Mohon tunggu...
Ernest Rafael
Ernest Rafael Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ironi Rokok: Terlalu Nikmat untuk Dibela?

5 Maret 2016   14:39 Diperbarui: 5 Maret 2016   18:29 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, mari kita mencoba jujur. Berapa banyak perokok aktif yang membuang sampah pada tempatnya? Seberapa sering kita melihat puntung rokok bertebaran di jalanan setiap harinya? Mungkin perokok memiliki pemikiran bahwa puntung rokok hanyalah sampah yang sangat kecil, tapi itu tetaplah sampah yang harus dibuang pada tempatnya dan tentu saja akan menggunung jika dibuang sembarangan terus menerus. 

Fakta-fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah sebegitu nikmatnya rokok untuk dibela. Mungkin memang rokok memberikan pemasukan negara yang sangat besar, tapi apakah itu harga yang pantas dibayar untuk diganti dengan kesehatan diri dan lingkungan? Apakah rokok sebegitu nikmatnya sehingga rela mengorbankan keluarga yang tidak merokok, yang katanya disayangi? 

Saya adalah seorang perokok pasif yang sangat membenci rokok. Tapi saya sendiri tidak ingin dan tidak akan melarang orang di sekitar saya jika memang keinginannya sendiri untuk merokok. Namun saya sangat berhak untuk menghirup udara bersih, yang mungkin juga mewakili harapan yang sama dari para perokok pasif di luar sana.

Saya juga berharap pemerintah untuk tidak hanya memikirkan uang saja. Saya tidak akan naif dan meminta untuk melarang total keberadaan rokok di Indonesia. Yang saya minta adalah ketegasan dari peraturan yang ada, dan menutup lubang-lubang dari peraturan tersebut seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Negara-negara lain seperti Singapura dan Australia sudah menjalankan kebijakan ketat tentang rokok. Jika mereka bisa, mengapa Indonesia tidak? Apakah itu salah satu yang menunjukkan perbedaan besar antara negara maju dan berkembang?

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip kalimat pidato kemenangan Leonardo DiCaprio di ajang Piala Oscar 2016:

“We need to support leaders around the world who do not speak for the big polluters, but who speak for all humanity, for indigenous people of the world, for the billions and billions of underprivileged people out there who would be most affected by this.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun