Mohon tunggu...
Ernest Rafael
Ernest Rafael Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ironi Rokok: Terlalu Nikmat untuk Dibela?

5 Maret 2016   14:39 Diperbarui: 5 Maret 2016   18:29 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rokok adalah salah satu musuh kesehatan yang sangat besar di dunia, termasuk di Indonesia. Dengan ribuan bahan kimia berbahaya yang mengancam kesehatan seperti nikotin, tar, dan karbon monoksida, rokok dapat menimbulkan banyak sekali penyakit seperti kanker, gangguan kehamilan dan impotensi.

Di Indonesia sendiri sebenarnya terdapat hukum yang mengatur rokok, yang tercantum di dalam Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012. Mari kita lihat terlebih dahulu pasal berikut ini:

Pasal 2

(1)  Penyelenggaraan pengamanan penggunaan bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi kesehatan diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. 

Di dalam PP 109 Tahun 2012 sendiri juga ada peraturan yang mengatur periklanan rokok. Namun menurut saya, ada beberapa pasal masih abu-abu dan cukup dipertanyakan ketegasannya.

Yang pertama adalah Pasal 24 ayat 2 yang berbunyi:

“Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap produsen dilarang mencantumkan kata “Light”, “Ultra Light”, “Mild”, “Extra Mild”, “Low Tar”, “Slim”, “Special”, “Full Flavour”, “Premium” atau kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, ataupun kata-kata dengan arti yang sama.”

Kenyataannya, masih banyak brand rokok yang mencantumkan kata-kata yang dilarang dalam Pasal tersebut, seperti rokok yang menggunakan kata-kata “Mild” dan “Lights”.

Apapun alasannya, menurut saya ini tidak ditoleransi. Dengan masih beredarnya rokok-rokok seperti sudah membuat peraturan yang ada menjadi dipertanyakan ketegasannya.

Kemudian ada juga pasal yang mengatur tentang rokok sebagai sponsor suatu acara:

Pasal 36

(1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau yang mensponsori suatu kegiatan lembaga dan/atau perorangan hanya dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. tidak menggunakan nama merek dagang dan logo Produk Tembakau termasuk brand image Produk Tembakau; dan

b. tidak bertujuan untuk mempromosikan Produk Tembakau.

(2) Sponsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk kegiatan lembaga dan/atau perorangan yang diliput media. 

Pasal 37

Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau yang menjadi sponsor dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan hanya dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. tidak menggunakan nama merek dagang dan logo Produk Tembakau termasuk brand image Produk Tembakau; dan

b. tidak bertujuan untuk mempromosikan Produk Tembakau.

Dua pasal di atas seharusnya bisa membatasi produsen rokok mensponsori suatu kegiatan, seperti penayangan siaran pertandingan olah raga baik secara langsung maupun tunda, konser musik, dan sebagainya.

Kenyataannya, cukup banyak produsen rokok yang bermain curang dan tidak menaati dua pasal di atas, misalnya dengan mensponsori suatu konser musik dengan menggunakan ciri-ciri brand image mereka. 

Sebenarnya tidak masalah apabila rokok menjadi sponsor suatu acara. Saya sendiri pun adalah seorang yang suka pergi menonton konser musik, dan mayoritas memang disponsori oleh rokok. Yang menjadi masalah, mayoritas konser musik yang disponsori oleh rokok memberikan keleluasaan bagi para pengunjung yang datang untuk merokok. Lagi-lagi, yang menjadi korban adalah para perokok pasif.

Belum lagi kios-kios yang memajang jelas rokok dan para SPG yang berkeliling untuk menjual rokok. Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tentang rokok ini dipertanyakan ketegasannya.

Dua contoh di atas adalah contoh kecil yang menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah Tahun 2012 ini masih banyak daerah abu-abunya, yang memungkinkan para produsen rokok tersebut bermain curang. Belum lagi Peraturan Daerah yang melarang merokok di tempat umum, namun tetap saja masih banyak tempat-tempat seperti kafe (yang lagi-lagi disponsori oleh rokok) berisi asap rokok yang tebal.

