Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cogito dan Kegilaan: Descartes, Foucault

14 Oktober 2024   16:45 Diperbarui: 20 Oktober 2024   08:13 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Selebihnya adalah aliran hasrat. Kita selalu memiliki kebenaran dan kepalsuan yang layak kita miliki: ada kebenaran-kebenaran yang hina. 

Sebaliknya, pemikiran yang tertinggi kita selalu mempertimbangkan kepalsuan lebih jauh lagi, mereka tidak pernah berhenti mengubah kepalsuan ke dalam suatu kekuatan yang lebih tinggi.

Kekuatan pikiran adalah ‘keadaan pikiran’ bukanlah keunggulan. Segala sesuatu yang pada kenyataannya berlawanan dengan pikiran yang satu hanya memiliki pengaruh bagi pikiran yang lainnya: mengarahkannya pada kesalahan mengukur “Aku adalah kegilaan.”  

Dengan demikian, konsep tentang kesalahan menurut hukum mengekspresikan hal terburuk yang bisa terjadi dalam citra pikiran atau dengan kata lain keadaan pikiran yang terpisah dari kebenaran (siapa yang mengatakan bahwa segi tiga itu bentuknya bulat, bola itu bulat, selain orang mabuk memegang pedang atau anak idiot yang tidak bisa berhitung?). Matang dari luar, menganggap pikiran memiliki ternyata musuh-musuh lain; keadaan-keadaan yang aneh sangat berpengaruh dalam cara yang sama sekali berbeda.

Berpikir adalah kekuatan diri dari pikiran. Ia diperlukan agar dirinya bisa “melayang,” “ringan,” “negasi,” “afirmatif,” dan “menari.”  

Namun demikian, ia tidak pernah bisa mencapai kekuatan ini jika daya-daya yang ada melakukan kekerasan padanya. Kekerasan internal dengan arus “menulis subversif” mesti dialirkan dan dimasukkan sebagai petualang, kegilaan, daya berpikir, dan membuatnya menjadi kuasa

Oh, iya! Ada cara yang bertentangan dengan metode baku dari relasi kuasa.  

Metode selalu mensyaratkan hasrat dari sang intelektual. Dari pemikir tentang “keputusan pra meditasi,” karena seseorang melihat realitas begitu menantang untuk digulati. 

Sejauh pikiran kita dikendalikan oleh realitas, maka sejauh itu pula ia tetap ditemukan oleh diskursus berhadapan dengan kekerasan pikiran, kita mesti mengakui bahwa kita belum berpikir. Berpikir seperti hal lainnya kerap merupakan kekuatan kedua dari hasrat untuk mengetahui, bukan latihan alami dari kemampuan, melainkan peristiwa luar biasa: “sebuah raksasa dari dalam.” Pikiran itu sendiri adalah bagi hasrat untuk mengetahui sebagaimana ia dalam kegilaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun