Dari sini, orang-orang menyimpulkan menurut kebiasaan gramatikal: “Berpikir adalah suatu tindakan,” karena ia berada dalam masing-masing tindakan, dimana seseorang bertindak cermat dan waspada pada pikiran.
Kurang lebih sama, tentang atomisme mencari partikel materi; seseorang mencari atom baru untuk melengkapi ‘energi’ langkah yang keluar darinya. Pikiran-pikiran yang lebih kuat pada akhirnya akan belajar melakukannya tanpa sedikit ‘cuilan bumi’ ini dan mungkin suatu hari nanti. Para ahli mantik bahkan akan terbiasa melakukannya tanpa sedikit ‘ada’ (sementara “Aku” yang ‘berlalu’ sudah menguap tanpa bekas).
Dalam hal ini, kita mencoba memalsukan prasangka dengan mengkonkritkan ‘gelisah’ dan ‘daya juang’ seperti yang dilakukan para fisikawan kuantum (dan siapa saja yang saat ini mengkuantumkan pikiran mereka), sejalan dengan kekaburan deterministik atau keserampangan dialektik yang tersebar luas dan mendorong serta menarik penyebab tersebut sampai ia ‘memiliki gairah’; ‘gelisah’ dan ‘hidup kembali’ seharusnya hanya dipergunakan sebagai konsep murni.
Tubuh sebagai fiksi untuk tujuan-tujuan yang jelas dan pasti. Ia bukan untuk memberikan penjelasan tentang apa yang dipikirkan. Tubuh sebagai unsur kuat tidak mengikuti ‘perantara’, tidak ada ‘alam lain’ yang mengendalikannya.
Melalui tubuhlah yang menghancurkan rasa sakit, penanduk, daya tarik, kebebasan, alat, tujuan, gejala, pementasan; dan jika memproyeksikan, kita memadukan dunia tanda ke dalam segala sesuatu sekan-akan ia adalah ‘ada dalam dirinya sendiri’. Bahwa ‘kehendak bebas’ adalah ilusi; dalam kehidupan nyata ia hanyalah masalah daya pikiran atau intelek yang kuat sesuai tubuh yang lebih kuat.
Kita juga diberitahu bahwa kita “dimainkan” dengan kebenaran, dimana kekuatan yang sifatnya asing (tubuh, minat inderawi, hasrat). Kita jatuh di bawah permukaan. Kita menganggap kepalsuan sebagai kebenaran, karena kita tidak hanya makhluk berpikir.
Kesalahan: hanyalah pengaruh, dalam pikiran, dari pikiran yang berlawanan dengan pikiran yang lain. Segala sesuatu tergantung dari apa yang kita pikirkan. Kita selalu memiliki kebenaran dan antek-anteknya yang patut kita miliki sebagai fungsi daya intelek yang melekat dalam diri, dari nilai yang kita cemooh.
Semua arti yang bisa dipikirkan hanya terbentuk sepanjang daya yang berkaitan dengannya dalam pikiran juga berkuasa atas sesuatu dan memberikan sesuatu dari luar pikiran. Jelasnya, pikiran tidak bisa berpikir dalam dirinya sendiri, dan juga tidak bisa menemukan kebenaran dalam dirinya sendiri.
Kebenaran dari pikiran mesti menginterpretasikan ulang seiring dengan kegilaan sebagai energi atau kekuatan yang menentukan dia berpikir. Dia berpikir tentang ini dan bukan tentang itu.
Jadi bukan dia ‘ada’ atau ‘ketiadaan’ belaka, tetapi ‘daya yang menentukan dia berpikir’. Gambaran baru tentang pikiran sebagian besar memiliki arti bahwa kebenaran bukan merupakan elemen dari pikiran.
Substansi menurut Descartes adalah perbedaan: Tuhan, tubuh, dan pikiran. Ketiganya ilusi selama masih dalam dunia mimpi. Kategori-kategori pikiran bukanlah kebenaran dan kepalsuan, namun yang menolak dan menerima, substansinya yang polos dan yang lesuh, tergantung pada sifat daya-daya yang menguasai pikiran itu sendiri.