Ada satu hal yang menarik bagi saya. Dikatakan oleh Susiwijono Moegiarso, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Kementerian Keuangan (dikutip dari Maria Yuniar, 2014, https://m.tempo.co/read/news/2014/03/24/090564806/rokok-sumbang-penerimaan-cukai-terbanyak), rokok masih menjadi salah satu yang mendominasi penerimaan di sektor cukai. Penerimaan cukai yang didapat per bulan Februari 2014 sebesar Rp 12,9 triliun, 98 persen berasal dari hasil tembakau. Angka yang sangat besar.

Dari sini, tidak aneh jika banyak pemikiran yang mengatakan bahwa ada satu ‘permainan’ yang dilakukan pemerintah. 98 persen dari Rp 12,9 triliun adalah pemasukan yang sangat besar, tentu sayang untuk dilewatkan.

Di sisi lain, sudah banyak desakan publik kepada pemerintah untuk memperketat regulasi rokok di Indonesia. Alhasil, pemerintah pun membuat peraturan tentang rokok, namun dapat ditemukan banyak sekali lubang seperti yang sudah dijelaskan di atas. 

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah pantas rokok sedemikian dibela? Berikut ini adalah beberapa fakta tentang rokok yang berbahaya, yang didapat dari website World Health Organization (WHO):

1.    Rokok merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di dunia, yang membunuh 6 juta manusia setiap tahunnya. Lebih dari 5 juta kematian disebabkan oleh merokok aktif, sedangkan lebih dari 600.000 kematian disebabkan oleh merokok pasif.

2.    Tidak ada jarak yang aman bagi perokok pasif. Merokok pasif bagi orang dewasa dapat menyebabkan penyakit jantung, pembuluh darah dan pernafasan yang serius, termasuk penyakit jantung coroner dan kanker paru-paru. Bahkan untuk bayi, dapat menyebabkan kematian mendadak.

3.    Di tahun 2004, 28% kematian karena merokok pasif berasal dari kalangan anak-anak. Padahal hampir separuh anak-anak di dunia menghirup udara yang sudah terkontaminasi asap rokok di tempat umum.

4.    Hampir 80% dari 1 milyar perokok di dunia hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Belum lagi kenyataan bahwa rokok sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Dalam sebatang rokok terkandung zat-zat penyebab global warming, salah satunya adalah karbon monoksida (http://www.lung.org/stop-smoking/smoking-facts/whats-in-a-cigarette.html?referrer=https://www.google.co.id/).

Selain itu, mari kita mencoba jujur. Berapa banyak perokok aktif yang membuang sampah pada tempatnya? Seberapa sering kita melihat puntung rokok bertebaran di jalanan setiap harinya? Mungkin perokok memiliki pemikiran bahwa puntung rokok hanyalah sampah yang sangat kecil, tapi itu tetaplah sampah yang harus dibuang pada tempatnya dan tentu saja akan menggunung jika dibuang sembarangan terus menerus. 

Fakta-fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah sebegitu nikmatnya rokok untuk dibela. Mungkin memang rokok memberikan pemasukan negara yang sangat besar, tapi apakah itu harga yang pantas dibayar untuk diganti dengan kesehatan diri dan lingkungan? Apakah rokok sebegitu nikmatnya sehingga rela mengorbankan keluarga yang tidak merokok, yang katanya disayangi? 

Saya adalah seorang perokok pasif yang sangat membenci rokok. Tapi saya sendiri tidak ingin dan tidak akan melarang orang di sekitar saya jika memang keinginannya sendiri untuk merokok. Namun saya sangat berhak untuk menghirup udara bersih, yang mungkin juga mewakili harapan yang sama dari para perokok pasif di luar sana.

Saya juga berharap pemerintah untuk tidak hanya memikirkan uang saja. Saya tidak akan naif dan meminta untuk melarang total keberadaan rokok di Indonesia. Yang saya minta adalah ketegasan dari peraturan yang ada, dan menutup lubang-lubang dari peraturan tersebut seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Negara-negara lain seperti Singapura dan Australia sudah menjalankan kebijakan ketat tentang rokok. Jika mereka bisa, mengapa Indonesia tidak? Apakah itu salah satu yang menunjukkan perbedaan besar antara negara maju dan berkembang?

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip kalimat pidato kemenangan Leonardo DiCaprio di ajang Piala Oscar 2016:

“We need to support leaders around the world who do not speak for the big polluters, but who speak for all humanity, for indigenous people of the world, for the billions and billions of underprivileged people out there who would be most affected by this.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun