“Im serious. You are soooo different”.
“Thank you “. Sahutku sambil menghampirinya.
“You look different, too...”. Balasku.
Sejujurnya aku memujinya, karena memang dia terlihat lebih macho dibanding pas kuliah dulu. Dia atlet Softball yang lumayan terkenal, dan menjadi tim inti kampus. Banyak wanita yang menjadikan Saeed idola. Terutama karena dia berkewargnegraan yang berbeda dengan kebanyakan temanku dulu.
Saeed menatap mataku terpesona, ada kejujuran di sana. Aku mengusapkan tanganku ke wajahnya supaya dia tidak memandangku seperti itu. Kami tergelak.
Kamipun keluar ruangan. Saeed menggamit tanganku. Kami menuju lift. Pub berada di lantai dasar. Di dalam lift, Saeed terus memandangiku. AKu melotot. Dia berbicara pelan, tak terdengar. Akhirnya kamipun sampai di lantai dasar. Lift terbuka. Kami keluar lift dan berbelok ke sebelah kanan. Aku mengikuti langkah Saeed, sambil membaca petunjuk arah panah.
Sampailah kami ke Pub, berpintu kaca-kaca. Tidak terlalu banyak orang, tapi kursi-kursi lumayan terisi. Beberapa waiters lalu lalang melayani para tamu. Seorang perempuan berwajah anggun menyanyikan lagu Adelle. Aku mengikuti nyanyiannya. Saeed tersenyum. Kami hanya memesan minuman. Saeed menuju tolilet, membiarkanku seorang diri.
Celullar berdering. Adrian rupanya menelponklu, dia menanyakan keberdaanku. Aku katakan masih di apartemen Saeed, dan bilang padanya kalau aku sekarang sedang berada di pub yang ada di apartemennya. Adrian bilang mau menyusulku, walaupun aku menolak, karena saeed berjanji akan mengantarkanku pulang. Ketika aku masih menerima telpon, Saeed sudah balik lagi, dia memperhatikanku dan berusaha membaca gerakan bibirku.
“Dari siapa, Angelica?”
“Adrian...”.
“Tampaknya dia mengkhawatirkanmu...”. Kata Saeed .
“Ya...Grandma selalu cerewet dengan keberdaanku, mangkanya Adrian suka disuruh menjemputku”.