politik lokal yang dipantik oleh pasangan calon Muhammad Sarif-Moch Noer Alim Qalbi karena menolak kemenangan pasangan calon Paris Yasir-Islam Iskandar berdasarkan hasil Rapat Pleno Terbuka Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jeneponto terus menggulirkan obrolan susulan bahkan sindiran, celaan hingga caci maki bertubi-tubi.
Gonjang-ganjing duniaBeberapa hari lalu sampai muncul aksi pendudukan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang ditengarai sedang "bermain mata" dan ngeutak-atik antara oknum petugas Bawaslu dengan pihak lawan, dari paslon yang lain.
Massa pendukung dengan tagline PASMI (Peduli, Amanah, Santun, Merakyat, Inovatif) dari paslon bupati dan wakil bupati nomor urut 2 (dua) Paris Yasir-Islam Iskandar segera melakukan aksi demo di sekitaran gedung Bawaslu Kabupaten Jeneponto.Â
Pihak pemenang waspada, bukan?
Saking militannya, sampai-sampai sebagian massa PASMI (sstt ..., off the record, siapa mereka?) bermalam sekian hari di sana. Mereka tak kenal lelah dan berani menghadapi bahaya.
Bayangkan, seorang oknum pegawai Bawaslu terpergok akan "mencoleng" surat suara. Sontak massa PASMI berusaha mengepung dan mengamankan dari tangan jahil.
Saya agak sulit mengikuti aksi-aksi massa begitu dahsyat dan kritis. Namun, sebagai orang yang cukup lama terlibat dalam relawan politik dan gerakan pemenangan paslon bupati dan wakil bupati, terus terang saya sebagai pendukung PASMI ingin bilang kepada para kawula muda: jika Anda ingin merahi mimpi sebagai pemimpin di daerah ini, tak usah sungkan-sungkan untuk tampil ke depan.Â
Yakinlah, bro!
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dua sisi dalam mata uang yang sama bergambar kegembiraan harus diimbangi dengan gambaran menelan "pil pahit" alias ekspresi ketidakgembiraan.
Baru saja saya melihat wajah-wajah "kasihan" dan suasana "mendung" menyelimuti sebagian dari pihak yang kalah. Saya nyaris terjebak dengan kegembiraan. Rupanya, pihak lawan yang kalah punya seribu akal-akalan.
Secara subyektif, saya sadar, beberapa kolega malahan salah satu unsur pimpinan di kantor turut menahan ketidakgembiraan. Video dan status di Facebook, misalnya, tidak lebih dari komentar orang kalah. Sebagian teman berbeda pilihan politik berjalan dengan langkah gontai seakan mengangkut beban ukuran jumbo di kepalanya. Apa boleh buat. Menang dan kalah adalah hal biasa.
Sebaliknya, paslon yang lain tidak menerima kekalahan. Pokoknya, mereka pun melakukan aksi tandingan.
Di sisi belakang salah satu beban itu, tertancap sepotong siasat dari aktor utama pihak yang kalah (sodara-sodara PASMI lebih tahu, siapa pihak yang kalah?), bernada aneh: "Baiklah, celebration of victory-mu, kawan. Masih ada cara lain. Tunggu tanggal mainnya," kata pihak yang kalah.
***
Memerhatikannya, suasana batin saya antara kasihan campur ngakak.
Kasihan, karena terbayang wajah-wajah kecut para pecundang itu ketika mereka memandangi semacam magic number, 'angka ajaib' paslon nomor 2, Paris Yasir-Islam Iskandar sebesar 89.147 atau 42,06 persen suara, yang bikin "masuk angin" dan tak terkipas-kipas paslon nomor 3, Muhammad Sarif-Moch Noer Alim Qalbi dengan merahi 41,56 persen (88.083 suara). Ngakak, karena Tim Pemenangan, simpatisan, dan para pendukung PASMI lainnya mendadak menjadi terhakimi pula dalam petaruhan politik ngawur terutama usai nyoblos.
"Tambai sambalu'. Gammara'nu." (Tambah lagi. Lu keren!) Wkwk.
Mulanya, ingatan saya selama hidup di Jeneponto. Segera saya terkenang nasib daerah sendiri beberapa tahun silam. Ketika mulai menikmati yang namanya tukang ketik hingga menjelajahi pelosok lewat kegiatan monitoring di lapangan, saya bekerja sebagai staf ecek-ecek. Yang itu patut disyukuri. Setiap menjelang Pilkada, situasi yang saya hadapi nyaris tak beda seperti "pesta" luar biasa. Ada proses lamaran calon bupati dan wakil bupati. Disiapkan tenda dan uhuy acara makan.
Sudah lama tersimpan di ingatan kalau "politik belah bambu" sangat kental di Kabupaten Jeneponto. Siapa yang mulai, kita tidak tahu. Sudahlah. Kita abaikan saja.
Entahlah, ruangan kantor tempat saya berhikmat tak henti ditumpahi data-data yang datang dan pergi. Di dalam pelosok belantara PC (komputer personal) di ruangan saya saja, terdapat tumpukan data yang harus ditindaklanjuti melalui program dan kegiatan seakan tidak ada hentinya.
Di sela-sela pekerjaan, kita luangkan waktu untuk berdiskusi apa saja. Daripada pekerjaan dipikirkan tak ada tanda-tanda pekerjaan akan selesai, mending kita tidak ketinggalan perkembangan proses sengketa Pilkada. Mudah-mudahan gugatan dari pihak yang kalah tertolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Apa hubungannya? Saya terkekeh sendiri.
Sekitar dua bulan sebelum hari H Pilkada, seorang teman kantor nyaris setiap pagi lalu-lalang di ruangan kerja. Dia senang memancing berdiskusi dengan spontan, meminta saya untuk menjawab pertanyaannya. Man, siapa calon bupati dan wakil bupati Anda? Siapa kira-kira yang unggul? Perlahan-lahan saya jawab. PASMI dong.
Akhirnya, perbincangan berumur singkat. Kalau tidak, teman akan semakin mendesak, penasaran akan semakin banyak yang menebak. Akibatnya, terjawab sudah.
Tak terhindarkan, saya harus meyakinkan kepada teman-teman sekantoran. Bahwa setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) itu sudah punya pilihan politik. Bisik-bisik dan ocehan oknum teman-teman sekantoran saya dengar langsung. Tapi, saya senyum saja. Soal siapa yang dipilih terpulang dari masing-masing pribadi. Saya pilih Paris Yasir-Islam Iskandar karena dipikir masak-masak.Â
Tentu saja, setiap paslon punya nilai plus-minus. Saya dan Anda  harus tetap jalan mengantarkan kemenangan dengan masing-masing pilihan politik. Persetan dengan umpatan hingga hinaan, saya santai saja seperti angin berlalu.
Pihak yang berbeda pilihan dengan saya biasa-biasa saja. Saling tegur sapa.
Pernah rasanya saya ingin berdiskusi, ternyata batal lantaran wanti-wanti menghindari salah sangka dan mengancam silaturahim. Toh, berjuang untuk memenangkan paslonnya itu hak pribadi ternyata tak beda dengan menjaga netralitas atau tidak (sebenarnya ini pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan tentang ASN).
Nah, sejak lama saya ingin punya cara berpikir yang dianggap "gila." Satu hari, tiba-tiba tertangkap di mata saya sesuatu di sela tumpukan masalah daerah, yaitu rendahnya ketidaktercapaian indikator makro daerah seperti angka kemiskinan yang relatif tinggi pada urutan kedua paling bawah se-Sulawesi Selatan. Begitu pula, Indeks Pembangunan Manusia masih di peringkat bawah.
Aduh, di dalam data itu ada di atas meja kecil dan ternyata kurang respon dari pengambil kebijakan. Lalu, tergambar sosok mantan Wakil Bupati Jeneponto, bapak Paris Yasir. Orangnya dikenal sangat santun, merakyat, suka blusukan hingga peduli dengan nasib masyarakat.
Selain itu, karena tugasnya dulu saat menjabat Wakil Bupati, maka bapak Paris Yasir kerap turun lapangan. Dia terlibat langsung bersama masyarakat.
Dari titik ini, dia paling pas menjadi pemimpin daerah karena salah satu alasannya, dia tahu masalah dan ingin membangun daerah. Di antara sekian tokoh, cuma bapak Paris Yasir punya modal sosial yang besar. Apa buktinya sodara? Sebabnya, sedikit-sedikit jika terjadi musibah bencana alam seperti banjir bandang tahun 2019, dia gercep, gerak cepat turun ke lapangan. Jika ada berduka, dia cepat melayatnya.
Demikian pula, jika ada pesta atau hajatan lainnya, dia mengusahakan hadir di tempat, diundang atau tidak akan datang. Itulah kenapa banyak orang yang memilihnya sebagai calon Bupati Jeneponto. Terlepas dari tidak ada dukungan dari pihak lain, itu soal lain. Begitulah gambaran simpel saya sebagai alasan untuk memilih calon pemimpin.
Spontan sebongkah imajinasi merangsek masuk ke kepala. Saya bayangkan, di salah satu sudut alun-alun Passamaturukang atau Taman Turatea, percaya ada seorang anak muda gagah seumuran anak saya sedang menanti-nanti kado kemenangan Paris Yasir-Islam Iskandar.
Dia sendiri menunggunya sebagai kejutan, sebab bapak-ibunya sudah menjadi bagian dari Tim Pemenangan atau jaringan pendukung PASMI. Tidak, tidak. Untungnya, dua bulan, empat pekan, sepekan, lima hari, dan dua hari menjelang Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Jeneponto, Paris Yasir-Islam Iskandar, anak-anak muda bukan main bahagianya saat tokoh pilihannya keluar sebagai pemenang pun walau tidak mendapat kado kemenangan.Â
Hatinya gembira. Orang tua gadis kecil dan anak muda lainnya itu turut bahagia.
Hari-hari yang dinantikan oleh sekian puluh ribu bahkan ratusan ribu pendukung. Di sudut kamar, si kecil menahan rasa suka cita sambil menengadahkan wajahnya ke luar jendela. Hari istimewanya akan dilengkapi kado kemenangan berupa acara Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Jeneponto, Paris Yasir-Islam Iskandar yang sudah dia harapkan sekian lama.
Terbayang pula, ada orang miskin di daerah kita tengah berharap menjadi sejahtera setelah di hari kemenangan. Segera jeritan pilu wong cilik berganti menjadi senyum bahagia saat Bupati dan Wakil Bupati Jeneponto yang terpilih, yaitu Paris Yasir-Islam Iskandar menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan daerah.
Ah, imajinasiku terbang melayang. Itu semua memang sekadar imajinasi.Â
Sesungguhnya imajinasi bukan ruang kosong tanpa dasar. Gara-gara imajinasi yang lebih kuat itulah membuat kalkulasi dari lawan politik bisa terkecoh. Bahwa saya rela berimajinasi lembur sampai saya tertidur sendiri, tanpa paksaan sebagaimana saya memilih tokoh pemimpin Paris Yasir-Islam Iskandar tanpa tekanan dari pihak manapun.
Tekanan hidup yang keras sebelum nyoblos bisa tertanggulangi dengan kemenangan paslon nomor 2 (dua), Paris Yasir-Islam Iskandar. Saya tidak hendak menyampaikan bahwa seharusnya para pihak yang kalah di Pilkada punya imajinasi melow yang sama dengan pihak pemenang. Bukan begitu.
Tetapi, saya juga yakin, mereka akan belajar mengapa paslon Bupati dan Wakil Bupati Jeneponto, Paris Yasir-Islam Iskandar keluar sebagai pemenang di laga Pilkada Kabupaten Jeneponto, 2024? Keras di tahapan-tahapan Pilkada terutama di hari-hari menjelang dan pasca nyoblos. Baik tekanan dari bosnya, misalnya, maupun tekanan perasaan karena tidak tega pihak pemenang "dirujak" (maaf, meminjam istilah netizen, he he) oleh pihak yang kalah.
Di sisi lain, sebenarnya para pemenang Pilkada itu tidak semuanya akan harap-harap cemas saat orang tua "pedagang doktrin politik" tentang sejarah masa lalu sampai kepada generasi muda. Pasti banyak di antaranya yang sekadar latah, manggut-manggut atau membeo pada bahasa lisan dari orang tua sudah amblor dengan fakta kemenangan Paris Yasir, sosok tokoh wilayah Bangkala.Â
Oh, begitu ya?
Saya masih ingat, selain beberapa pembicaraan orang lain, saya pernah mendengar sendiri di atas kendaraan roda empat dalam perjalanan menuju obyek kegiatan. Di sana, terekam soal calon dan terpilih Bupati Jeneponto hasil riwayat sejarah masa lalu "mengkapling" wilayah dari "atas" dan bukan wilayah dari "bawah." Itu kan mitos, begitu suara dalam benak saya berkecamuk.
Singkat kata, tidak ada sejarahnya orang Bangkala jadi Bupati Jeneponto. Siapa bilang? Serasial atau serasis itukah Jeneponto?
Nyatanya, dalam Facebook muncul umpan balik tentang mitos politik. Njleb. Postingan saya di FB tentang "Runtuhnya Mitos Politik Lama" malah disahuti dan bikin kepo seorang sohib. Dia adalah ustadz. Maka, lahirlah tulisan keren dari "Mullah" beken nyundul langit.Â
Yuk, simak judul tulisan Ustadz Jamal Panrita: Runtuhnya Mitos Politik Lama: "Bangkala Menulis Sejarah  Baru." Beberapa teman mengomentari tulisan sohib saya di akun FB-nya.
Jangan-jangan muncul lagi istilah: "Turatea Jeneponto milik siapa? Kira-kira begitu ustadz," kataku. "Bisa jadi," balas ustadz itu di FB.
Masalahnya, kita belum buktikan. Para pejuang yang ingin melihat masa depan daerah yang gemilang tidak akan tersandera oleh mitos politik lama. Merekan tidak akan tahu bahwa isinya sudah teruji dan takdir akan berbicara lain. Bisa jadi mereka mengira itu bualan belaka. Segera disusul imajinasi di kepala kita sebagai pendukung tokoh pemimpin tentang kesiapan dan totalitas perjuangan menuju impian jadi kenyataan.
Sementara itu, di sini, yang merancang strategi pemenangan santai-santai saja, tetapi serius.Â
Tangguh, kan?
Sungguh tidak aneh kalau nanti para pemenang itu membuka lembaran baru, di simpang empat paling ramai, "Sudahi dulu konflik masa lalu. Marilah kita buka lembaran baru!" Masyarakat Jeneponto juga butuh hiburan, bukan konflik melulu.
Tungguh. Kita baru saja memulai. Selamat bergembira. Jangan pernah lupa, perjuangan Anda bisa jadi tidak mampu dibayar mahal dengan pengorbanan Anda sendiri. Kemenangan dan perjuangan Anda sesungguhnya tidak bisa dinilai dengan duit dan materi lainnya. Poinnya, tentang mitos politik sekaligus gagasan mundur sudah runtuh. Begitulah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H