Sekitar tiga bulan lalu, kosa kata kegilaan itu muncul. Gara-gara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ingin mengutak-atik aturan main dengan mencoba merevisi Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah pasca-terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) justeru menjadi rangsangan kegilaan.
“Nah ini kegilaan yang perlu kita luruskan,” kata Bivitri Susanti, seorang pakar hukum tata negara.
Maret 2024, kegilaan dipicu oleh adanya dugaan penyimpangan Pemilihan Presiden 2024. Ujaran tentang kegilaan meluncur saat Ketua Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, membacakan permohonan sengketa dalam sidang perdana di Mahkamah Konstitusi (MK). Apa katanya?
“Cukup 5 orang hakim konstitusi yang berani menentang tirani demi konstitusi untuk menghentikan kegilaan ini.”
Kedua kalimat atau kasus itu saja menjadi gambaran awal, betapa pembicaraan tentang kegilaan tidak dipisahkan dari kehidupan politik di tanah air.
Marilah kita membicarakan sejenak tentang kegilaan dalam persfektif yang lain. Kegilaan ternyata bisa menyibak “setan pikiran.” Kemudian, mimpi sebagai ilusi datang kembali. Mimpi dari Rene Descartes memiliki syarat, yaitu ‘keraguan’. Mimpi itu tidak pasti atau jelas.
Seberapa besar nyali pikiran kita dibangkitkan dari kegilaan?
Ia menjadi musuh, tetapi ia bukan dari luar dirinya. Descartes menolak representasi di luar pikiran. Kecuali ‘setan pikiran’ yang menggoda Descartes. Dia sepenuhnya memiliki peran besar untuk membangkitkan kegilaan menantang indera (tungku, api dan asapnya ditemukan di bumi).
Terlalu lama kita menjauhi di luar diri, maka waspadailah tirani bercokol di dalam dirinya! Khayalan menari-nari di sekeliling kemajuan “tubuh baru”; ia menggantikan rasa haus dari tubuh berubah menjadi haus darah: darah saudaranya sendiri. Satu hal yang belum berubah, bahwa kita menggunakan rambu-rambu kegilaan?
Pikirkanlah rambu-rambu lain! Kita berutang budi kepada spesies kegilaan atas keakuannya sendiri daripada menjadi pemamah biak dan benalu keabadian bersama dengan nabi-nabi gadungan.
Ataukah selama ini kita hanya mampu berbisik di tengah musuh dalam selimut?
Jejak-Jejak
Bagi subyek-subyek yang berkata ‘ya’ pada firasat yang telah tercemar melalui pencernaan, yang mempertuankan gejala sensasi justeru tidak pernah puas atas apa-apa yang ada dalam perut.
Selama ini, kegilaan pada persoalan perut yang tidak terpenuhi. Sedangkan, musik yang diiringi oleh jenis obat penenang sangat membantu membunuh pikiran; suatu jiwa yang rapuh di hadapan realitas “kerumunan” massa penonton.
Wahai, Descartes! “Anda jangan begitu dong.” “Anda benar-benar berbeda dengan tubuh sebagai gejala-gejala yang jelas dan nyata dari indera atau pengalaman.” Dibandingkan dengan lidah, maka warna, perut, dan bau adalah alasan langsung menjadikan manusia peka. Tetapi, ia juga diidentifikasi menjadi manipulasi semakin mendekat pada retakan-retakan.
Adakah jenis tirani, saat despot atau segala bentuk kezaliman di zaman yang telah berubah? Betapa anehnya tema ini! “Anda harus patuh, patuh pada bukan dirimu, dan selama kantuk. Jika Anda mengatakan ‘tidak’ atau ‘menolak’ berarti tanda akhir hukumannya dan kehilangan nilai mulia.”
Mungkin Anda berpikir bahwa mekanisme-mekanisme pengendalian hasrat bisa mengiringi kegilaan, yang berakhir pada pembatasan-pembatasan ekspresi: mulia, agung, pusat, tinggi, dan di atas.
Pada titik terjauh, pikiran tanpa kegilaan akan berubah menjadi makhluk lemah. Mereka digantikan dengan pikiran yang sangat cermat melihat kondisi, jika tidak dikatakan gegabah.
Kegilaan menolak frasa: “Aku sadar, Aku tidak tahu apa-apa,” “Aku tidak dirantai dengan jiwa dan tubuh.” Dunia yang kelihatan dari dalam adalah dunia yang penuh hiruk-pikuk yang digambarkan secara gila-gilaan. Mengetahui tanda kegilaan di tengah kerawanan.
Lemparkanlah rasionalisasi manusia!
Bukankah petuah-petuah lama mengatakan, bahwa kejahatan dan penindasan berawal dari kegilaan yang menyimpang? Masihkah terjadi, bahwa setiap penyimpangan ibarat orang kentuk: berbau tetapi tidak kelihatan di sekeliling tubuh kita?
Bayangkan, silogisme menuntun kita untuk menggunakan logika formal meskipun itu telah lama dikembangkan oleh Aristoteles atau dialektika Plato sebagai pemikiran klasik.
Misalnya, seorang menyebutkan dirinya berinisial A adalah manusia berakal (S), jadi A bebas (P); semua manusia cinta kebenaran, si A adalah manusia, jadi dia cinta kebenaran; atau sebaliknya semua manusia itu baik, si A adalah ‘Tuan’, jadi si A itu jahat, si ‘Tuan’ adalah jahat, jadi si ‘Budak’ adalah baik. Kesimpulan pertama tampak baik atau positif, tetapi kedua merupakan kesimpulan berasal dari pemahaman negatif. Keseluruhan dari negatif merupakan dasar dari nilai hakiki dan sisi positif merupakan bayangan atau pemantulan dari keseluruhan nilai yang telah mengalami penegasian. Sesungguhnya, negasi yang kritis adalah sifat dan nilai pembalikan dirinya.
Dalam pemikiran dialektika (pengekor Plato), sisi kegilaan mesti lebih memahami sesuatu dan menari-nari di dalam pikirannya: ‘Wujud’; ‘Non Wujud’; ‘Pergerakan’; ‘Tunggal dan Pluralitas’; ‘Pertentangan’; dan ‘Identitas’. Kita mengambil sedikit contoh logika klasik dari pemikiran dialektika yang dapat dirumuskan dalam bentuk proposisi: “x adalah y” yang dianggapnya sebagai proposisi dialektika sekaligus bibit-bibit lemah dari ide.
Memang betul, proposisi dialektis sudah ada dalam ide. Selebihnya, ia dipancing untuk keluar menampakkan dirinya sebagai wujud yang berbeda di tengah realitas.
Sebelum kegilaan, diam bukan berarti tanda ‘penerimaan’ (ya) untuk membekukan atribut ‘mulia’ atau ‘tinggi’. Ia melebihinya dari sekedar bentuk perlawanan dengan tanda diam dapat berarti kata ‘menolak‘ (tidak). Tidak ada ‘keadaan pikiran’ dari jenis mesin, tetapi diskursus.
Apabila seseorang digambarkan dalam proposisi: ‘budak’ adalah ‘pinggiran’ dan ‘hina’; ‘Tuan’ adalah ‘pusat’ dan ‘mulia’ tidak mengurangi nilai dari hukum identitasnya. Sebaliknya, dalam pertentangan: ‘Logos’ adalah ‘Tiran’; ‘Nalar’ bukan ‘Gelap’. Jadi, ia ada dalam ide. Saya melihat, bahwa “logika terbalik” adalah bagian dari kegilaan yang lebih halus.
Misalnya, selera kuasa di mana tembok-tembok batu dan jeruji penjara, ruang interogasi tidak lagi menjadi saksi bisu, tetapi tatanan logika proteslah yang menggoreskan ke dalam jiwa. Rezim kebenaran dari siapa saja, dimana tempat selubung dimainkan manipulasi bahasa sebuah kepentingan berasal dari kesadaran palsu.
Dalam rezim kebenaran, tubuh adalah pelipatgandaan kesenangan sekaligus pelipatgandaan kegilaan. Ia menghaluskan perdagangan kekerasan melalui teknik-teknik pembungkaman atau penjinakan dari mesin kuasa, sehingga efek-efek kuasa bisa dialirkan sampai ke pelosok pikiran.
Di situlah momentum kegilaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dirinya dan meningkatkan kewaspadaan atas bentuk-bentuk pengawasan berasal dari dalam pengawasan dirinya sendiri.
Semakin kuat dan luas jaringan mekanisme-mekanisme kuasa, terus, semakin penting pula diketahui sebuah ketelanjangan di balik kegilaan. Ia bukan saja menggunakan teknik atau strategi yang nyata dan kasar, tetapi juga sesuatu yang tersembunyi.
Pada satu sisi, jenis logika pertukaran mengidentifikasi kemana ia bergerak. Di sisi lain, ia bisa mengetahui sejauh mana identifikasi diri benar-benar dialami. Karena itu, relasi-relasi kuasa dengan sangat lihai menggunakan strategi-strategi pembujukan lewat kesediaan ‘melayani’. Ini dalam kaitannya dengan pikiran yang ada di kepala orang yang memegang otoritas.
Belum lagi, pada posisi ‘yang dikuasai’. Pikiran seseorang terperangkap dalam keserentakan diawali oleh pilihan “sebagian,” “semua” atau “tidak sama sekali” karena kegilaan dienyahkan. Untuk yang gemar merenung, berpikir, menghayati, bangkit, bergerak, dan mengubah dunianya.
Wah, kegilaan adalah mekanisme hasrat. Mengapa? Ada mekanisme-mekanisme hasrat untuk berkuasa yang tersembunyi.
Sementara itu, nilai tertinggi, seperti ‘mulia’, ‘tinggi’, ‘pusat’, dan ‘atas’. Sejauh ini, nilai negatif berarti kesatuan nilai positif dari keseluruhan nilai terpantul melalui nilai asal. Nilai dari seluruh nilai hanya berlandaskan “primordial” di balik pikiran. Nilai redup ketika setiap tujuan manusia ditegaskan; berarti pikiran bukan lagi menjadi konsekuensi logis yang diciptakannya, melainkan berasal dari kekuatan tubuh.
Nyatanya, ‘penciptaan diri’ merupakan hasil dari ‘pembacaan diri’. Ia akan dibuntuti oleh ‘bayangan setan dekil’ melalui kesadaran. Nah, kegilaan tidak tergantung pada mnenomic, yaitu daya ingat kita. Orang yang melihat dalam kegilaan menjadi ingatan manis dalam babakan demi babakan kehidupan. Dari pikiran ke hasrat dalam kegilaan.
Dalam ingatan, bahwa manusia lebih sering diciptakan oleh kondisi tertentu. Melalui ingatan tentang topeng-topeng selalu ada di dalam dan di luar diri kita. Manusia dan bayangan tidak bisa dibedakan, ia hanya sebuah ingatan yang terbendakan.
Siapakah yang menyukai topeng atau bayangan dari mimpi?
Kegilaan dan Tidak Terpikirkan
Bukankah ini tantangan hidup, godaan lebih kuat dari pikiran? Sampai pada filsuf baru: Derrida atau Foucault masih perlu mencuri waktu untuk memaafkan bahaya kemarahan dan balas dendam.
Begitulah sesuatu yang tidak terpikirkan.
Sekarang, perhitungan tentang luas, panjang, kedalaman, dan ketinggian ditafsirkan melalui dunia maya. Kemudian, perubahan bentuk luar saja yang dapat memantulkan citra, dimana pikiran mendekati kegilaan. Anda bisa ragu bahkan nyinyir, bahwa kedalaman, ketinggian, luas, dan panjang dalam kegilaan yang berbeda.
Sedikit saja terpeleset (bahkan kita bermain dengan dunia maya terjebak dalam hubungan dominasi: tubuh yang menguasai dan dikuasai)! Betapa uniknya kerawanan pikiran! Terbuka bagi kita untuk mengarahkan mata pada kekaguman ini, maka kita akan dibuat tersengat-sengat selamanya!
Lihatlah bagaimana kita membuat segala sesuatu menjadi pucat, kalut, bersinar, dan bergulat kembali! Bukankah kita cukup lihai untuk memberikan pikiran pada kita menuju dunia artifisial? Sedangkan, pikiran picik memberikan retakan yang parah pada dirinya dan memantik kelihaian pada pikiran, dalam kekeliruan!
Lebih jauh lagi, kegilaan sebagai kemampuan tentang ‘ekstra-birahi’. Saya kira, kegilaan menghidupkan ‘intelektual yang payah dan lunglai’. Sehingga kegilaan bisa mengisi pemikiran subversif paling menggoda dan berbahaya.
Setelah Descartes, masih ada beberapa penggagas diri lain yang berpikir bahwa di sana ada sejumlah “kepastian langsung." Misalnya, "Aku berpikir berarti Aku” sebagai teks atau kosa kata Descartes. Bahwa “Aku melihat cahaya dalam keadaan terjaga”— seakan-akan persepsi mampu menangkap obyeknya secara murni, seperti ‘sesuatu yang bukan dalam dirinnya’ tanpa adanya bagian-bagian subyek ataupun obyek.
Akan tetapi, jiwa intelektual akan mengulanginya seratus kali lagi bahwa ‘kepastian langsung’, seperti muncul sebuah ‘daya pemusnah kemapanan’ dan sesuatu dalam dirinya bergejolak. Ia memuat suatu pengakuan akan contradictio in adjecto paling samar dan cerah kembali: sudah saatnya orang-orang membebaskan dirinya dari kata-kata dan setan pikiran!
Orang-orang yang mulai berpikir bahwa persepsi berarti mengetahui sampai akhir; sampai mereka menipu dirinya sendiri. Seorang filsuf harus berbicara pada dirinya sendiri. Jika “Aku” menganalisis proses yang diekspresikan melalui proposisi “Aku berpikir,” kita akan menemukan serangkaian penegasan yang cukup pelik.
Contohnya, “Aku adalah yang berpikir,” titik dimana kegilaan menandai sesuatu melebihi ‘pikiran’. "Aku berpikir" berarti suatu tindakan berbarengan dengan akibat kegilaan berubah menjadi penyebab. Kegilaan adalah yang tidak atau terpikirkan secara berlebihan.
Akhirnya, bahwa kita sekarang memahami dengan jelas apa yang dimaksud sebagai subyek berpikir. Bahwa “Aku” ‘mengetahui’ apa yang dimaksud dengan berpikir untuk tanda kegilaan. Karena “Aku” belum memutuskannya bagi diriku sendiri, bagaimana “Aku” bisa menentukan bahwa apa yang terjadi bukan tamatnya tubuh, tetapi mulainya kegilaan.
Pendeknya, dalam kegilaan yang mengatakan “Aku berpikir” mengasumsikan bahwa aku membandingkan ‘keadaanku sekarang’ dengan ‘keadaan-keadaan lain’ yang aku alami dalam diriku sendiri serta yang membentuknya. Karena adanya referensi kembali pada “pengetahuan” tentang “waktu” dan “ruang,” maka setidaknya bagiku, tidak ada yang disebut lagi sebagai “kepastian” langsung di sini.
Lalu, sebagai ganti ‘kepastian langsung’ yang banyak diyakini orang-orang awam, seorang filsuf memperoleh serangkaian pertanyaan metafisik dan ini benar-benar merupakan pertanyaan ‘kaum intelektual terhadap kesadaran’.
Pertanyaannya, dari mana asalnya konsep berpikirku? Mengapa “Aku” percaya pada relasi antara sebab dan akibat dari kondisi apa? Apa yang memberikan hak padaku untuk berkata tentang “Aku”, dan selain itu, “Aku sebagai penggelisah” dan terlebih lagi, “kegilaan sebagai penyebab pikiran?”
Orang yang berani menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisika seperti ini secara langsung dengan mengacu pada mesin tanda kegilaan yang nyata; (seperti orang melihat dirinya di dalam kekosongan: ‘Aku berpikir dan aku tahu bahwa setidaknya benar, nyata, pasti’) akan dihadapkan pada sebuah senyuman dan dua tanda tanya oleh para filsuf atau penggemar intelek saat ini.
“Tuanku,” kata sang filsuf. “Apakah kaum intelektual menggumuli seluruh atau sebagian saja yang dikuasai bidang kehidupan?” “Tidak mungkin engkau tidak salah.” Tetapi, mengapa kita bersikeras tentang kebenaran yang telah lama ditunggu kepicikannya?
Dalam kaitannya dengan takhyul para mantik atau ahli logika, bahwa sebuah pemikiran datang apabila ‘ia’ menginginkannya dan bukan saat aku menginginkannya. Jadi, sebuah gerutu besar dalam mimpi ilusif adalah pemalsuan esensi jika kita mengatakan bahwa subyek “Aku” adalah syarat bagi predikat ‘berjiwa besar’. Kegilaan itu ada, tetapi untuk menegaskan bahwa ‘ada’ adalah hal yang sama dengan “Aku” hanyalah pra konsepsi belaka, sebuah persangkaan, dan tentu saja bukan ‘kepastian langsung’.
Pada akhirnya, ‘berpikir itu ada’ juga merupakan langkah yang terlalu jauh: karena ‘ada’ juga tersebut memuat suatu interpretasi tentang sebuah proses dan bukan bagian dari proses itu sendiri.
Dari sini, orang-orang menyimpulkan menurut kebiasaan gramatikal: “Berpikir adalah suatu tindakan,” karena ia berada dalam masing-masing tindakan, dimana seseorang bertindak cermat dan waspada pada pikiran.
Kurang lebih sama, tentang atomisme mencari partikel materi; seseorang mencari atom baru untuk melengkapi ‘energi’ langkah yang keluar darinya. Pikiran-pikiran yang lebih kuat pada akhirnya akan belajar melakukannya tanpa sedikit ‘cuilan bumi’ ini dan mungkin suatu hari nanti. Para ahli mantik bahkan akan terbiasa melakukannya tanpa sedikit ‘ada’ (sementara “Aku” yang ‘berlalu’ sudah menguap tanpa bekas).
Dalam hal ini, kita mencoba memalsukan prasangka dengan mengkonkritkan ‘gelisah’ dan ‘daya juang’ seperti yang dilakukan para fisikawan kuantum (dan siapa saja yang saat ini mengkuantumkan pikiran mereka), sejalan dengan kekaburan deterministik atau keserampangan dialektik yang tersebar luas dan mendorong serta menarik penyebab tersebut sampai ia ‘memiliki gairah’; ‘gelisah’ dan ‘hidup kembali’ seharusnya hanya dipergunakan sebagai konsep murni.
Tubuh sebagai fiksi untuk tujuan-tujuan yang jelas dan pasti. Ia bukan untuk memberikan penjelasan tentang apa yang dipikirkan. Tubuh sebagai unsur kuat tidak mengikuti ‘perantara’, tidak ada ‘alam lain’ yang mengendalikannya.
Melalui tubuhlah yang menghancurkan rasa sakit, penanduk, daya tarik, kebebasan, alat, tujuan, gejala, pementasan; dan jika memproyeksikan, kita memadukan dunia tanda ke dalam segala sesuatu sekan-akan ia adalah ‘ada dalam dirinya sendiri’. Bahwa ‘kehendak bebas’ adalah ilusi; dalam kehidupan nyata ia hanyalah masalah daya pikiran atau intelek yang kuat sesuai tubuh yang lebih kuat.
Kita juga diberitahu bahwa kita “dimainkan” dengan kebenaran, dimana kekuatan yang sifatnya asing (tubuh, minat inderawi, hasrat). Kita jatuh di bawah permukaan. Kita menganggap kepalsuan sebagai kebenaran, karena kita tidak hanya makhluk berpikir.
Kesalahan: hanyalah pengaruh, dalam pikiran, dari pikiran yang berlawanan dengan pikiran yang lain. Segala sesuatu tergantung dari apa yang kita pikirkan. Kita selalu memiliki kebenaran dan antek-anteknya yang patut kita miliki sebagai fungsi daya intelek yang melekat dalam diri, dari nilai yang kita cemooh.
Semua arti yang bisa dipikirkan hanya terbentuk sepanjang daya yang berkaitan dengannya dalam pikiran juga berkuasa atas sesuatu dan memberikan sesuatu dari luar pikiran. Jelasnya, pikiran tidak bisa berpikir dalam dirinya sendiri, dan juga tidak bisa menemukan kebenaran dalam dirinya sendiri.
Kebenaran dari pikiran mesti menginterpretasikan ulang seiring dengan kegilaan sebagai energi atau kekuatan yang menentukan dia berpikir. Dia berpikir tentang ini dan bukan tentang itu.
Jadi bukan dia ‘ada’ atau ‘ketiadaan’ belaka, tetapi ‘daya yang menentukan dia berpikir’. Gambaran baru tentang pikiran sebagian besar memiliki arti bahwa kebenaran bukan merupakan elemen dari pikiran.
Substansi menurut Descartes adalah perbedaan: Tuhan, tubuh, dan pikiran. Ketiganya ilusi selama masih dalam dunia mimpi. Kategori-kategori pikiran bukanlah kebenaran dan kepalsuan, namun yang menolak dan menerima, substansinya yang polos dan yang lesuh, tergantung pada sifat daya-daya yang menguasai pikiran itu sendiri.
Selebihnya adalah aliran hasrat. Kita selalu memiliki kebenaran dan kepalsuan yang layak kita miliki: ada kebenaran-kebenaran yang hina.
Sebaliknya, pemikiran yang tertinggi kita selalu mempertimbangkan kepalsuan lebih jauh lagi, mereka tidak pernah berhenti mengubah kepalsuan ke dalam suatu kekuatan yang lebih tinggi.
Kekuatan pikiran adalah ‘keadaan pikiran’ bukanlah keunggulan. Segala sesuatu yang pada kenyataannya berlawanan dengan pikiran yang satu hanya memiliki pengaruh bagi pikiran yang lainnya: mengarahkannya pada kesalahan mengukur “Aku adalah kegilaan.”
Dengan demikian, konsep tentang kesalahan menurut hukum mengekspresikan hal terburuk yang bisa terjadi dalam citra pikiran atau dengan kata lain keadaan pikiran yang terpisah dari kebenaran (siapa yang mengatakan bahwa segi tiga itu bentuknya bulat, bola itu bulat, selain orang mabuk memegang pedang atau anak idiot yang tidak bisa berhitung?). Matang dari luar, menganggap pikiran memiliki ternyata musuh-musuh lain; keadaan-keadaan yang aneh sangat berpengaruh dalam cara yang sama sekali berbeda.
Berpikir adalah kekuatan diri dari pikiran. Ia diperlukan agar dirinya bisa “melayang,” “ringan,” “negasi,” “afirmatif,” dan “menari.”
Namun demikian, ia tidak pernah bisa mencapai kekuatan ini jika daya-daya yang ada melakukan kekerasan padanya. Kekerasan internal dengan arus “menulis subversif” mesti dialirkan dan dimasukkan sebagai petualang, kegilaan, daya berpikir, dan membuatnya menjadi kuasa.
Oh, iya! Ada cara yang bertentangan dengan metode baku dari relasi kuasa.
Metode selalu mensyaratkan hasrat dari sang intelektual. Dari pemikir tentang “keputusan pra meditasi,” karena seseorang melihat realitas begitu menantang untuk digulati.
Sejauh pikiran kita dikendalikan oleh realitas, maka sejauh itu pula ia tetap ditemukan oleh diskursus berhadapan dengan kekerasan pikiran, kita mesti mengakui bahwa kita belum berpikir. Berpikir seperti hal lainnya kerap merupakan kekuatan kedua dari hasrat untuk mengetahui, bukan latihan alami dari kemampuan, melainkan peristiwa luar biasa: “sebuah raksasa dari dalam.” Pikiran itu sendiri adalah bagi hasrat untuk mengetahui sebagaimana ia dalam kegilaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI