpa banyak tanya, tanpa melihat lagi Saeed.
“Handuk ada di lemari, berikut peralatan mandi”.
“Oke...shutku pendek. Aku kemudian mengambil tas kecilku, untuk selanjutnya masuk ke dalam kamar. Kukunci pintu.
Kamarnya tidak terlalu besar. Single bed, lemari sedang, cermin dan rak, serta kamar mandi. Aku menyimpan semua yang diberikan Saeed berikut tas kecilku di atas kasur berseprai kain putih bersih. Wangi bunga sangat lembut memenuhi ruangan. Aku menyalakan lampu kamar dan mulai menutup gorden. Kunyalakan juga lampu kamar mandi, biar hangat. Tidak ada bath tub, hanya ada shower. Kuambil handuk dari dalam lemari. Putih bersih. Lantas aku mandi.
Aku bersenandung kecil.
Selesai mandi, cepat kucoba gaun hitam itu. Karena Cuttingnya bagus, jadi sangat pas jatuh di badanku. Hanya aku kurang terbiasa memakai gaun lengan tiga perempat. Biasanya yang topless. Setelah berbedak dan lipstik sebisanya, aku menyisir rambutku sambil berfikir mau dibagaimanakan. Akhirnya aku mengikat rambutku dan menjadi gulungan kecil di bawah, sedangkan belahan kusisir dari sebelah kiri. Kupakai anting-anting itu. Begitu juga dengn high heels. Sangat pas.
Aku membuka pintu kamar, kulihat Saeed sedang memakai sepatu.
“Pulangnya jangan terlalu malam, Saeed.” Pintaku.
“Iya...tenang sa....”. Saeed tidak melanjutkan omongnnya, malah menatapku tanpa berkedip.
“Oh...shit....you re very very beautiful, Angelica...”
Aku terbahak dia berbicara seperti itu.
“Im serious. You are soooo different”.
“Thank you “. Sahutku sambil menghampirinya.
“You look different, too...”. Balasku.
Sejujurnya aku memujinya, karena memang dia terlihat lebih macho dibanding pas kuliah dulu. Dia atlet Softball yang lumayan terkenal, dan menjadi tim inti kampus. Banyak wanita yang menjadikan Saeed idola. Terutama karena dia berkewargnegraan yang berbeda dengan kebanyakan temanku dulu.
Saeed menatap mataku terpesona, ada kejujuran di sana. Aku mengusapkan tanganku ke wajahnya supaya dia tidak memandangku seperti itu. Kami tergelak.
Kamipun keluar ruangan. Saeed menggamit tanganku. Kami menuju lift. Pub berada di lantai dasar. Di dalam lift, Saeed terus memandangiku. AKu melotot. Dia berbicara pelan, tak terdengar. Akhirnya kamipun sampai di lantai dasar. Lift terbuka. Kami keluar lift dan berbelok ke sebelah kanan. Aku mengikuti langkah Saeed, sambil membaca petunjuk arah panah.
Sampailah kami ke Pub, berpintu kaca-kaca. Tidak terlalu banyak orang, tapi kursi-kursi lumayan terisi. Beberapa waiters lalu lalang melayani para tamu. Seorang perempuan berwajah anggun menyanyikan lagu Adelle. Aku mengikuti nyanyiannya. Saeed tersenyum. Kami hanya memesan minuman. Saeed menuju tolilet, membiarkanku seorang diri.
Celullar berdering. Adrian rupanya menelponklu, dia menanyakan keberdaanku. Aku katakan masih di apartemen Saeed, dan bilang padanya kalau aku sekarang sedang berada di pub yang ada di apartemennya. Adrian bilang mau menyusulku, walaupun aku menolak, karena saeed berjanji akan mengantarkanku pulang. Ketika aku masih menerima telpon, Saeed sudah balik lagi, dia memperhatikanku dan berusaha membaca gerakan bibirku.
“Dari siapa, Angelica?”
“Adrian...”.
“Tampaknya dia mengkhawatirkanmu...”. Kata Saeed .
“Ya...Grandma selalu cerewet dengan keberdaanku, mangkanya Adrian suka disuruh menjemputku”.
Aku memakai nama Grandma supaya Saeed tidak banyak bertanya, and it works. Kami ngobrol ngalor ngidul, sambil sesekali bersenandung kecil mengikuti lagu yang dilantunkan penyanyi. Ketika ada tawaran untuk bernyanyi ke depan, Saeed menggamit tanganku. Dia berbisik kepada yang bermain piano. Pemain piano berdiri, dan Saeedpun menggantikan posisi pemain piano itu. Aku menghampiri Saeed, untuk menanyakan lagu yang akan kubawakan.
Dia tak menggubris pertanyaanku, malahan langsung sja memainkan pianonya dengan lincah, terdengar intro “Fallen”, akupun menyanyikan lagu itu. Saeed santai sekali berimprovisasi dengan pianonya, sehingga akupun terbawa aura, dan bernyanyi sangat relax. Semua pengunjung terlihat sangat menikmati penampilanku dengan Saeed. Mereka turut berdendang. Begitu selesai lagu pertama, mereka memintaku untuk kembali bernyanyi. Saeed, membisikanku untuk lebih berimprovisasi lagi, Aku bersemangat, seperti kutemukan sesuatu yang hilang. Akhirnya akupun membawakan tiga buah lagu dengan puas. Aku berteriak kecil karena gembira.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI