Pagi jelang siang, saya bersama teman setim, sebut saja Erwin Ilyas mulai menaruh curiga pada gejala cuaca panas. "Bung, apa tidak berminat jadi ahli nujum di bidang percuacaan?" "Ente, ada-ada saja." Tanyaku membatin. Sudahlah.
Nyatanya, lelaki perkasa mana yang cepat menyerah dengan keadaan? Lebai banget!Â
Sekarang, belum seberapa, tim monitoring sudah angkat tangan. Nehi, nehi, tidak, tidak. Jika sudah bergulat dengan panas-dingin di lapangan, tidak ada kata pantang menyerah. Suit-suit!
Nah, begitu sodara. Itu baru lelaki! Eheemm.
Benar-benar kami sudah di lokasi. Tak peduli cuaca itu dan ini, kami mencoba menapaki jalan kecil. Didampingi oleh Sekretaris Kelurahan Biringkassi dan Kepala Lingkungan setempat, saya menghampiri dan berhenti di sebuah rumah panggung.
Dari titik ini, kami ngobrol santai seraya diselipkan pertanyaan pada tuan rumah. Siapa nama kepala rumah tangga, berapa anggota keluarga hingga apa mata pencahariannya?
Seputar pertanyaan yang ketiga. Rupanya, mata pencaharian kepala rumah tangga sebagai nelayan. Ya, begitulah.
Sekilas info, lokasi kegiatan monitoring kali ini berada di kawasan kumuh daerah pesisir. Sekitar dua puluh hingga tiga puluh rumah menempati daerah pesisir.
Singkat kata, untuk mewakili kepala rumah tangga, kami menemui isteri Arfandi Daeng Situju. Segera kami berpose ria dengan mengambil gambar persis di depan rumahnya. Siap! Satu, dua, tiga!
Aba-aba dari tukang foto dadakan, yang diminta pada salah satu warga lewat kamera ponsel saya. Dua kali kami dijepret.
Di lingkungan yang sama, kami beranjak untuk memonitoring kondisi rumah yang tercantol di desil 1 (satu) rumah tangga miskin ekstrem. Agar lebih gercep, gerak cepat, saya dibonceng pakai motor oleh Kepala Lingkungan, yang juga tidak kalah lincah meluncur ke lokasi lainnya. Di luar dugaan, rumah yang kami kunjungi di lapangan rupanya berpenampilan jauh dari kondisi ekstrem.